Search
Close this search box.

[Cerpen] Menjangkau Telinga

Oleh : Abi Ardianda

SuaraKita.org – Sambil melayangkan tatapannya yang teduh ke balik jendela, Bertus menyesap teh yang beberapa saat lalu ia seduh. Kemudian ia taruh kembali cangkir yang kutebak dibelinya di Italia di atas meja. Gerakan itu ia ulangi beberapa kali, dalam waktu yang berdekatan. Kita tidak menyesap teh setiap sepuluh detik, kecuali sedang merasa gelisah, bukan?

“Diminum tehnya, Pak,” Bertus seolah-olah memberitahu bahwa cangkir di hadapanku bukan sekadar pajangan.

Kujawab, “Iya, terima kasih,” kemudian ikut menyesapnya.

Sambil terus menciptakan gerakan yang tidak perlu untuk menyamarkan kegelisahan, Bertus memasuki topik utama kami. “Jadi, bagaimana prosedurnya?”

Aku mengeluarkan map berisi beberapa dokumen, mulai dari formulir klaim meninggal dunia yang harus diisi oleh dokter dan Berita Acara Pemeriksaan dari kepolisian. Ada juga formulir surat kuasa pemaparan isi rekam medik, yang harus ditanda tangani oleh ahli waris. Ketika kuletakan lembar demi lembar berkas tersebut di atas meja, aku diam-diam memindai emosi yang meliputi Bertus. Betul, ada perasaan tidak nyaman. Tetapi, demi Tuhan, tidak kutangkap ada kesedihan terpancar.

Apakah dia lupa bahwa kekasihnya baru saja tewas mengiris urat nadi?

***

Beberapa perusahaan asuransi menyewa detektif swasta sepertiku untuk menyelidiki klaim yang dinilai mencurigakan. Seseorang bisa menawan anak jalanan yang mirip anak kandung sendiri dan membunuhnya. Kemudian ia akan mengklaim bahwa anaknya telah meninggal, dengan jenazah yang tak lagi memiliki bentuk. Setelah perusahaan asuransi membayar klaimnya, ia akan kembali menemui anak kandung yang ia terbangkan ke negara tetangga dan foya-foya.

Andai klienku kali ini bukan penyanyi seriosa asal Kediri yang namanya berkibar di Eropa, Larasati Adiwiguna, mungkin aku tidak tertarik terlibat sama sekali. Bertus sebagai Ahli Waris juga tidak mengklaim asuransi jiwa milik Laras. Semenjak mayat Laras ditemukan bergelung di dalam lemari dengan luka sayat pada lengan, diliputi bau amis darah yang menguar tajam, media menggemparkan publik. Perusahaan asuransi pilihan Laras memanfaatkan tragedi ini untuk meraih sorotan.

Kemudian, sesuatu terjadi di luar dugaan. Tangan Laras ditemukan dalam keadaan mengepal. Dalam kepalannya, terdapat secarik kertas bertuliskan sebuah kalimat; saya tidak bisa menjangkau telinganya. Kalimat itu ditemukan oleh salah satu petugas polisi dan langsung diamankan sebagai barang bukti.

Betul, perusahaan asuransi telah meneleponku untuk menyelidiki kasus bunuh diri Laras dan membuatku terlibat dengan pihak kepolisian. Investigasi telah dilakukan. Barang bukti telah diamankan. Tetapi, bagaimana bila ini semua merupakan skenario yang dirancang seseorang untuk kepentingan tertentu?

Bagaimana bila Bertus telah membunuh Laras atas motif yang sampai saat ini masih misteri, kemudian memanipulasinya sebagai kasus bunuh diri?

***

“Kapan Anda mengetahui Laras bunuh diri, Bertus?”

“Waktu itu aku sedang mendapat undangan untuk mengikuti festival musik di Sydney selama satu minggu. Aku masih berbicara dengan Laras melalui Whatsapp dan Skype, hampir setiap hari. Kemudian dua hari terakhir, aku tidak mendapat kabar apa pun darinya. Ketika pulang, aku yang menemukannya di dalam lemari.”

“Tanggal berapa Anda pulang?”

“25, bulan lalu, hari di mana Laras dikabarkan bunuh diri.”

“Tidak ada yang mencurigakan dari perbincangan pada hari-hari terakhir kalian?”

“Demi Tuhan, kami hanya membicarakan Bakmi Rajim yang kurindukan. Ia bilang ia akan mentraktirku sampai kembung bila aku kembali. Bapak tahulah, hal-hal semacam itu.”

“Kau tahu ketika ditemukan tewas itu tangan Laras mencengkram secarik kertas bertulisan, ‘Saya Tak Mampu Menggapai Telinganya’?”

“Benarkah? Itu kedengaran seperti terjemahan single terakhir yang dinyanyikannya, ‘I Want To Hold Your Ear’.”

Tiba-tiba seorang pemuda menyeruak ke dalam ruangan dan melepas sepatunya sambil berjongkok. Dia menggunakan sweater wol warna abu kebesaran, jeans belel, sneakers keluaran terbaru dan topi yang diletakan terbalik. “Kamu harus berhenti mengerjai saya sampai pagi, Bertus, saya hampir ketiduran saat bimbingan.” Kemudian tatapan matanya bertubrukan denganku. “Oh, kita sedang kedatangan tamu.” Ia mengalihkan pandangan pada Bertus. “Maaf. Saya enggak tahu.”

“Perkenalkan, namanya Ernie,” Bertus berinisiatif menengahi kami. “Ernie sedang mengambil sekolah master di bidang linguistik.” Tersirat ketidaknyamanan suara Bertus saat mengutarakan hal tersebut. Tidak berniat menyiksanya terlalu lama, buru-buru kuperkenalkan diri pada Ernie dan berusaha mengikis kecanggungan di antara kami.

“Saya ke kamar dulu, ya,” pamit Ernie.

Mendapati kebingunganku, Bertus buru-buru memberi penjelasan, “Ernie sedang melakukan penelitian mengenai kaitan lirik lagu klasik dalam terapi para penderita Alzheimer. Di sini aku mencoba membantunya.” Tentu saja itu masuk akal. Lagu-lagu ciptaan Bertus telah mengiringi karir bernyanyi Laras selama bertahun-tahun. Pengetahuannya terhadap lagu klasik tidak perlu ditangguhkan.

Aku hanya tidak tahu bahwa selama ini ada orang lain yang tinggal bersama Bertus dan Laras. Dan, apa tadi yang dikatakan pemuda tadi? Mengerjai? Sebagai mahasiswa yang mempelajari linguistik, pilihan katanya cukup mengesankan. Apa pun tujuannya memulas rahasia, di telingaku istilah tersebut kedengaran sangat asing.

Tetapi, ya, setidaknya aku mendapat petunjuk baru.

“Bagaimana dia orangnya?” Bertus yang semula memandangi kesibukan di balik jendela, -dia sangat senang melakukan hal itu- tiba-tiba berbalik dan matanya menyipit, memastikan pertanyaanku. “Iya, maksudku… Laras. Aku hanya mengenalnya dari surat kabar dan televisi. Bagaimana sikapnya sehari-hari? Aku penasaran.”

Bertus mengembalikan pandangannya ke balik jendela. “Dia adalah jenis perempuan yang semua lelaki impikan.”

***

 

Aku memeriksa tanggal keberangkatan dan kepulangan Bertus dari Sydney beberapa pekan lalu, dengan bantuan maskapai yang dipilihnya. Kemudian kudapat informasi bahwa Bertus meninggalkan Sydney dua hari sebelum tanggal yang diberitahukannya padaku.

Dalam sesi diskusiku dengan Bertus tempo hari, kuselipkan pertanyaan di mana dan angkatan berapa Ernie kuliah. Kemudian aku bisa melacak pemuda itu dan mengorek informasi darinya melalui secangkir cappuccino di kedai kopi dengan mudah, selesai ia kuliah.

“Kau harus menontonnya, Man, Still Alice itu bagus sekali.”

“Untuk tema serupa, aku hanya tahu film Iris.”

Ernie membelalakan mata. “Kate Winslet 17 tahun yang lalu sungguh-sungguh berbeda.”

“Masih seksi, huh?”

Ernie menahan napas. Menciptakan jeda selama sekian detik kemudian mengangguk, “begitulah.” Ia berdeham dan menyambar cangkir kopinya. “Sayangnya, buku-buku dan film referensi itu tidak memudahkan saya untuk menghadapi para penderita Alzheimer. Rasanya tetap saja seperti meraba selembar kertas putih dan kita percaya di sana pernah ada peta.”

“Apakah Bertus cukup membantumu?”

Seketika retinanya membesar dan volume suaranya meningkat. “Dia luar biasa. Selain selera dan pengetahuannya terhadap musik patut diabadikan sebagai ensiklopedi, kepribadiannya juga menarik.”

“Padaku dia jarang sekali tersenyum.”

“Saya tahu. Dia jarang tersenyum pada siapa pun. Tetapi, jarang tersenyum tidak sama artinya dengan memiliki hati yang buruk. Bagi saya dia adalah salah satu manusia paling tulus yang pernah saya temui.”

“Apakah Kamu memberikan ketulusan yang sama?”

“Saya tidak tahu. Saya selalu berusaha berbuat baik padanya. Saya jadi teringat bahwa dia akan berulang tahun minggu depan.”

“Apa rencanamu?”

“Saya berpikir untuk memasakannya sesuatu. Sajian khas tradisional Italia.”

Senyumku begitu saja terukir. “Kedengarannya menarik. Apabila aku yang berbelanja bahan masakan, aku diperbolehkan bergabung makan malam dengan kalian?”

***

Saya punya hadiah ulang tahun. Tidak, saya tidak akan muncul di kamar mandi sementara kamu berendam –seperti yang selama ini kamu lakukan-. Malam ini, pulang ke rumah di atas pukul sepuluh, ya, Bertus. Hadiahnya agak merepotkan, soalnya. 18.09

Pesan Whatsapp yang dikirim oleh Ernie untuk Bertus barusan tidak sengaja kubuka ketika kuminta Ernie untuk memutar lagu dari Spotify, sedangkan dia menyuruhku untuk memutarnya sendiri melalui laptop miliknya. Kupastikan pesan tadi betul-betul dikirim oleh Ernie untuk Bertus. Sampai membacanya tiga kali, mataku tidak keliru. …saya tidak akan muncul di kamar mandi sementara kamu berendam –seperti yang selama ini kamu lakukan-…

Barangkali, Bertus hanya bersikap ceroboh.

“Astaga, di mana Bertus menyimpan minyak zaitun?” Ernie bermonolog. “Jangan-jangan ia menggunakannya untuk merancap.”

Kuputar lagu I Want To Hold Your Ear yang dinyanyikan oleh Larasati Adiwiguna. “Oh, bagus, kini kau seolah-olah mengundang hantu untuk bernyanyi di rumah ini.” Timpal Ernie.

I held your hand

And told you that

I loved you

You turned around and

right out the door

Seems like holding your hand

Was not enough

So I want to do something more

“Apakah lagu ini juga Bertus yang ciptakan?”

“Oh, bukan. Bertus memang menciptakan hampir seluruh lagu yang dinyanyikan oleh Laras, tetapi tidak yang satu ini. Suatu malam, saya terbangun pukul tiga dan mendapati Laras menulis lagu ini sendirian sambil menangis.”

“Menangis?”

“Iya. Sebentar, bisakah Kamu menggoreng paha ayam yang sudah saya lumuri bumbu?”

Buru-buru kuhampiri kompor listrik dan menyalakannya. “Tentu saja,” tak lupa kulanjutkan kalimat Ernie yang terpotong. “Sampai di mana kita tadi?”

“Oh, ya, ketika saya tanya apakah ia perlu teman bicara, ia menolak. Katanya, segelas anggur putih yang tengah diminumnya pada malam itu bisa membeberkan semuanya, sementara ia tidak mau hal itu terjadi. Entahlah, mungkin ia tidak benar-benar percaya pada saya. Ia hanya bilang bahwa ia sedang menulis lagu mengenai telinga. Saya tidak tahu hasilnya akan seindah ini. Yah, saya tahu lagunya tragis. Tapi indah. Saya pikir ia berbakat juga dalam menggubah lagu.”

Oh I want to hold your ear baby

Wanna hold it near baby

Wanna hold your ear

Until you hear that

I love you

“Di mana Kamu saat Laras dilaporkan tewas, Ernie?”

“Saya sedang berada di Bali, menemui salah satu professor untuk mewawancarainya terkait tesis yang sedang saya kerjakan.”

“Berapa lama Kamu di sana?”

“Satu minggu.”

“Kamu pergi sendirian?”

“Iya. Tetapi, Bertus menyusul langsung dari Sydney. Katanya dia butuh liburan. Dia hanya menghabiskan waktu di Bali dua hari, kemudian pulang duluan. Darinya, saya mendapat kabar mengejutkan mengenai Laras.”

“Aku perlu ke kamar mandi, Ernie.”

“Oh, silakan. Kamar mandinya ada di ujung lorong, tepat di sebrang kamar Bertus.”

Setibanya di kamar mandi, aku berusaha menghubungi salah satu tim forensik yang menangani jenazah Laras. Karena tidak diangkat, kuputuskan untuk mengirimi mereka pesan singkat. “Berapa lama jeda kematian Laras sampai jenazahnya ditemukan?”

Seharusnya, jawaban tersebut dapat menjadi kesimpulan.

“Hei, ini belum pukul 10, kenapa Kamu sudah pulang?” Teriak Ernie dari dapur. Tawa Bertus menggema dan dia membalasnya dengan kalimat yang tidak jelas, lebih kedengaran seperti erangan.

Ketika aku hendak membuka kenop pintu, aku mendengar derap langkah seseorang menuju ke kamar Bertus, diikuti oleh derap langkah lainnya. Samar, kudengar suara dari seberang ruangan merembet ke tempatku mematung di depan kloset.

“Ini ulang tahunmu, kenapa saya yang mendapat bunga?” Kukenali sebagai suara Ernie.

Bertus menyahut, “Karena Kamu layak mendapatkannya.”

“Astaga, saya belum membeli hadiah ulang tahun yang indah, Bertus. Saya hanya memasak chicken parmigiana dan tortellini.”

“Hadiah ulang tahun terindahku adalah Kamu.”

“Menjijikan.”

“Aku bisa mati tanpa memakan sesuatu. Jadi, ya, masakanmu juga telah menyelamatkanku. Terima kasih, ya.”

“Sama-sama. Sebagai imbalannya, Kamu harus main tebak kata malam ini.”

“Hei! Aku selalu menerima ajakan permainan tebak kata pada malam-malam sebelumnya. Tetapi, ya, bila Kamu memaksaku lagi untuk melakukannya malam ini, baiklah. Aku akan melakukannya. Dengan senang hati. Asal, Kau tahu, setelahnya, kita….”

Kemudian hening.

Ponselku bergetar, kubuka sebuah pesan singkat berisi jawaban dari salah satu tim forensik. “Sekitar 48 jam.”

Kumasukan ponsel ke dalam saku celana dan menghembuskan napas panjang. Tanpa sadar, aku selalu menghembuskan napas panjang setiap kali selesai menangani sebuah kasus. Kini, aku tahu apa yang harus kukatakan pada perusahaan asuransi yang telah membayarku untuk menyelidiki kasus ini.

Cinta, tanpa dicampuri oleh urusan kriminal tidak seharusnya dijadikan perkara. (R.A.W)

Bagikan

Cerpen Lainnya