Oleh: Yoga Palwaguna
SuaraKita.org – Janari itu, pandangan Mami serapuh daun tua yang hampir rontok diterpa angin kemarau. Tangannya yang bergetar bersigenggam di atas meja seolah tulang-tulang dalam tubuhnya sudah kehilangan daya untuk menyangga raga.
“Setidaknya, sarapanlah dulu,” suara Mami melas, putus asa mencoba menerobos kalut pikiran anak-anaknya yang tergesa-gesa mengepak baju bahkan tanpa sempat cuci muka dan menghapus riasan wajah. Tapi mau bagaimana lagi, toh Mami tak mungkin mengharapkan reaksi lain dari sekelompok orang yang baru saja menjadi saksi adegan penganiayaan. Lima belas menit yang lalu, gerbang depan rumah ini bergelemprang digedor-gedor. Mami yang memang tak pernah tidur kecuali beberapa jam saja menjelang pagi langsung berlari turun dari kamarnya di lantai dua untuk mendapati Denia, Imelda dan Andini yang pucat bersimbah keringat. Bibir mereka bergetar. Mami menyangka mereka dikejar hantu, padahal yang benar, manusialah yang selalu lebih bengal dan menyeramkan, dan malam itu Susi telah menjadi korbannya.
Tidak ada jawaban bagi usulan Mami. Tak ada yang sempat. Tatkala setiap kokok ayam disikapi sebagai pertanda semakin sempitnya celah waktu untuk menyelamatkan nyawa, tak ada yang peduli soal semangkuk nasi goreng dan tiga buah piring kosong di hadapan Mami.
“Sudah tahu mau ke mana?” tanya Mami yang meski telah menahan diri, namun tetap saja merasa gusar jika hanya memerhatikan sambil menyegel mulut.
“Belum tahu. Tapi yang jelas harus pergi, Mam. Di sini sudah tidak aman,” sahut Denia cepat.
“Mami gak mau ikut kami?” tanya Imelda yang sedang membereskan kutang ke dalam koper.
“Ah, sudah tua begini, mau lari juga capek. Mami di sini saja. Kalaupun ada apa-apa, setidaknya Mami di rumah sendiri,” jawab Mami sambil meletakkan kacamatanya di meja seraya menghela napas.
“Kami pergi bukan berarti gak mikirin Mami,” ucap Andini entah untuk kali ke berapa. Mami tidak tuli, dan Andini tidak punya gangguan otak apapun yang akan menyebabkannya meracau kalimat yang sama berulang-ulang, tapi kalimat itu telah menjadi semacam penenang hati bagi keduanya.
“Gak usah mikirin Mami, yang penting kalian selamat,” balas Mami yang kemudian disahuti dengan sayup “amin” yang sekejap lantas tenggelam ditelan dingin subuh awal Februari.
“Susi gimana?” tanya Mami lagi.
“Kita doain aja, Mam.” Jawaban dari Denia itu diartikan Mami bahwa ia hanya bisa menunggu dan berharap kabar mengenai Susi akan muncul di tayangan berita, esok atau lusa. Tentu jika media menganggap baik buruk kehidupan seorang Susi layak untuk muncul di televisi.
Setelah semua yang perlu dibawa dikemas dalam tas dan koper, ketiga manusia yang hendak melarikan diri itu bergeming menghadap pantulan wajah mereka masing-masing pada cermin yang disandarkan di tembok kamar tempat mereka biasa tidur bersama dalam masa-masa aman ketika tak ada jadwal kerja. Denia, Andini dan Imelda tahu, matahari akan segera mencuri sisa waktu tanpa sedikitpun berbaik hati, tetapi mencampakkan bayangan dalam cermin itu terasa sama pedihnya dengan mengiris nadi sendiri.
Dari lawang pintu Mami memberikan pengumuman dengan sedikit terbatuk, mungkin menahan tangis, atau sekadar gejala wajar manusia yang hampir tuntas dicerna usia, “sudah setengah lima,” katanya.
Pandangan Denia sempat layu dan terjatuh ke tegel sebelum ia seret kembali menuju alat penghapus rias wajah.
Bagi Denia, sapuan demi sapuan kapas basah tak hanya menghapus tebal bedak dan jejak pensil alis tetapi juga panjang jalan sejarah dan ingatan-ingatan tentang: gaun pertamanya, berwarna biru yang ia curi dari lemari kakak pada suatu hari minggu; cinta pertamanya, setahun lebih tua dan senang menghadiahkan sekantung plastik belalang bakar untuk dimakan bersama; hari-hari pertama Denia hidup di jalan setelah diusir oleh orang tua; pertemuannya dengan Mami yang selalu ia syukuri; makan malam pertamanya di rumah ini, nasi goreng hangat dengan potongan cabe rawit yang membuatnya sakit perut tetapi amat bahagia. Begitu juga bagi Andini dan Imelda.
Yang paling menyakitkan bagi ketiganya adalah keharusan untuk merelakan diri dimangsa tajam gunting. Lebih dari sekadar mahkota, bagi mereka rambut panjang adalah kebanggaan, eksistensi diri, wujud lain dari kelamin. Menghilangkannya tak lain adalah sebuah pengebirian yang kejam. Namun, seperti cicak yang harus sanggup memutilasi tubuh sendiri demi menyelamatkan diri, tak ada pilihan bagi ketiga manusia itu kecuali mengorbankan diri. Disaksikan Mami yang duduk bersimpuh sambil mengurut dada, mereka saling potong bergantian. Setidaknya itu lebih baik daripada digunduli paksa orang lain, rasanya pasti lebih buruk daripada diperkosa guru ngaji yang tidak pandai bercinta.
“Ini baju Mami ambil dari kamar si Johan, kalian pakai saja,” kata Mami sambil menyodorkan tiga setel pakaian laki-laki.
“Mami sudah telepon si Karya, dulu mobil dia suka Mami sewa, dia bakal antar kalian ke terminal. Daripada naik ojek sembarangan, bahaya. Sebentar lagi dia datang. Kalian punya bekal berapa?”
“Sudah, gak usah mikir soal kami. Kalau bisa, Mami juga cari tempat lain buat sementara. Orang-orang di sini kan sudah pada tahu siapa Mami,” kata Imelda sementara Denia dan Andini mengecek bawaan untuk terakhir kali. Sejak Imelda tinggal di rumah ini, Mami tak pernah lagi mencuci baju dan piring, sakit lambungnya juga semakin jarang kambuh. Kini, mungkin Mami harus mempertimbangkan untuk kembali menyetok pilkita dan promaag di kotak obat.
Sebelum melepas ketiga anaknya, Mami merasa perlu mengatakan sesuatu. “Anak-anakku, dengar pesan Mami. Mami sudah cukup tua untuk bisa bilang bahwa setiap badai pasti akan berlalu. Klise, tapi Mami sudah buktikan sendiri. Kali ini cuaca memang sedang tidak ramah pada kita. Namun pasti akan ada saatnya, kita tidak tahu kapan, tapi pasti akan ada masanya ketika langit kembali cerah bagi kita semua. Jangan putus asa. Jangan bertengkar. Kalian saudara, harus saling bantu dan melindungi. Dengan begitu, semua akan baik-baik saja. Percaya sama Mami.” Tiga orang di hadapan Mami menunduk.
Tiga bunyi klakson menjadi pertanda bahwa angkutan mereka sudah tiba. Di ambang pintu, Denia—yang sudah tak terhitung pernah berapa kali dengan gagah melempar sepatu pada pelanggan kurang ajar—terisak di pundak Mami. Bengis dunia telah menguatkan mental Denia tanpa pernah mengeraskan hatinya. Ia tetap anak yang baik, anak Mami.
Mami berdiri bertopang rangka gerbang, memerhatikan mobil hitam yang subuh itu membawa anak-anaknya melarikan diri sebagai Deni, Andi dan Iman. Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja. Amin. Pelan, ia bergumam di sela kokok ayam.
***
Siang itu, kabar tentang Susi akhirnya Mami terima melalui baris huruf-huruf yang berjalan di dasar layar kaca: “Seorang waria berinisial S ditemukan babak belur di pinggir jalan setelah dikeroyok oleh belasan warga.”
TAMAT
*Janari: waktu antara tengah malam dan subuh (Sunda)
Yoga Palwaguna, tinggal di Kabupaten Bandung. Menulis cerita, puisi, artikel dan opini. Tulisan-tulisannya bisa dibacas di blog Ruang Rumpi: ruangrumpi.wordpress.com