SuaraKita.org- Di atas kertas, permohonan atas dasar hukumnya sederhana: mengubah namanya dari Blerta menjadi Blert.
Tapi itu adalah langkah besar dan berisiko yang dihadapi oleh Blert Morina, seorang transgender lelaki yang mencoba membawa komunitas LGBT terpinggirkan keluar dari bayang-bayang.
Permintaan untuk mengubah namanya menjadi versi yang lebih maskulin, dan jenis kelaminnya sebagai lelaki, ditolak oleh pihak berwenang, di mana komunitas gay dan transgender dipaksa untuk “hidup di bawah tanah” meskipun ada undang-undang progresif dalam konstitusi yang telah berlaku selama 10 tahun.
Tidak ada klub atau bar gay di ibukota Pristina, dan hanya dua kedai kopi yang dianggap aman di kota berpenduduk setengah juta. Ada laporan pemilik kafe lain mengusir pelanggan gay yang berkunjung.
Bertekad untuk mengubah cara hidup ini, Blert Morina telah mengajukan kasusnya ke Mahkamah Konstitusi, terlepas dari bahaya yang datang dengan keterbukaannya kepada publik.
Blert Morina hanya mengenal beberapa orang gay yang coming out di Kosovo, di mana mayoritas penduduknya adalah etnis Muslim Albania.
“Bagi saya sangat penting untuk melanjutkan ini, karena ini adalah kasus pertama, kami perlu membuktikan bahwa kita dapat mendorong kasus ini sampai akhir,” katanya ketika berbicara di dalam “rumah aman” rahasia, di ibukota.
Ini adalah markas besar LSM-nya, Centre for Equality and Liberty (CEL), yang sengaja tidak mencantumkan alamat di situs webnya.
Detailnya dibagikan dari mulut ke mulut di antara anggota, anggota jaringan ini diperkirakan berjumlah sekitar 1.800, menurut LSM tersebut.
– ‘Kami akan membakar Anda’ –
Sebuah penelitian pada tahun 2015 dari National Democratic Institute (NDI) yang berbasis di Amerika Serikat menemukan bahwa Kosovo adalah negara paling homofobik di Balkan, wilayah yang tidak dikenal untuk pandangan toleran tentang seksualitas.
Lebih dari 80 persen dari LGBT Kosovo yang diwawancarai mengatakan mereka telah mengalami pelecehan psikologis karena orientasi seksual mereka, sementara 29 persen melaporkan menjadi korban kekerasan fisik.
Lend Mustafa, seorang transgender lain yang bekerja dengan Blert Morina, bercerita tentang ancaman yang dia terima khususnya pada saat dia bertransisi dan umumnya pada kampanye hak LGBT.
“Setelah menjadi pembicara utama pada pride parade tahun lalu, saya secara pribadi menerima ratusan ancaman dari ekstremis agama, termasuk yang mengancam jiwa,” katanya.
“Sebagian besar ancaman itu adalah: kami akan membasmi Anda, kami akan membakarnya, Anda merusak masyarakat kami, apa penyimpangan ini yang Anda iklankan di media, dll.”
Meskipun ada sejumlah besar ancaman dan bahkan serangan fisik dalam beberapa tahun terakhir, hanya sekitar 20 kasus yang telah dilaporkan ke polisi sejak 2012, menurut Center for Social Group Development, kelompok advokasi LGBT di Kosovo.
“Ini terjadi baik sebagai akibat dari rasa takut akan pembalasan, ketakutan akan terpapar, atau rasa takut tidak ada investigasi dan penanganan kasus yang benar oleh otoritas penegak hukum,” kata kelompok itu dalam laporan mereka tahun 2016.
– ‘Hidup dalam Bayang-bayang’ –
Diskriminasi atas dasar orientasi seksual dilarang oleh konstitusi 2008 Kosovo, yang ditulis setelah bekas provinsi ini memisahkan diri dari Serbia dalam perang separatis berdarah.
Ini adalah “salah satu konstitusi paling maju di kawasan ini dalam hal hak asasi manusia dan khususnya hak-hak LGBT”, kata Habit Hajredini, yang memimpin sebuah kantor pemerintah yang bertanggung jawab atas hak-hak minoritas.
Namun, konstitusi kenyataannya tidak merubah apapun.
“Kami harus bekerja keras dalam meningkatkan kesadaran untuk memahami pentingnya dan hak dari komunitas ini,” kata Habit Hajredini.
Ada juga tokoh masyarakat yang mendukung pandangan homofobia secara terbuka.
Fuad Ramiqi, pemimpin partai politik Islamic Movement to Unite, telah mengatakan bahwa LGBT harus mencari perawatan medis karena “mereka telah menyimpang dari kenyataan mereka”.
“Jika (menerima mereka) adalah suatu kondisi (untuk integrasi Eropa), lebih baik bagi Kosovo untuk tidak masuk ke Eropa daripada memenuhinya,” katanya.
Presiden Hashim Thaci menghadiri dua pawai LGBT Pride pertama di Kosovo pada tahun 2016 dan 2017, mengatakan tahun lalu bahwa “semua warga negara memiliki hak yang sama, tanpa memandang etnis atau jenis kelamin”.
Namun, Lend Mustafa mengatakan sebagian besar politisi tidak membangun hubungan yang berarti dengan komunitas tetapi hanya menghadiri acara seperti itu untuk “memuaskan duta besar asing”.
“Hampir tidak ada pejabat yang benar-benar mengidentifikasi kami, mereka merasa itu adalah pemaksaan dari luar negeri dan syarat untuk integrasi di Eropa.”
Untuk saat ini, kebanyakan LGBT Kosovo terdegradasi ke dalam “bayang-bayang”, kata Lend Mustafa.
“Hidup dalam bayang-bayang bukanlah hidup, itu hanya cara untuk bertahan hidup”.(R.A.W)
Sumber: