Oleh: Hartoyo
SuaraKita.org – Pada pertemuan perdana Kelompok Diskusi Kritis yang kami singkat dengan KDK membedah karya Sharyn Graham Davies; “Pengaturan seksualitas di Indonesia” yang dia tuliskan dalam buku Seksualitas Di Indonesia bersama penulis lainnya.
n dalam tulisannya berfokus pada konsep teori pengawasan dan bagaimana pengawasan itu dijaga. Konsep pengawasan sendiri dia sebut sebagai “surveillance theory”. Apa sebenarnya pengawasan? Dan bagaimana mekanisme pengawasan bekerja.
Menurut Sharyn dalam tulisannya tersebut, bahwa pengawasan sebagai upaya pemantauan sistematis terhadap seseorang/kelompok yang tujuannya untuk bisa mengatur dan mengendalikan prilaku setiap manusia.
Dalam menjalankan pengawasan tersebut diperlukan agen, aktor sebagai pihak pengawas dan sanksi, mereka dapar berbentuk institusi (negara, agama atau lembaga lainnya) ataupun non-institusi.
Sehingga menurut Sharyn pelaku pengawasan bisa pihak manapun yang mempunyai kuasa bahkan kawan sejawat. Pengawasan sendiri menurut Sharyn bahwa pengawasan sendiri berkaitan erat dengan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. [1]
Ada tiga hal yang penting yang dibahas oleh Sharyn dalam tulisannya soalnya pengawasan, antara lainnya soal ;
- Performative regulation,
Menurut Joshua[2], salah satu pemateri KDK bahwa pengaturan bisa dikatakan sebagai pengawasan sesuatu yang “negatif” pada individu tetapi bisa dilihat lebih jauh/luas dalam konteks seksualitas manusia. Dua pandangan itu juga dituliskan oleh Sharyn diawal tulisannya dalam dua study kasus terhadap dua perempuan remaja di Lombok yang menyatakan bahwa pengawasan dapat sebagai “kontrol” dalam artian negatif tetapi juga dimaknai sebagai sesuatu yang “positif” oleh sang pihak yang dikontrol.[3]
Pertanyaan selanjutnya Apakah pengawasan itu perlu dilakukan? Ada dua pandangan soal itu, ada yang beranggapan sebagai hal yang baik sebagai upaya “keselarasan” hidup bermasyarakat. Tetapi juga pengawasan dapat berfungsi atas kontrol pada pihak lain, terutama yang lemah.
Pengawasan sendiri yang secara sistematis dapat melahirkan apa yang disebut dengan hegemoni. Hal ini ditegaskan oleh observer KDK Irwan M. Hidayana, dosen antropologi di Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa pengawasan bagi yang diawasi dapat melahirkan hegemoni pemikiran. Bahwa individu tidak meyadari akan tindakan pengawasan tersebut. Sehingga aturan atau kebijakan sebagai bentuk kontrol atas tubuh dapat dianggap sebagai sesuatu yang baik, maka disitu patut dicurigai sebagai hegemoni.
Tetapi Irwan menegaskan pengawasan sendiri menjadi tidak masalah dalam hidup dalam sebuah masyarakat, karena akan selalu akan terjadi. Tetapi yang penting setiap individu mengetahuai bahwa ada sistem pengawasan itu. Sehingga individu dapat melakukan perlawanan dalam bentuk apapun.
Pernyataan itu senada dengan apa yang diungkapkan oleh Joshua, bahwa sebenarnya setiap individu dapat mengetahui dan bernegosiasi dalam kehidupan bermasyarakat ketika kontrol dan pengawasan itu bekerja. Sehingga setiap individu dapat bertahan dengan tetap terus melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk ataupun melakukan negosiasi dari situasi yang dianggap tidak adil.
Sehingga sistem itu yang harus dimiliki setiap individu ketika hidup dalam masyarakat, sebagai umat maupun sebagai warga. Sehingga tidak selalu semua hal dianggap baik atau salah, semua sudah “given” atau terberi sehingga tidak patut untuk dipertanyakan. Tetapi dapat mengetahui dan membangun cara yang tepat untuk melawannya dengan tetap bertahan dengan situasi yang ada. Kemampuan untuk setiap individu bertahan dan melawan, itulah yang sangat penting.
Intinya dari konsep pengawasan yang disampaikan oleh Sharyn sebenarnya pointnya disana. Sharyn mencoba membongkar bagaimana sistem pengawasan bekerja pada setiap individu yang sama sekali bukan sesuatu yang terberi begitu saja. Dan bagaimana setiap individu mampu melawan dan bertahan dengan berbagai caranya sendiri. Proses perlawanan dan cara individu itu melawan dan bertahanlah yang Sharyn katakan sebagai upaya “performative regulation”.
- Village Biopower, pengaturan atas tubuh atas dasar nilai-nilai masyarakat.
Pengawasan yang selanjutnya dibahas oleh Sharyn apa yang disebut dengan Village Biopower. Dalam hal ini pelaku pengawasan bukan hanya institusi formal seperti negara tetapi juga lembaga-lembaga non formal sampai pada level bawah.
Sharyn menggunakan konsep apa yang dipakai oleh Stein bagaimana nilai-nilai keteraturan diterapkan pada level paling bawah untuk mengontrol setiap individu, misalnya mana yang disebut sopan dan atau tidak sopan dalam sebuah masyarakat adat misalnya. Poin dari Village Biopower adalah bagaimana pengawasan dilakukan oleh non-state (nilai-nilai moral sebuah komunal yang terjadi sampai pada level bawah). Karena pengawasan selama ini yang ada selalu berfokus pada pelakunya negara, seperti yang diungkapkan oleh Foucault yang berfokus pada kebijakan negara.
Sekarang bagaimana pengawasan itu dapat bertahan dan tetap akan tetap langgeng hidup dalam nilai masyarakat maupun negara? Sharyn kemudian menyampaikan apa yang dia sebut sebagai ;
- Kinship of shame, rasa malu
Untuk mempertahankan pengawasan perlu dibangun sebuah nilai “malu” bagi yang melanggar nilai-nilai atau formal negara tersebut. Mengapa kita sangat malu ketika keluarga, masyarakat dan publik mengetahui bahwa diri kita seorang gay?
Pertanyaan itu yang disampaikan oleh Nico, salah satu pemateri tulisan pengaturan seksualitas di Indonesia karya Sharyn Graham Davies di diskusi kritis (KDK), 28 April 2018 di Jakarta.[4]
Menurut Yudi, ada rasa malu karena sejak kecil ada pendidikan yang ditanamkan pada keluarga melalui institusi keluarga, agama maupun sekolah bahwa menjadi seorang gay hal yang memalukan. Nilai dan pengetahuan itu terus menerus ditanamkan kepada kita dan banyak sekali lapisannya, ibarat kulit bawang yang puluhan lapis. Karena banyaknya lapisan nilai dan pendidikan menanamkan pada kita, akhirnya kita menjadi sangat malu ketika menjadi seorang gay.
Bahkan menurut Yudi, dirinya awalnya sangat malu ketika harus berteman dengan seorang transgender. Tapi setelah mulai belajar dan bertemu dengan banyak kawan transgender, rasa malu berteman dengan transgender sekrang sudah hilang dan terkikis karena ada pengetahuan dan perjumpaan dengan transgender.
Rasa malu ternyata juga banyak dialami oleh banyak LGBT, misalnya yang dirasakan oleh salah seorang peserta lesbian, memang rasa malu sangat kuat sekali tertanam dalam diri kita sehingga kita sulit sekali mengakui diri kita sebagai bagian dari LGBT.
Menurut peserta lainnya, rasa malu itu sendiri ditimbulkan banyak faktor yang melatarbelakangi, sehingga memang sangat sulit diuraikan. Dan salah seorang peserta lainnya memberikan masukan bagaimana mengatasi rasa malu tersebut, salah satunya bagaimana kita bisa bertemu dengan sesama komunitas dan saling saling belajar satu sama lain, seperti yang kita lakukan di KDK sekarang ini. Hal ini sangat membantu diri kita mengatasi rasa malu sebagai LGBT.
Selain itu menurut Dina, salah seorang peserta KDK mengatakan bahwa rasa malu disebabkan karena rendahnya pengetahuan terhadap seksualitas sendiri. Sehingga mengenal dan belajar tentang diri menjadi sangat penting, karena sering kita merasa bersalah sebagai LGBT. Hal ini ditegaskan oleh Nico menerima diri sebagai gay sangat penting.
Baim, yang juga seorang peserta berbagi pengalaman, walau saya sudah gabung di organisasi LGBT dan mempunyai pacar sejenis selama empat tahun, tetapi kadang-kadang saya merasa malu ketika pasangan saya bergaya feminin di depan publik.
Tiga elemen itulah yang dibahas oleh Sharyn, bagaimana kontrol atau pengawasan bekerja dan bertahan di setiap individu, baik dalam di institusi negara, agama, budaya bahkan hubungan individu dengan individu lainnya. Semoga ulasan ini dapat memberikan gambaran KDK pertama di Jakarta. Terima kasih. (R.A.W)
[1] Hal 34. Sharyn menggunakan teori pengawasan merujuk pada pemikiran Michel Foucault, Goffman dan Sussie Scott.
[2] Joshua adalah mahasiswa S1 semester 6 di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia.
[3] hal 31, Seksualitas Di Indonesia. “Orang tua saya, oh, semua orang di desa saya, memperhatikan saya. Begitulah cara mereka menunjukkan perhatian mereka (Ratna di Lombok), Setiap orang mencoba mengawasi saya. Mereka memperhatikan setiap langka saya sehingga saya tidak bebas untuk melakukannya apa saja (Nadin di Lombok)”.
[4] Kelompok Diskusi Kritis yang kemudian disingkat dengan KDK adalah sebuah kegiatan diskusi tematik selama empat kali pertemuan dengan tema besarnya membahas seksualitas nusantara. KDK akan membeda empat tulisan (Pengaturan Seksualitas di Indonesia, Politik gender perubahan rezim di Indonesia, Belonging komunitas dan identitas gay di Indonesia dan Subjektivitas Lesbian). Keempat tulisan ini diambil dari buku “Seksualitas di Indonesia, Politik Seksual, Kesehatan, Keberagaman, dan Representasi”, kumpulan tulisan dari beberapa individu; antara lain Linda Rae Bennet, Sharyn Graham Davies, Irwan M.Hidayana, Saskia E.Wieringa, Dede Oetomo, Tom Boellstorff, Evelyn Blackwood dan masih ada penulis lainnya.