Search
Close this search box.

[Opini] Motherhood

oleh: Poppy Louise*

Ibu adalah orang tua perempuan seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak). – Wikipedia Indonesia

SuaraKita.org – Motherhood.  Sebuah kata yang cukup sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia EYD. Keibuan? Menjadi seorang IBU?? Ruang lingkup kehidupan ibu?

Siapakah yang pantas untuk disebut sebagai IBU? Apakah hanya perempuan yang secara biologis melahirkan seorang anak, atau perempuan yang mengadopsi seorang anak dalam kehidupannya? Bagaimana dengan peran ganda seorang ayah yang menjadi ibu bagi anak-anaknya, atau seorang kakak (laki-laki atau perempuan) yang mengambil peran sebagai ibu bagi adik-adik mereka? Bukankah sering kita dengar ungkapan sayang “Beliau/Ayah/Kakak adalah ibu bagi kami…”. Apakah batasannya?

Hal semacam ini sebenarnya cukup lumrah di masyarakat Indonesia, dengan sistem kekeluargaan yang berbentuk kekerabatan. Kasih sayang, sering kali begitu tulus mengalir, tidak terlalu kita perhatikan, cenderung diterima sebagai sesuatu yang biasa, bahkan disia-siakan. Namun dengan semakin berkembangnya masyarakat dan keterbukaan di masyarakat, LGBTIQ juga mempunyai peranan yang besar dalam motherhood. Parenthood, secara umum.

Pada akhir Maret 2017, Vicks India meluncurkan iklan yang begitu menyentuh kemanusiaan kita, “Touch of Care”, yang dibuat berdasarkan kisah nyata Gauri Sawant. Iklan tersebut mengusung dua tema kontroversial, yaitu mengenai adopsi dan hak-hak transgender. Gauri Sawant sendiri adalah seorang aktifis dan juga transgender, yang mengadopsi seorang anak perempuan yang bernama Gayatri.

Gauri menyelamatkan Gayatri dari pelelangan. Ibu Gayatri, yang merupakan pekerja seks, meninggal karena AIDS, dan barang-barang kepunyaannya dilelang. Salah satunya adalah Gayatri, sang anak perempuan. Nenek Gayatri hendak menjualnya kepada mucikari di Sonagachi, red-district terbesar di Asia, di wilayah Kalkuta. Gauri mengambil paksa Gayatri untuk menyelamatkannya dari pelelangan tersebut sambil berharap ada sanak keluarga Gayatri lain yang mau merawatnya. Namun, waktu terus berlalu, hingga masa Gauri menyadari kalau dia menyayangi Gayatri dan akan terus melindunginya.

Kehidupan Gauri sendiri tidaklah mudah. Terlahir Ganesh Suresh Sawant di Pune, India, Gauri diperlakukan secara tidak baik oleh keluarganya, karena tingkah lakunya yang seperti perempuan. Pada usia 18 tahun, dia diusir oleh keluarganya, mengalami kehidupan jalanan yang sangat keras, sampai akhirnya bertemu dengan aktifis gay (HAM – LGBTIQ), Ashok Row Kavi, yang menampungnya dan membiayai pendidikan Gauri. Dengan bantuan dari Humsafar Trust, Gauri melakukan operasi ganti kelamin, tanpa support dari keluarga.

Akhir tahun 2000, bersama dengan Ashok Row Kavi dan dua teman lainnya,, Gauri Sawant juga mendirikan sebuah organisasi yang membantu Transgender dan ODHA, yang dinamai Sakhi Char Chowghi Trust, di Malad, Mumbai. Tujuannya adalah untuk menyediakan ruang aman untuk semua transgender, hijra dan LSL di kota tersebut. Sampai saat ini, dengan bantuan sekitar 150 orang pekerja, Gauri mengedukasi mengenai seks aman dan menyediakan konseling untuk transgender di daerah Mumbai. Dia juga ikut dalam petisi NALSA (National Legal Services Authority) yang berhasil memperjuangkan pengakuan negara untuk transgender sebagai gender ke tiga pada tahun 2013. Namun,sampai saat ini, komunitas transgender tetap harus memperjuangkan hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan warga negara.

Kasih sayang. Love. Compassion. Welas asih. Sawelas asih. Semua merupakan nama dari sebuah perasaan yang merupakan sifat alami kita sebagai manusia. Seberapa jujurkah kita untuk mengakui dan memahami hakikat kemanusiaan kita, di tengah banyaknya hal buruk yang terjadi di dunia ini?

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, mengatakan hingga kini jumlah anak terlantar di Indonesia masih tinggi (Pernyataan di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/7/2016). Khofifah berharap, Program Keluarga Harapan (PKH) yang hingga kini masih berjalan bisa menekan angka anak terlantar, minimal mengembalikan mereka ke sekolah. Apa yang ada di benak kita mengenai begitu banyak anak-anak yang bisa saja menjadi “Generasi yang Hilang” atau bahkan menjadi korban trafficking. Hal ini tentu saja membutuhkan perhatian dan bantuan yang besar dari pemerintah dan masyarakat, baik yang heteroseksual maupun sahabat LGBTIQ.

Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, membutuhkan banyak pengorbanan, keringat, darah dan air mata. Perhatian dan kasih sayang. Khususnya, kasih sayang tak bersyarat. Namun hal ini tentu akan lebih berat untuk LGBTIQ, terbentur dengan “masalah hukum, norma dan stigma” yang akan dilekatkan, baik kepada orang tua, maupun anak. Tapi, apakah kita akan diam saja berpangku tangan, melihat bumi yang kita kasihi, menangis di kelilingi kejahatan kemanusiaan dengan anak-anak sebagai korbannya?

Perjalanan hidup saya membawa saya berkenalan dengan seorang transgender di Pesantren Al Fatah, Yogyakarta. Kakak transgender yang berinisial K berasal dari Medan. Perjalanan hidupnya tidaklah mudah, seperti kawan-kawan transgender lainnya, yang banyak diwarnai dengan penolakan dan kebencian dari masyarakat. Namun dengan bangga, beliau bercerita tentang keluarganya. Tentang tiga anaknya yang mulai dewasa. Anak tertua sudah berumur 21 tahun, dan dua anak lainnya yang masih SMA. Sambil bercerita, K sempat menitikkan air mata, mengingat perjuangannya dalam membesarkan anak-anak kesayangannya.

K juga menceritakan pengalaman hidupnya di jalanan di Sumatera Utara, karena dibuang oleh keluarga (karena dari kecil sudah menunjukkan sifat perempuan), sampai akhirnya bermukim di Jogja. Ada satu masa dia bersujud dan menangis mendengar lantunan Al Quran dan memutuskan menjadi mualaf. Beragama itu haruslah dari kesadaran diri sendiri, bukan dipaksa. Karena itu adalah cara manusia untuk berkoneksi dengan Sang Pencipta.

“Amanah”, itulah jawaban yang diberikan K ketika saya bertanya mengenai jumlah anak adopsinya. K bercerita bagaimana tiga orang perempuan datang padanya dalam waktu yang berbeda, dengan kandungan berumur 3-4 bulan. Semuanya, mempercayakan bayi yang tidak bisa mereka rawat, pada K yang dengan rela hati mengambil alih tugas mereka sebagai seorang ibu. Salut untuk beliau, karena sangatlah tidak mudah untuk menjadi tulang punggung untuk anak-anak yang membutuhkan perhatian, dan juga biaya untuk penghidupan dan pendidikan.

Tentu saja banyak cerita mengenai motherhood yang tidak terekspose atau diekspose, dikarenakan rentannya stigma yang akan dilabelkan oleh masyarakat, dan juga kemungkinan anak akan diambil oleh negara, tanpa memikirkan ikatan perasaan/ bonding yang sudah tercipta antara orang tua dan anak. Kembali mengenai jumlah anak terlantar yang begitu banyak yang membutuhkan bantuan (khususnya finansial, untuk pendidikan yang baik dan lain-lain), mampukah negara memenuhi Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”?

Diskriminasi dan kebencian seringkali merupakan manifestasi dari ketakutan yang disebabkan oleh ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman akan adanya “perbedaan”. Keterbukaan membantu kita untuk mengatasi ketakutan dan ketidaktahuan akan kemanusiaan. Vicks India ingin menghubungkan kita dengan sebuah pengalaman universal mengenai kasih ibu yang tanpa syarat, serta memperlihatkan ikatan ibu dan anak yang kuat. Demikian juga, narasi ini bertujuan untuk membuka mata dan hati kita untuk memahami, banyak contoh-contoh positif yang sudah dikerjakan oleh kawan-kawan LGBTIQ dalam masyarakat, terlepas dari gender dan orientasi seksual.

Pada akhir cerita, Gayatri akhirnya melanjutkan pendidikannya di asrama, untuk menjadi seorang pengacara, untuk membela hak-hak dasar kemanusiaan semua orang, termasuk kaum termarjinal seperti Gauri, ibunya. “Pendidikan Moral mengatakan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan hak-hak dasar kemanusiaan. Mengapa ibuku diabaikan?” demikian ungkapan hati Gayatri, seorang anak yang demikian mengasihi ibu yang selalu menjaganya.

Melihat banyaknya Gauri, K, dan “Ibu” lainnya yang tidak terlahir memiliki vagina, pasangan LGBTIQ, sangatlah tepat untuk mengutip pernyataan Gauri Sawant.

“A mother is a mother. There isn’t any assigned gender to be one,”

Seorang ibu tetaplah seorang ibu. Tidak perlu label gender tertentu untuk menjadi seorang ibu. (R.A.W)

*Poppy Louise adalah seorang ibu tunggal, fotografer dan aktivis kebhinekaan

Referensi:

Hindustan Times

thewire

HRC

suara

timeliners

Mumbai Mirror