Search
Close this search box.

[Cerpen] Panjang Umur Perjuangan

Oleh: Wisesa Wirayuda

SuaraKita.org – -1 Maret 2018-
Tempat tidurku bergemuruh, tanda bahwa ada KRL Commuter Line melintasi belakang rumahku untuk pertama kalinya di subuh hari, tandanya aku sudah harus bangun. Karena tidak mungkin aku masih bisa lanjut tidur. Jika tidak ada tembok ini mungkin aku tidak akan bisa tidur sama sekali tadi malam. Aku duduk beberapa menit, mengusap-usap wajah, lalu kemudian barulah aku berani untuk berdiri.
Masih terkantuk-kantuk, kunyalakan kompor untuk merebus air. Sembari menunggu air mendidih, aku sempatkan menyetrika kemeja kerjaku ini. Kupilih yang paling bagus yang tersisa di lemari. Sepertinya aku akan memakai yang serba hitam hari ini.
Mempunyai rumah yang dekat dengan stasiun kereta seperti ini mempunyai beberapa keuntungan sebenarnya. Untungnya aku bisa lebih cepat sampai di stasiun dengan cara jalan kaki, namun ruginya rumah ini pun terasa seperti stasiun dengan pengumuman ini itu secara terus-terusan. Sungguh bukan tempat yang pas untuk bertempat tinggal. Namun sudahlah, toh aku di rumah hanya untuk tidur di malam hari saja.
Aku perhatikan cermin sekali lagi sebelum aku benar-benar siap untuk berangkat. Kubuat tanda salib di dadaku, aku pun melangkah keluar rumah.
“Mas, ke Tanah Abang PP ya..” Kataku setibanya di loket. Aku berikan uang dua puluh ribuan supaya menghindari banyak tanya jawab dengan petugas loket.
Keadaan stasiun subuh ini nampaknya masih sepi. Yah, setidaknya di stasiun ini. Aku tidak tahu keadaannya di stasiun sebelum stasiunku bagaimana. Apakah aku akan kebagian, minimal untuk berdiri saja, atau tidak.
Beruntungnya aku kereta datang lebih cepat dari jadwal.
“Maaf Mas, ini gerbong perempuan.” ucap satpam yang ada di peron kala itu.
“Sa.. Saya perempuan Mas,” kataku sembari sedikit tersenyum. Sudah lima tahun aku pulang pergi naik kereta, ini kejadian yang ke dua puluh satu kali. Ya, aku menghitungnya.
Setelah si satpam meminta maaf karena merusak hari seseorang di subuh hari, aku pun masuk kereta dan melanjutkan hidup.
Sesampainya di tempat kerja, aku melihat orang- orang berdiri di pintu masuk. Dilihat dari wajahnya, nampaknya mereka kecewa sekali.
“Ada apa?” tanyaku pada seseorang yang kukenal.
“Bangkrut. Perusahaan ini bangkrut.”
Aku melongo agak lama, karena aku tidak menyangka ini sama sekali. perusahaan ini terlihat baik-baik saja selama ini. Ah nampaknya baju yang kupakai hari ini sangat cocok dengan nasibku.
***
-1 April 2018-
Keringatku bercucuran di bawah terik ini, dan ini adalah perusahaan ketiga yang kudatangi hari ini demi mencari kesempatan pekerjaan. Namun jika diteliti dari raut wajah sang atasan tadi, aku rasa aku akan gagal.
Banyak komentar soal penampilanku yang memang tidak “perempuan” untuk mereka. “Perusahaan kami menjunjung tinggi adat ketimuran, kami tidak masalah kalo kamu bukan muslim, namun bisa tidak kalo kamu berpenampilan sopan dan rapih?” Tanya salah seorang yang mewawancaraiku tadi pagi. Dari pertanyaan itu saja sudah membuatku yakin aku tidak akan diterima di kantor itu.
Ada lagi yang bertanya, “Kamu Lesbian ya? Kami tidak masalah jika penampilanmu sepeti ini, namun kamu tetap harus rapi ya, kalo bisa tidak usah pakai anting-anting itu.” Tadinya kupikir aku akan cocok di perusahaan tersebut, namun ternyata aku salah. Perusahaan itu hanya memancingku saja, akhirnya aku ditolak mentah-mentah karena memang aku Lesbian.
Akan sulit bagiku mendapatkan pekerjaan yang kuinginkan jika perusahaan-perusahaan yang kudatangi malah sibuk mengomentari penampilanku ketimbang melihat riwayat pengalamanku ini. Apa aku harus mengubah penampilanku agar orang-orang ini bisa menilaiku secara serius? Bukan melalui hal-hal yang remeh seperti penampilanku ataupun orientasi seksualku ini?
Di ujung jalan aku melihat seorang perempuan sedang duduk manis di bawah pohon, bersama penjual es campur yang sedang membuatkan minuman segar untuknya. Kuputuskan untuk menghampirinya, di saat seperti ini mempunyai kawan mengobrol sangat membantu.
“Habis melamar di sini juga?” tanyaku padanya.
“Hmmm… iya. dan sepertinya kita sama-sama terjebak ya oleh perusahaan ini jika aku lihat dari penampilanmu.” jawabnya dengan nada kelelahan.
“Yah mungkin aku harus terbiasa dengan ini. Hanya kesal saja bahwa pengalamanku bekerja selama ini benar-benar tidak berguna hanya karena aku berpenampilan maskulin seperti ini.”
“Sama dong…”
“Sama? maksudnya?”
“Aku Transpuan. Tidak terlihat ya?” katanya sembari tertawa-tawa.
“Maaf, maaf…” aku menjadi gugup seketika.
“Tak apa. Justru aku senang jika kamu kira aku ini perempuan ‘tulen’.” katanya sembari membuat tanda petik di antara kepalanya menggunakan jarinya.
“Aku Ratna.” Kataku.
“OH!” dia teriak agak keras membuatku semakin gugup. “Aku kira kamu Translaki-laki”
“Hmmm… identitas ini memang membuat bingung ya nampaknya.” kataku.
“Ya itu tetap bukan urusan perusahaan-perusahaan ini, mau rambutku sepanjang lutut, atau payudaraku besar, selama aku bisa bekerja dengan lebih baik ketimbang orang lain ya kenapa tidak?”
“Ya aku setuju.” kataku. “Mas, aku juga beli es campur ya. untuk di sini saja, gak usah dibungkus.” kataku pada pedagang es campur yang sejak tadi tertawa mendengar percakapan kami.
“Aku Dini, ngomong-ngomong.” lanjutnya.
“Salam Kenal.” kataku.
***
-1 Mei-
Sepertinya ribuan orang memenuhi jalan hari ini. Aku ditemani dengan orang-orang yang senasib denganku. Ada yang juga dipecat secara tiba-tiba, ada yang bekerja satu hari 10 jam tapi gaji di bawah UMR, ada yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan, ada yang dipaksa lembur, ada yang gajinya selalu terlambat, dan ada juga sepertiku dan Dini yang sulit dapat kerja hanya karena kami terlihat berbeda.
Orasi demi orasi berkumandang dengan nada marah, sedih, kecewa, dan penuh dengan harapan. Bendera pelangi berkibar juga dalam kerumunan ini, aku tak peduli lagi apa yang orang pikirkan. Aku hanya ingin dipandang setara. Dinilai dari kualitas bekerjaku, bukan dari rupa wujudku.
Kugenggam erat tangan Dini di tangan kiriku sembari kami berparade. Sedangkan tangan kananku kukepal ke langit.
Ah, hidup ini memang terasa lebih asik jika kita melawannya bersama-sama.
Selamat Hari Buruh. Panjang Umur Perjuangan!

Bagikan

Cerpen Lainnya