Search
Close this search box.

Rene Balmaceda, Polisi Transgender Pertama di Filipina

SuaraKita.org – Upacara bendera baru saja berakhir di Kamp Karingal di Quezon City. Ratusan polisi dari Metro Manila telah berbondong-bondong ke kamp berdinding semen, membentuk lautan biru di lapangan betonnya.

Saat barisan bubar, dia tampak menonjol: Rambutnya merah, dipangkas bersih di bagian belakang dan panjang di bagian depan. Alisnya menebal dengan naungan eyeliner cokelat tua. Bibir merah muda merona. Figur tubuh berbentuk jam pasir mengenakan mantel biru dan celana – seragam lelaki.

Parfumnya beraroma manis. Dia tampak angkuh dengan raut wajahnya yang tajam, tapi ucapannya cukup untuk mendorong senyum lembut.

Anda mendengar polisi lain memanggilnya “Madame” saat mereka memberi hormat. Ini adalah gelar yang ia peroleh setelah bergelut dalam diskriminasi.

Dialah Inspektur Senior Polisi Rene Balmaceda, transgender perempuan pertama yang menjadi polisi di Philippine National Police (PNP).

Tumbuh sebagai gay di provinsi ini

Salah satu kenangan pertama Rene adalah ingin menjadi seorang gadis – atau setidaknya gadis stereotip.

Terlahir sebagai putra bungsu bagi petani di kota pesisir Viga, Catanduanes, dia memiliki sedikit harapan untuk keinginan ini. Masalahnya bukan karena penerimaan keluarganya, tetapi kemiskinan.

Orang tuanya langsung tahu bahwa putra mereka gay hanya dengan suara dan gerakannya yang halus. Sementara anak-anak lain bermain bola basket, anak mereka memutar-mutar tongkatnya. Mereka tidak keberatan.

Namun, mereka tidak bisa membeli parfum atau sampo berwangi bunga yang dikemas dalam botol mengkilap yang diinginkan putra mereka.

Karena kami tinggal di kampung, kami tidak punya uang untuk membelinya. Sabun saya saat itu adalah kerang. Sampo saya diperas dari kelapa

Meskipun Rene ingin mencoba blus dan gaun, dia juga harus mengenakan seragam anak lelaki, seperti yang diperintahkan oleh sekolah. Di sekolah, teman-teman sekelas Rene tidak bisa menjamahnya, karena kakak leaki yang tertua adalah polisi.

Namun ada saja penghinaan di sana-sini. Keluarganya bahkan kadang-kadang harus menghardiknya karena bersikap feminin di depan orang asing dan tetangga. Rene kecil menjaga dirinya dengan pemahaman.

Pemikiran orang sangat berbeda di kampung, mereka yang lain tidak berpendidikan. Jadi mengapa Anda harus mendengarkan mereka? Mengapa Anda marah?) katanya.

Rene belajar di kedokteran gigi, tetapi sebelum dia bisa mengikuti ujian, saudara perempuannya mengisi permohonan untuk Akademi Kepolisian tanpa dia sadari. Untuk menyenangkan saudara perempuannya, Rene mengikuti ujian dan memperoleh tempat di sekolah polisi pertama di negara itu.

Rene mau mengikuti ujian masuk setelah terpesona oleh “aura” polisi perempuan. Di dalam akademi polisi, dia akan belajar bahwa “aura” yang dia rindukan akan ditempa melalui penderitaan bertahun-tahun.

Di dalam Akademi Kepolisian

Rene tidak berusaha untuk bertindak maskulin di dalam Akademi Kepolisian yang patriarki.

“Saya tidak perlu memberi tahu siapa pun, karena sebelumnya sebagai pelamar, rumor sudah menyebar tentang saya.”

Di kelas, dia mempelajari buku-buku yang sama dan menghadapi guru yang sama dengan teman seangkatannya. Tetapi di luar, di mana para senior akademi mengatur kehidupan militeristik mereka, Rene paling menderita karena menjadi lelaki gay yang melela.

Rene menghadapi dua kali lipat jumlah latihan dan hukuman yang dilakukan kakak kelasnya terhadap teman-teman sekelasnya.

Seorang senior dari Rene yang tidak ingin disebutkan identitasnya mengaku adalah salah satu dari mereka yang ikut memukuli Rene.

Tujuan mereka adalah untuk membuat Rene tidak tahan sehingga dia akan berhenti.

“Akademi Kepolisian adalah dunia lelaki,” kata senior Rene. “Hanya ada dua untuk dipilih, lelaki dan perempuan, jadi di mana dia (Rene) terletak?”

Diskriminasi itu, kata teman Rene sesama alumni, diterapkan hanya untuk lelaki feminin. Perempuan maskulin atau “tomboi,” bahkan disukai karena mereka dianggap kuat.

Rene membuktikan dirinya. Dia mengambil semua tantangan dua kali, rute berlari diperpanjang, tidur terakhir, bangun pertama, dan melakukannya lagi. Melihatnya menderita setiap hari, teman sekelas Renememintanya untuk mengundurkan diri karena kasihan. Rene tidak mau. Tidak sekalipun pikiran itu tergelincir dalam pikirannya.

“Aku berpikir aku tidak akan berhenti (dari akademi) sampai aku mati,” katanya.

Kebijakan PNP homofobik?

Dengan sistem dan konvensi saat ini, banyak lelaki gay dan individu transgender lainnya tetap terkena diskriminasi.

PNP tidak secara eksplisit melarang homofobia di antara jajarannya.

Dalam Buku Kode Etik PNP, tidak disebutkan kesetaraan gender. Hanya “keyakinan spiritual” dan “sopan santun” yang disebutkan secara khusus.

“Anggota PNP secara tradisional adalah orang-orang yang religius dan mengasihi Tuhan. Mereka menghadiri kebaktian keagamaan bersama dengan anggota keluarga mereka … Anggota PNP memiliki karakter yang lurus, lembut dalam sopan santun, bermartabat dalam penampilan, dan tulus dalam perhatian mereka kepada sesama,” demikian tertulis dalam kode etik tersebut.

Hal ini datang dalam konteks negara yang didominasi Katolik, di mana banyak orang Kristen menentang pengesahan RUU kesetaraan gender.

Undang-undang Filipina, sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Agung, juga tidak mengizinkan individu transgender untuk mengubah identifikasi mereka dari satu jenis kelamin ke yang lain, bahkan dengan operasi ganti kelamin.

“Sementara individu transgender mungkin telah berhasil mengubah tubuh dan penampilannya melalui intervensi operasi modern, tidak ada hukum yang mengijinkan perubahan jenis kelamin di registri sipil karena alasan itu. Jadi, tidak ada dasar hukum dari petisi untuk koreksi atau perubahan entri dalam akta kelahirannya, “kata Pengadilan Tinggi dalam keputusan yang ditulis oleh Associate Justice Renato Corona pada tahun 2007.

Ini berarti bahwa meskipun Rene Balmaceda mengidentifikasi dirinya sebagai seorang perempuan, meskipun ada polisi di sekelilingnya, bahkan kepala PNP, yang sudah memanggilnya demikian, PNP masih melihatnya sebagai seorang lelaki.

Rene mulai menyebut dirinya seorang perempuan pada tahun 2017. Setelah melalui masa transisinya.

Organisasi tidak melihat hal yang tampak membuatnya sakit, karena selama waktu bertugasnya berakhir, dia bisa menjadi dirinya sendiri.

Dukungan eksplisit hanya dapat dilihat di National Police Commission (Napolcom), lembaga yang mengelola PNP, dalam mengizinkan orang-orang dari gender apa pun untuk bergabung dengan polisi.

“Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan gender, agama, asal etnis atau afiliasi politik,” demikian tertulis dalam Memorandum Circular 2005-02 Napolcom tentang perekrutan polisi.

Perintah ini, bagaimanapun, hanya mencakup perekrutan. Perlakuan terhadap LGBT setelah penerimaan diserahkan kepada kebijaksanaan atasan dan kolega mereka.


Pelajaran dari lapangan

Sekarang, Rene Balmaceda mengepalai kantor administrasi Unit Penyelidikan dan Deteksi Polisi Kota Quezon, menyortir dan menandatangani surat-surat tentang penyelidikan penting.

Dalam lebih dari 15 tahun mengabdi, Rene bulak-balik antara menjadi polisi administratif dan operatif.

Ketika ditanya tugas apa yang dia sukai, Rene dengan malu-malu menjawab ala jawaban kontes, “keduanya.” Tapi jelas dia ingin kembali ke lapangan.

Tanpa diduga, menjadi transgender perempuan ternyata bermanfaat dalam operasi, khususnya dalam misi yang menyamar.

“Tidak ada yang percaya bahwa saya seorang polisi karena saya gay” katanya.

Ditanya di mana dia ingin ditugaskan berikutnya, dia hanya berkata, “dimanapun.”

Rene masih memiliki 14 tahun sebelum memasuki usia pensiun wajib yaitu 56 tahun.

Satu dasawarsa telah berlalu, dan impian bocah itu telah menjadi kenyataan. Rene Balmaceda tidak pernah menjadi seorang gadis. Dia ditakdirkan menjadi perempuan. (R.A.W)

Sumber:

rappler