Search
Close this search box.

Aku & Jessica

Oleh: Livia

SuaraKita.org – “Ini adalah waktu untuk memberi tahu kaum muda bahwa di dalam keberagaman terdapat keindahan dan kekuatan.” Ini adalah kutipan dari Maya Angelou. Dia adalah seorang penulis puisi dan beberapa buku autobiografi, penyanyi, serta aktivis HAM kulit hitam Amerika Serikat. Kutipan ini juga mengajarkan bahwa kita harus menghargai semua orang karena setiap manusia diciptakan unik dan berbeda-beda. Hal ini tentu tidak mudah untuk aku pahami. Aku baru paham apa maksudnya keberagaman setelah bertemu sahabatku dari masih menginjak SMP, Jessica.

Namaku Livia, seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di sebuah kota besar di Indonesia. Kehidupanku biasa saja sebenarnya. Aku cukup periang, terbuka, dan ramah. Oh ya, aku juga mempunyai beberapa teman akrab di kelas. Namun, semenjak kenaikan kelas, hubungan kami terasa agak jauh karena urutan kelas kembali diacak dan tidak ada satupun dari kami yang berada dalam satu kelas.  Saat menginjak tahun kedua, aku duduk di belakang seorang siswi yang menurutku agak misterius. Namanya Jessica. Dia duduk sendiri dan tidak pernah berbicara dengan siapa pun di kelas. Tidak pernah tersenyum juga. Aku merasa kasihan melihatnya karena tampaknya dia sangat kesepian.
Aku pun mendekatinya. Awalnya, dia hanya bicara sepatah dua patah kata, tetapi lama-kelamaan kita mulai akrab dan dia mulai lebih terbuka denganku. Aku menemukan sisi lain dari Jessica. Dia sangat suka membaca buku dan asyik diajak bicara. Setiap jam istirahat kami selalu menghabiskan waktu bersama. Entah makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau hanya sekadar mengobrol di kelas. Aku pun semakin terbuka dengannya dan akhirnya kami menjadi sahabat.

Namun, ada hal yang kurasa aneh pada diri Jessica. Saat itu, mayoritas dari kami mulai menginjak masa pubertas. Banyak teman-temanku yang mulai membahas soal lelaki. Tidak sedikit juga yang sudah mempunyai pacar atau membicarakan soal “incaran” mereka yang biasanya siswa kelas tiga. Aku sendiri punya kakak kelas idola. Namanya Kak Rangga. Aku sering membicarakannya dengan Jessica. Biasanya dia hanya menertawaiku dan mengingatkan bahwa Kak Rangga sudah punya pacar. Ah biarlah, sebatas mengagumi orang lain tidak apa, kan? Berbeda denganku, Jessica tidak pernah membicarakan soal lelaki, walau aktor sekalipun. Seakan-akan, dia tidak tertarik dengan lelaki. Saat itu kukira karena dia belum mengalami pubertas dan belum tertarik dengan topik seputar lawan jenis.

Hari itu, Jessica dan aku pulang sekolah berjalan kaki bersama karena jalan menuju rumah kami satu arah. Hari ini tidak seperti biasanya. Jessica selalu ceria saat pulang sekolah dan dia biasanya cerita banyak hal kepadaku, tetapi hari ini tidak. Jessica diam saja, seakan-akan ada hal yang membuat dia gelisah. Aku lalu bertanya padanya, apa dia sedang ada masalah. Jessica hanya mengangguk. “Ada apa?” tanyaku pelan. Dia tidak menjawab. Setelah itu aku berniat untuk tidak bertanya lebih lanjut karena terkesan tidak sopan jika aku memaksa ingin mengetahui masalahnya.  Di tengah perjalanan pulang, akhirnya dia baru bercerita kepadaku. Ternyata, Jessica sedang menyukai seseorang. Dia ragu apakah dia perlu mengungkapkan perasaannya atau tidak. Aku kaget dan penasaran, siapa gerangan orang yang dimaksud Jessica. Dia belum pernah membicarakan soal lelaki denganku. Apa mungkin selama ini dia juga menyukai Kak Rangga, jadi dia tidak berani cerita padaku?

Jessica bilang kalau dia tidak yakin orang yang dia suka juga menyukainya. Kurasa mungkin dia takut ditolak atau diejek. Aku berusaha menghiburnya dengan berkata bahwa kalau lelaki itu mengejek atau menghinanya hanya karena dia mengungkapkan perasaannya, maka lelaki itu bukan orang yang baik dan Jessica bisa dengan mudah melupakan orang seperti itu. Dia hanya diam, sambil merogoh sesuatu dari tasnya. Jessica mengambil selembar tisu lalu mengusap matanya perlahan. Dia ternyata menangis. Melihatnya terisak membuatku bertanya-tanya dalam hati. Mengapa masalah sepele seperti ini dapat membuat dia menangis? Padahal dia bahkan belum mengungkapkan perasaannya.  “Liv, aku tidak takut ditolak atau diejek, yang aku takutkan hanyalah dia akan menjauhiku dan tidak mau bersahabat lagi denganku.” Aku semakin bingung karena aku tidak tahu Jessica mempunyai sahabat lain.  “Jangan khawatir, kalau dia menjauhimu, kamu masih punya aku yang akan selalu menjadi sahabatmu.” Setelah aku berkata demikian, Jessica terlihat semakin sedih. Ia mengusap air matanya sambil menjawab lirih, “Orang yang kumaksud itu Kamu, Livia. Aku menyukaimu.”

Saat mendengar itu, aku terkejut dan tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan heran mengapa Jessica bisa menyukaiku. Selama ini yang kutahu perasaan suka hanya ditujukan kepada lawan jenis. Aku dan Jessica sama-sama perempuan. Mengapa dia dapat menyukaiku? “Lupakan apa yang kukatakan tadi,” katanya sambil memegang bahuku, “ayo kita pulang.” Kami berdua melanjutkan jalan tanpa mengobrol lagi. Rasanya, baru kali ini perjalanan pulang terasa canggung dan tidak menyenangkan.  Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Kejadian hari ini benar-benar membuatku syok. Aku tidur sambil berharap ini semua hanya mimpi dan dapat melupakan percakapan aneh tadi dengannya. Besoknya aku pergi sekolah. Tidak seperti biasanya Jessica belum ada di kelas. Padahal dia selalu datang lebih awal dan tidak pernah terlambat. Ah, mungkin dia sedang sakit, pikirku. Tepat saat bel berbunyi, Jessica baru datang. Dia berlari kecil memasuki kelas lalu menaruh ranselnya. Hatiku lega melihatnya datang sebelum jam pelajaran dimulai.

“Jes, mengapa Kamu terlambat?” tanyaku.
“Ada urusan.” Jessica hanya menjawabku singkat lalu beranjak duduk.

Saat istirahat, aku mengajaknya ke kantin, tetapi Jessica berkata bahwa dia sedang sibuk dan ada keperluan lain lalu pergi begitu saja. Sewaktu pulang sekolah, Jessica juga tidak menghiraukanku dan langsung pulang tanpa menungguku. Hal ini terjadi selama tiga hari berturut-turut dan sedikit membuatku kesal. Setelah tiga hari, Aku tidak melihat Jessica di kantin, di lapangan, maupun ruang komputer. Aku memutuskan untuk mencarinya di perpustakaan, tetapi dia tidak ada di sana. Bahkan penjaga perpustakaan berkata sudah beberapa hari dia tidak melihat Jessica. Aku semakin yakin bahwa dia pasti sengaja menjauhiku.

Aku memutuskan untuk mengkonfrontasi Jessica sewaktu pulang sekolah nanti. Saat bel dibunyikan, Jessica langsung berdiri dan meninggalkan mejanya. Aku pun berlari ke arahnya dan menyahut, “Jessica, ada apa dengamu? Kamu sengaja menjauhiku, kan?” Mungkin suaraku sedikit keras sehingga beberapa murid lain ikut menoleh ke arahku. Masa bodoh orang lain mendengar, yang penting aku dapat bicara dengannya. Kini tinggal tersisa kami berdua di dalam kelas.  Jessica menghentikan langkahnya di ambang pintu dan berkata bahwa dia sedang sibuk. Aku yakin dia berbohong karena dia tidak pernah menghindariku seperti ini sesibuk apapun. “Tunggu! Apa kamu marah padaku? Aku minta maaf kalau aku ada salah.” Jessica berkata tidak apa-apa lalu pergi meninggalkanku dengan perasaan bingung.

“Hei, jangan pergi dulu! Jes, kita itu sahabat. Aku tahu Kamu ada masalah denganku karena Kamu menghindariku selama beberapa hari ini. Tolong jelaskan salahku di mana. Aku benar-benar tidak tahu dan aku tidak ingin hubungan persahabatan kita menjadi renggang seperti ini.”  Jessica terdiam sejenak, dia menarik napas dalam dan berat. Matanya berkaca-kaca. “Aku menghindarimu karena aku ingin melupakan perasaanku kepadamu. Aku tahu Kamu tidak akan membalas perasaanku. Tolong, mengertilah! Aku hanya ingin sendirian saja sekarang.” jawabnya dengan tegas. Suaranya sangat berbeda dari biasanya. Perkataan Jessica membuatku tersadar. Berarti perkataannya beberapa hari lalu itu serius. Jessica benar-benar menyukaiku! Aku kaget bukan kepalang. Aku akhirnya membiarkan dia pulang sendiri. Jessica terlihat seakan sedang menangis sambil berjalan pulang. Aku harus bertanya kepada orang dewasa karena aku tidak tahu apakah menyukai sesama jenis itu benar-benar bisa dan normal, tetapi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Begitu sampai di rumah, aku langsung menuju ke kamar. Kepalaku penuh dengan perkataan Jessica. Tiba-tiba dari belakang bunda menepuk pundakku dan bertanya apakah aku baik-baik saja. Bunda khawatir karena aku terlihat sedih dan tidak seceria biasanya. Aku ingin berkata aku tidak apa-apa, tetapi aku ingat bahwa bundaku orang dewasa, dan mungkin dia mengerti mengapa Jessica dapat menyukaiku. Aku cerita kepada bunda sejak Jessica menyatakan perasaannya sampai percakapan terakhirnya padaku. Mendengar ceritaku, raut muka bunda berubah.

“Ini Jessica teman barumu yang sering kamu ceritakan itu?”
“Iya, Bun.” Bunda menghela napas panjang.
“Livia, sudah kodratnya manusia harus menyukai lawan jenis. Perempuan menyukai lelaki, dan lelaki menyukai perempuan. Sudah jelas kalau seorang perempuan menyukai sesama perempuan itu melawan kodrat dan tidak normal. Temanmu itu sakit jiwa. Jangan dekat-dekat lagi dengannya. Nanti kamu ketularan.”

Apakah yang dikatakan ibuku benar? Namun mengapa aku harus menjauhi Jessica? Jessica tidak mempunyai teman di kelas dan aku tidak tega menjauhinya karena dia pasti akan kesepian lagi. Selama ini Jessica juga terlihat normal dan sehat. Apakah bunda salah? Sedangkan aku sendiri tidak yakin hal itu menular. Aku lalu memutuskan untuk mencari jawaban di internet. Internet ternyata benar-benar mempunyai informasi mengenai apa yang dialami Jessica, dan jawaban di internet berbeda jauh dengan apa yang dikatakan bunda. Menurut halaman web psikologi yang kutemukan, apa yang dialami Jessica itu normal dan tidak menular. Nama fenomenanya adalah homoseksualitas dan Jessica termasuk dalam kategori lesbian. Lesbian hanya menyukai sesama perempuan, dan itulah mengapa Jessica tidak pernah berbicara tentang lelaki, karena memang dia tidak tertarik dengan lawan jenis. Akan Tetapi aku masih bingung, mengapa perkataan bunda berbeda jauh dengan apa yang aku baca di internet. Namun halaman web tersebut tidak menjelaskan apa yang harus kulakukan kepada Jessica. Aku lalu teringat bahwa sekolahku menyediakan layanan konseling, dan karena ini termasuk ranah psikologi, aku memutuskan untuk bertanya kepada konselor sekolah besok.

Besoknya, Jessica tidak berbicara sama sekali denganku di kelas. Dia seakan-akan menganggapku tidak ada. Bel istirahat berbunyi. Aku langsung menuju ke kantor konselor. Jujur saja, aku sedikit gugup karena ini kali pertamaku mengunjungi kantor konselor sekolah. Konselor ini jarang dikunjungi murid-murid. Bahkan hampir tidak pernah.  Sewaktu aku memasuki ruangannya, seperti dugaanku, ruangan itu benar-benar sepi. Tidak ada satupun murid yang berkonsultasi di sana. Aku mengetuk pintu perlahan lalu ibu konselor mengizinkanku masuk. Dia mengambilkan air dan menyapaku dengan ramah, “Hai, nama saya Intan, siapa namamu? Mari silahkan duduk.” Aku duduk tepat di hadapan beliau diselimuti rasa gugup. “Na..nama saya Livia, Bu..” jawabku terbata-bata. Mendengarku gugup begitu ia hanya tersenyum lalu meyakinkanku bahwa tidak ada yang perlu aku takuti. Dia dengan senang hati akan mendengarkan permasalahanku karena itu memang pekerjaannya.

Aku memperkenalkan diriku lalu menceritakan soal Jessica dan pendapat ibuku serta tulisan di halaman web yang kubaca. “Aku tidak tahu siapa yang benar, Bu. Apakah ibuku atau halaman web itu yang benar? Apa yang harus kulakukan pada Jessica? Apakah aku harus menjauhinya? Jessica tidak punya teman dan aku tidak tega meninggalkannya karena dia akan kesepian.” Ibu Intan tersenyum mendengarkanku. “Oh jadi ini masalah yang membuat kamu gugup seperti ini . . . Livia, manusia itu beragam dan mempunyai banyak perbedaan satu sama lain. Tidak semua lelaki menyukai perempuan dan tidak semua perempuan menyukai lelaki. Apa yang dialami oleh temanmu itu normal dan tentu saja tidak menular. Cukup banyak orang di dunia yang mengalami hal yang serupa dengannya.”

“Jessica juga mengalami pubertas sama seperti kamu dan teman-temanmu yang lain. Perbedaannya hanya di orientasi seksual. Jessica menyukai sesama jenis, sedangkan teman-temanmu yang lain menyukai lawan jenis.  “Saran ibu, sebaiknya jelaskan kepada Jessica bahwa kamu heteroseksual, tetapi kamu tidak akan menjauhi dan tetap ingin menjadi sahabatnya. Yang dia butuhkan sekarang hanyalah teman yang mau menerima dia apa adanya.” lanjutnya. Perkataan Ibu Intan membuatku lega. Sahabatku normal dan aku masih bisa berteman dengan dia. Aku memutuskan untuk melakukan sarannya sepulang sekolah nanti. Aku hanya berharap semoga Jessica mau bersahabat lagi denganku.

Sepulang sekolah, Jessica langsung beranjak pergi, tetapi aku menghentikannya dan berkata bahwa aku ingin bicara empat mata dengan dia. Jessica awalnya menolak, “Apa lagi? Sudah kubilang aku tidak ingin menemuimu.” Aku tetap memaksa dan berkata bahwa ini penting. Dia akhirnya bersedia dan kami pun menunggu sampai kelas benar-benar sepi. “Sebelumnya, aku minta maaf karena aku membicarakan soal perkataanmu waktu itu kepada konselor sekolah. Aku mau jujur kepada kamu. Aku seorang heteroseksual karena aku tidak pernah menyukai perempuan. Namun aku yakin suatu hari kamu akan menemukan orang yang akan membalas perasaanmu. Jes, aku masih ingin bersahabat denganmu.

Maukah Kamu bersahabat kembali denganku?”  Jessica terdiam dan terlihat seperti terkejut. “Kamu yakin masih mau berteman denganku? Aku yang aneh seperti ini?”
“Bukan, Jes. Kamu bukan orang yang aneh!”

Aku lalu menjelaskan apa yang Bu Intan katakan padaku. Jessica menangis dan berkata “Terima kasih, Livia. Kamu benar-benar sahabat yang baik.”  Kemudian Jessica dan aku pun pulang sekolah bersama-sama seperti dulu lagi dan persahabatan kami kembali seperti semula. Bersahabat dengan Jessica membuat aku belajar untuk menerima perbedaan karena perbedaan itulah yang membuat manusia menjadi indah.