Search
Close this search box.

Oleh:Teguh Harahap*

©Teguh Harahap

SuaraKita.org – Berbagai cara dan usaha sudah dilakukan Daniel* untuk kembali menjadi seseorang yang dianggap “normal” di Indonesia. Sekilas tidak ada yang salah dengan kehidupannya. Seorang lelaki yang berumur 25 tahun, dia sedang menyelesaikan kuliah hukumnya demi meraih cita-citanya menjadi seorang notaris dan juga sudah menikah dengan seorang perempuan yang merupakannya tetangganya. Namun siapa sangka di balik kehidupan yang dia jalani sekarang, ternyata dia harus mengorbankan sesuatu yang sangat besar dan vital dari hidupnya.

Demi dianggap “normal”, dia harus membungkam jati dirinya sebagai seorang homoseksual. Menjalani kehidupan yang lazim di Indonesia, namun di dalam lubuk hatinya, dia merasa telah membuang kehidupannya sendiri. Hanya harapan yang tersisa, berharap agar jati dirinya bisa bebas kembali, menikmati hidup yang diberikan Tuhan sebagai seorang gay.

“Tidak ada yang salah dengan hidupku, hanya saja aku hidup di tempat yang tidak sesuai dengan jati diriku, di Indonesia. Aku memiliki impian untuk pindah ke Bangkok, tempat yang menurutku memang di sanalah kehidupanku akan dianggap normal, sehingga aku bisa melewati hari-hari sesuai dengan jati diriku,” kata Daniel.

Homoseksualitas di Indonesia
LGBT bukanlah termasuk perbuatan ilegal di Indonesia, negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, kecuali di Aceh, sebuah provinsi dengan otonomi istimewa yang menerapkan hukum syariah Islam. Namun rancangan undang-undang yang saat ini sedang dibahas di parlemen, kemungkinan akan menghasilkan undang-undang yang menjadikan perilaku homoseksual dan LGBT menjadi suatu tindakan ilegal. Bahkan akan menghadapi sesuatu yang bisa dianggap lebih buruk dari konsekuensi hukum ketika menjadi seorang gay di Indonesia. Meskipun secara secara jelas Presiden RI Joko ‘Jokowi’ Widodo secara jelas telah mengatakan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap minoritas di Indonesia. Jika ada yang terancam karena seksualitasnya, polisi harus bertindak melindungi mereka, kata Presiden Joko Widodo kepada BBC Indonesia pada 2016.

Kedengarannya meyakinkan, namun sering tidak sesuai dengan realitas terhadap komunitas LGBT di Indonesia. Kenyataannya, situasi yang dialami orang-orang LGBT di Indonesia semakin memburuk beberapa tahun belakangan ini; Pada 2016, seorang menteri bahkan menyatakan bahwa komunitas LGBT merupakan sebuah “ancaman” terhadap semacam “peperangan modern” yang sedang dilancarkan.

Tidak ada kesalahan hukum apapun atas status seseorang sebagai waria. Tidak perlu ada pembinaan-pembinaan. Jika hendak membantu, ya bantu kembangkan usahanya

Jumlah penangkapan terhadap komunitas LGBT yang dilakukan oleh organisasi yang bertindak seolah-olah seperti polisi yang tidak resmi, semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu adegan penangkapan yang penuh kontroversial adalah saat penangkapan beberapa orang waria yang terjadi di Aceh Utara, tepatnya di kawasan Tanah Jambo Aye, pada 27 Januari 2018. Sebanyak 12 orang waria ditangkap di salon tempat mereka bekerja di mana mereka harus merelakan rambut panjang mereka dicukur habis dan dipaksa agar mereka menukar pakaian mereka dengan pakaian yang “maskulin”. Video tentang penangkapan dan pencukuran rambut para waria tersebut beredar di media sosial. Kapolres Aceh Utara yang menjabat saat itu AKBP Untung Sangaji mengatakan bahwasanya meningkatnya populasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dinilai akan berdampak buruk terhadap generasi muda.

Sementara banyak dari masyarakat Aceh yang memuji langkah secara terbuka menangkap dan mempermalukan para pekerja salon tersebut, kejadian tersebut mendapat kritikan dari pihak lain di Indonesia. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menilai, polisi tidak mengindahkan kaidah hukum dan bertindak sewenang-wenang dalam kasus yang dilakukan oleh AKBP Sangaji di Aceh Utara. “Waria memang kesalahannya di mana? Orang itu dihukum karena perilaku, bukan karena dirinya. Tidak ada kesalahan hukum apapun atas status seseorang sebagai waria. Tidak perlu ada pembinaan-pembinaan. Jika hendak membantu, ya bantu kembangkan usahanya,” kata Isnur.

Stigma sosial
Namun dampak yang dianggap lebih buruk ketimbang konsekuensi hukum menjadi gay di Indonesia, yakni mendapat tekanan yang datang baik itu dari teman-teman maupun keluarga.

Daniel mengaku bahwa dia harus mengorbankan perasaan dan hasratnya sebagai seorang homoseksual dengan terpaksa harus menikahi seorang perempuan walaupun secara biologis dia mengaku tidak tertarik. Namun keputusan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilakukan, sehingga orang-orang disekitarnya tidak beranggapan aneh padanya. Dia tidak bisa membayangkan seandainya orang-orang tahu bahwa hasrat biologis yang terdapat dalam dirinya adalah seorang homoseksual. Dia yakin kalau seandainya jati dirinya sebagai homoseksual, maka teman-temannya akan mencemoohnya, bahkan yang lebih buruk lagi, dia tidak akan diterima lagi oleh keluarganya.

“Saya merasa tidak mungkin saya bisa menghilangkan perasaan saya, tapi saya harus memikirkan keluarga saya,” dia menjelaskan. “Bagaimana perasaan mereka jika mereka tahu saya gay, apalagi ibu saya.” Seketika itu suara Daniel berubah menjadi sedikit serak, dan seketika itu juga dia menolehkan pandangannya.

“Bagaimana perasaan mereka jika mereka tahu saya gay, apalagi ibu saya”

Adi Sujatmika, seorang dosen jurusan psikologi sosial di Universitas Surabaya, menjelaskan dampak pandangan terhadap komunitas LGBT di Indonesia. “Kebanyakan orang tidak ingin menjadi gay di Indonesia disebabkan normal sosial dan nilai agama,” jelasnya kepada New Naratif. “Mereka anggap bahwa masyarakat heteroseksual menganggap homoseksual merupakan dosa yang dilaknat Tuhan. Dan hampir semua orang bersosialisasi di masyarakat Indonesia memiliki budaya kolektif yang kuat.”

Daniel mengungkapkan bahwa berbagai macam cara telah dia coba untuk membuktikan tentang anggapan dari berbagai kalangan bahwa orang berperilaku LGBT bisa “disembuhkan”, termasuk mencoba konseling secara tradisional, metode hipnotis, sampai mengunjungi seseorang yang ahli dalam metode pengobatan ruqyah, yang sering disebut sebagai metode dalam “pengusiran jin atau sihir”.

Ruqyah
Rudiawan Sitorus (35), merupakan salah seorang ustadz yang juga ahli dalam metode pengobatan ruqyah, meskipun beliau bukan orang yang pernah dikunjungi Daniel untuk “menyelesaikan masalah” homoseksualnya. Dalam hal ruqyah, Sitorus bisa dikatakan ahli dalam hal tersebut, yang mana Dia juga merupakan salah seorang bagian dari sebuah kelompok yang dikenal dengan Komunitas Peduli Ruqyah Syari’ah. Salah satu kegiatan komunitas tersebut adalah memberikan pelatihan kepada siapa saja yang dinilai cocok dan mempunyai minat untuk mempelajari dunia ruqyah.

Sitorus membuka praktek ruqyah di rumahnya sendiri, dan mengungkapkan bahwa “pasien” yang datang ke tempat prakteknya kian bertambah, terutama pasien penderita LGBT. Di Indonesia, ruqyah juga digunakan untuk mengobati penyakit seperti arthritis dan asma, hingga persoalan seperti kegagalan bisnis yang gagal ataupun hubungan yang sulit – semuanya itu disebabkan karena adanya gangguan “jin” yang mana juga disebut penyebab terjadinya homoseksualitas.

Sitorus mengatakan bahwa metode pengobatan ruqyah yang dilakukannya merupakan Ruqyah Syariah, dimana dalam prakteknya hanya menggunakan bacaan dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. “Saya percaya bahwa perilaku LGBT termasuk perbuatan menyimpang, dan itu terjadi karena adanya gangguan secara fisik dan mental yang disebabkan oleh perbuatan jin di mana mereka telah berhasil untuk menguasai tubuh pasien, tidak terkecuali pasien yang memiliki perilaku LGBT. Maka dari itu kami membacakan ayat-ayat pendek dari Al-Quran dan hadits, dimana kami percaya jin yang menguasai pasien menjadi takut dan akan pergi meninggalkan tubuh pasien.”

Sitorus secara jelas menganggap bahwa perilaku homoseksual atau ketidaksesuaian gender (istilah yang digunakan Badan Kesehatan Dunia yang merujuk pada waria dan homoseksual) merupakan penyakit yang disebabkan gangguan kesehatan mental, menepis pikiran banyak kalangan di Indonesia pada umumnya yang menganggap bahwa perilaku LGBT merupakan sifat alami ataupun berasal dari gen yang sudah melekat pada diri seseorang sejak mereka lahir, dan tidak mungkin bisa dihilangkan ataupun disembuhkan. Hal ini merupakan tanggapan yang umum dipercaya oleh masyarakat yang tidak mengakui identitas LGBT, termasuk di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara.

Tumbuh dalam lingkungan seperti itu, individu LGBT sendiri mungkin menginternalisasi keyakinan seperti itu; Sitorus mengatakan pasiennya datang kepadanya karena mereka ingin “pulih” dari ke-gay-annya, dan percaya bahwa perilaku mereka dapat “diperbaiki”. Bagi banyak orang, ruqyah adalah pilihan terapi konversi yang diterima karena dianggap diperbolehkan dalam Islam, dibandingkan dengan mengunjungi seorang dukun tradisional Indonesia yang dikenal sebagai dukun—sebuah praktik yang dilarang dalam keyakinan Muslim karena dukun disebut menggunakan sihir.

Rudiawan Sitorus mengklaim dia berhasil menyembuhkan sejumlah pasien LGBT di Medan.

Sebagian besar pasien LGBT yang “berobat” ke tempat Sitorus biasanya datang tanpa membawa orang lain ataupun jika mereka tidak ingin datang sendirian, mereka hanya diperbolehkan membawa satu orang saja yang bisa memberikan dukungan. Sitorus mengatakan bahwa sebenarnya banyak dari mereka malu menjadi gay sehingga mereka menyembunyikan perilakunya. Itulah alasan kenapa banyak dari pasien LGBT ingin agar informasi pribadi mereka dirahasiakan, dan juga saat berkonsultasi ataupun proses pengobatan ruqyah hanya dilakukan empat mata.
Ketika melakukan proses ruqyah, Sitorus membacakan ayat-ayat dari Al-Quran dengan suara keras dan kemudian meletakkan telapak tangannya ke bagian dada dan punggung si pasien, dan menepuknya untuk memancing reaksi jin yang tinggal di tubuh pasien lalu mengusirnya.

“Jin bersembunyi di pembuluh darah manusia,” dia menjelaskan. “Jadi saya harus menarik mereka keluar dengan memijat pembuluh darah pasien”.

Sitorus kemudian melakukan contoh proses pengobatan ruqyah dengan memanggil salah satu dari muridnya Mustafa (25) yang pada saat itu sedang berada di rumahnya. Mereka kemudian duduk saling bersebelahan di atas lantai. Sitorus menepuk bagian punggung dan dada Mustafa, yang dilanjuti dengan menekan tangan pada bagian dada sambil memindahkannya naik ke kerongkongan yang mana Sitorus mengatakan bahwa pangkal utama tempat setan bersembunyi berada di kerongkongan. Sitorus menjelaskan jika proses ruqyah yang dicontohkan seandainya proses yang sebenarnya, maka si pasien akan merasakan sakit dan ingin muntah yang mana itu menandakan sedang terjadinya proses pengeluaran jin atau setan dari dalam tubuh pasien. Setelah proses ruqyah selesai, Sitorus kemudian menyuruh pasien untuk berendam dengan air yang sudah dicampur garam dan daun bidara, dan kemudian memberikan siraman rohani kepada pasien.

“Pengobatan” yang tidak efektif
Meskipun Daniel mengunjungi ustadz yang berbeda, proses ruqyah yang dijalaninya sama, dia juga ditepuk, dipijat, dan kemudian berendam dalam air yang sebelumnya telah dibacakan doa dan dicampur garam beserta daun bidara. “Tentu saja tidak ada pengaruh apa-apa,” katanya sambil menggelengkan kepala sambil tertawa saat dia mengingat kejadian tersebut.

Sementara itu, Sitorus mengklaim bahwa dia telah berhasil menyembuhkan beberapa pasien LGBT di Medan, bahkan Dia sendiri pernah diundang untuk membantu proses pembuatan video oleh Trans TV saat sedang mengerjakan sebuah program yang berjudul “Gangguan jin dalam komunitas Sodom” yang mengacu pada kisah Sodom dan Gomorah. Melalui ponsel miliknya, dia menunjukkan New Naratif sebuah video di mana beberapa orang yang berperilaku LGBTQ sedang menjalani teknik pengobatan ruqyah. Terlihat beberapa orang yang menjalani ruqyah tampak tertekan, menangis, menjerit, serta dalam beberapa adegan dalam video tersebut, tampak beberapa orang LGBT sedang berusaha melarikan diri dari ustadz yang melakukan ruqyah.

Tidak jelas apakah acara ruqyah di video tersebut bukan rekaan semata, namun beberapa pasien terlihat sangat tertekan. Sitorus menjelaskan bahwa sesungguhnya teriakan dan jeritan bukan berasal dari pasien tersebut, karena pada dasarnya mereka tidak merasakan apa-apa, tapi berbagai reaksi tersebut berasal dari jin yang merasa yang berada dalam tubuh para pasien LGBT sedang merasa kesakitan.

Setelah proses pengobatan ruqyah selesai, Sitorus menindaklanjuti pengobatannya dengan memberikan ceramah agama kepada para pasien dan menjelaskan kepada mereka bahwasanya homoseksual merupakan dosa besar menurut dalam Al-Quran.

Metode ruqyah gagal memberikan Daniel “kesembuhan” yang dia cari. Dia juga mengatakan kalau ruqyah juga tidak menyembuhkan beberapa teman-temannya yang juga LGBT. Meskipun demikian, Dia selalu tetap berusaha untuk mencari pertolongan secara rohani, karena Dia tidak dapat menyesuaikan orientasi seksualnya sebagai seorang homoseksual dengan imannya.

Namun Lailatul Fitriyah—seorang akademisi Muslim—pada salah satu media online lokal Magdalene menjelaskan bahwa di dalam ajaran Islam atau disebut “fiqh” [yurisprudensi Islam] memberi banyak ruang terhadap kelompok LGBT. “Salah satu asisten rumah tangga di rumah Nabi yang diizinkan untuk membantu istri-istrinya bersolek adalah seorang transgender. Para laki-laki berperilaku feminim juga banyak menjadi seniman di istana-istana khalifah,” kata Fitriyah.

Hera Dani, Managing Editor Magdalene, juga mengemukakan bahwa komunitas LGBT di Indonesia telah mendapatkan dukungan dari sejumlah cendekiawan Muslim dan pemuka agama yang tidak menganggap terapi konversi sebagai sesuatu yang dibutuhkan atau berguna. “Musdah Mulia, Lailatul Fitriyah dan Aan Anshori mereka semua merupakan cendekiawan Islam yang ramah LGBTQ. Juga Ustadz Abdul Muiz Ghazali yang sering menasehati para kaum waria,” katanya.

“Saya kemungkinan tidak akan pernah bisa disembuhkan”
Daniel menyadari bahwa perilaku homoseksual yang dimilikinya bukanlah masalah kesehatan mental, tapi karena stigma yang melekat di dalam dirinya dimana hal tersebut bukanlah sesuatu yang ingin dia dapat dalam hidupnya. Namun bagi sebagian orang, terapi konversi bisa menimbulkan dampak yang serius.

“Potensi risiko dari “terapi reparatif” sangat besar, seperti depresi, cemas, dan perilaku menyakiti diri sendiri, karena penyelarasan antara terapi dan anggapan terhadap homoseksualitas dapat menyebabkan kebencian terhadap diri sendiri seperti yang pernah dialami oleh pasien-pasien sebelumnya”

Menurut laporan dari Asosiasi Psikologis Amerika, terapi konversi atau “terapi reparatif” seperti ruqyah bisa menimbulkan dampak serius terhadap pasiennya, walaupun mereka dengan sukarela ingin melakukan terapi tersebut. Laporan tersebut menyatakan bahwa “resiko potensial dari “terapi reparatif” sangat besar seperti depresi, cemas, dan perilaku menyakiti diri sendiri, karena penyelarasan antara terapi dengan anggapan tentang homoseksualitas dapat menyebabkan kebencian terhadap diri sendiri seperti yang sudah dialami oleh pasien-pasien sebelumnya.

Namun tekanan untuk menyesuaikan hal tersebut besar. Meskipun Daniel menyadari bahwa terapi lainnya juga kemungkinan akan gagal sebagaimana dengan ruqyah yang pernah Dia lakukan, menjadi gay di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang ingin Dia inginkan dalam hidupnya, mengingat stigma sosial di atas. Saat ini, Daniel sedang fokus mencoba memulai sebuah keluarga dengan istrinya, namun ada kendala karena secara seksual dia tidak tertarik kepada istrinya dan sering mengalami masalah dalam berhubungan seksual. Dia berharap bahwa dengan memiliki bayi akan memberikannya tujuan hidup yang sesungguhnya dan juga menghentikan hasrat homoseksualnya untuk selamanya.

“Saya tahu bahwa mungkin saya tidak akan pernah ‘sembuh’ dari ini,” kata dia. “Harapan terbaik yang bisa saya usahakan adalah saya akan belajar untuk mengendalikannya. (R.A.W)

*Teguh Harahap adalah seorang penulis dan penerjemah lepas yang berbasis di Medan, Indonesia. Sebelumnya dia bekerja sebagai editor Koran Kindo, surat kabar mingguan untuk pekerja migran Indonesia yang berbasis di Hong Kong.

Sumber:

newnaratif