Search
Close this search box.

“Selamat Untuk Perjuanganmu, Kawan”

Oleh: Hartoyo

SuaraKita.org – Pagi ini saya mendapat kiriman pesan melalui aplikasi perpesanan Whats App (WA) dari seorang kawan, yang sudah seperti kakak; “Toyo, keponakanku lulus sebagai sarjana sastra inggris “, (keponakannya lulus di salah satu kampus negeri di Jawa).

Kawan saya ini seorang Lesbian yang sudah hampir 5-6 tahun pontang panting membesarkan keponakan perempuannya (anak adik perempuannya yang sudah wafat).

Keponakan kawan saya ini, setelah ibunya wafat, seluruh keluarganya seperti “membuang” bahkan ayah anak itu sendiri. Semasa kecil anak itu dibesarkan hanya oleh seorang ibu (seorang dokter) yang bertahun-tahun mengalami kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT). Walau anak itu disekolahkan di SD dan SMP Kristen elit tetapi nilainya jeblok, mungkin karena kasus KDRT menimpa ibunya. Sampai akhirnya ibunya meninggal karena kanker payudara.

Dalam kondisi yang berat, sang anak kemudian kabur dari rumah karena anak tersebut tidak mau tinggal bersama ayahnya, pelaku KDRT. Berharap dapat bantuan dari keluarga besar ibu tetapi malah keluarga ibunya tidak memberikan bantuan maksimal. Keluarga ibunya hampir semuanya penganut Kristen yang taat secara simbolis dan secara ekonomi umumnya kaya raya di Jakarta dan Medan. Hanya kawan saya yang seorang lesbian inilah yang mungkin paling miskin di antara keluarga ibu anak tersebut.

Karena anak itu kabur dari rumah berharap akan dibantu keluarga ibunya, tetapi malah tidak jelas nasibnya, bahkan anak itu tidak melanjutkan sekolah lagi. Kemudian anak itu diserahkan kepada kawan saya yang lesbian ini, karena memang anak itu jauh lebih dekat secara emosional dengan kawan saya. Dan kemudian anak itu tinggal bersama kawan saya yang lesbian. Di sebuah rumah kontrakan kecil, aku sering menyebutnya sebagai “gang senggol” kalau sedang bergurau dengan kawan saya soal sempitnya kontrakannya.

Karena semua dokumen dari anak itu dipegang oleh bapaknya, jadinya anak itu kesulitan untuk pindah ke sekolah lain. Semua sekolah tidak mau menerima anak itu karena tidak ada dokumen apapun, kecuali raport (kalau tidak salah). Dengan bermodal raport, kawan saya mondar-mandir mengurus sana sini. Mulai minta bantuan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ahok (saat menjabat sebagai Gubernur) sampai kawan-.kawan aktivis anak. Hasilnya tidak cukup menggembirakan, tetap tidak bisa sekolah.

Sementara keluarga besarnya cuek saja tidak memberikan bantuan maksimal untuk anak tersebut, selain hanya omong sana omong sini. Sampai akhirnya kawan saya berhasil menemukan “home schooling” yang menerima anak itu. Mulai ada titik terang bagi anak tersebut.

Karena kualitas pendidikan home schooling-nya tidak cukup baik (hanya 2 hari per minggu masuk), kemudian kawan saya mencari cara lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak tersebut. Anak tersebut di les kan pelajaran tambahan. Secara personal anak itu memang cerdas, bahasa Inggris dan pengetahuan humanioranya sangat baik. Kritis dan daya nalarnya tajam untuk ukuran anak seumurnya. Apalagi ditambah sering diskusi dengan kawan saya yang memang kritis berpikirnya.

Mungkin sekitar 5 tahunan, kawan saya yang hanya seorang guru musik “serabutan” terus berjuang keras bagaimana memberikan pendidikan terbaik pada keponakannya. Untuk menempuh ujian Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dintensifkan kursus pelajaran tambahan bagi anak tersebut.

Di ujian SPMB awalnya tidak lulus di Universitas Indonesia (UI), kemudian mencoba untuk masuk melalui jalur lain di kampus negeri lainnya di Jawa. Kawanku juga mulai mencari kampus swasta terbaik di Jakarta dan Yogyakarta, semuanya masih sangat mahal. Tentu ada kekuatiran, bagaimana kalau keponakannya tidak lulus untuk masuk ke universitas negeri. Dipastikan akan besar biaya kuliah di kampus swasta yang baik kualitasnya. Sementara program beasiswa Bidik Misi dari pemerintah tertutup bagi siswa home schooling, karena dianggap siswa mampu secara ekonomi.

Sampai akhirnya tadi malam saya dapat kiriman pesan WA dari dia, ” Toyo, keponakanku lulus sebagai sarjana sastra inggris …”. Seketika saya ikut bahagia dan langsung datang memberikan selamat.

Karena saya tahu sekali bagaimana kawan saya yang lesbian itu berjuang menyekolahkan dan mendidik anak tersebut tanpa dukungan keluarga besarnya atau siapapun, selain pasangan lesbiannya. Padahal hidup kawan saya juga harus bertarung dari tekanan keluarga maupun sosial sebagai seorang lesbian.

Selamat untuk perjuanganmu kawan dan pasangannya, selamat untuk keponakanmu. Semoga alam raya akan terus memberkati perjuangan kalian. Selamat Hari Anak Nasional! (Hartoyo)

 

Catatan: Ini hanya satu cerita dari ribuan bahkan jutaan cerita dari individu LGBT membantu saudara-saudaranya maupun orang lain untuk berbagi kasih dan cinta pada sesama.