SuaraKita.org – Indonesia seharusnya tidak mereformasi hukum pidana yang akan melarang hubungan seks di luar nikah termasuk homoseksualitas. Demikian kata Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UN High Commissioner for Human Rights) Zeid Ra’ad Al-Hussein dalam sebuah kunjungan ke Jakarta.
Zeid mengatakan bahwa meskipun dalam banyak hal, Indonesia sangat menjanjikan untuk menjadi negara “demokrasi yang dinamis”, dia “sangat prihatin” dengan diskusi tentang revisi KUHP dimana hubungan seksual didefinisikan sebagai zina akan menjadi tuntutan pidana.
Sementara usulan perubahan pada KUHP sangat luas, termasuk pembatasan kebebasan berbicara dan berkumpul yang lebih ketat, yang menindak komunitas LGBT yang sudah terpinggirkan telah menjadi penekanan dalam debat publik di negara Muslim terbesar di dunia.
“Diskusi ini mengkhianati jenis intoleransi yang tampaknya asing bagi budaya Indonesia yang telah membuat terobosan di sini,” kata Zeid. “Pandangan ekstremis yang bermain di arena politik sangat mengkhawatirkan, disertai oleh meningkatnya tingkat hasutan terhadap diskriminasi, kebencian atau kekerasan di berbagai wilayah di negara ini.”
Beberapa tahun terakhir telah terlihat tindakan keras yang diintensifkan terhadap kaum homoseksual dan individu transgender Indonesia di tengah meningkatnya konservatisme Islam, termasuk larangan aplikasi ramah LGBT dan serangan terhadap kegiatan yang disebut sebagai “pesta gay” oleh polisi dan kelompok garis keras.
Pekan lalu, ratusan orang pendemo berkumpul di provinsi konservatif Aceh untuk memprotes orang Indonesia LGBT, menyusul penahanan dan pelecehan terhadap 12 orang transgender perempuan dalam penggerebekan oleh polisi.
Spanduk anti-LGBT telah muncul di seluruh Jakarta, sementara suara publik untuk mendukung komunitas terpinggirkan maih jauh dari kata banyak. Beberapa komentator melihat kepanikan moral seputar isu LGBT seperti yang diproduksi oleh partai-partai Islam untuk meningkatkan dukungan menjelang pemilihan presiden tahun 2019.
“Pada saat mengkonsolidasikan keuntungan demokratisnya, kami mendesak orang-orang Indonesia untuk maju membela hak asasi manusia dan menolak usaha untuk mengenalkan bentuk diskriminasi baru dalam undang-undang,” tambah Zeid.
Perubahan yang diajukan pada hukum pidana – yang oleh sebagian besar anggota parlemen di parlemen Indonesia didukung – akan memungkinkan hukuman lima tahun penjara atas hubungan seks di luar nikah termasuk homoseksualitas.
“LGBT Indonesia sudah menghadapi stigma, ancaman dan intimidasi yang meningkat,” kata Zeid. “Retorika kebencian terhadap komunitas ini yang sedang dibudidayakan, tampaknya karena tujuan politik yang sinis yang hanya akan memperdalam penderitaan mereka dan menciptakan perpecahan yang tidak perlu.”
Asean Parliamentarians for Human Rights (APHR) juga meminta Indonesia untuk menolak perubahan tersebut, dengan alasan “rasa permusuhan yng akan makin meningkat” terhadap komunitas LGBT dari organisasi Islam, otoritas negara dan bahkan kelompok agama arus utama.
Teddy Baguilat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Filipina, mengatakan bahwa jika perubahan KUHP tersebut disetujui maka akan “memperkuat prasangka dan diskriminasi yang sudah ada yang dihadapi oleh masyarakat yang sudah rentan di Indonesia, serta melegitimasi intimidasi yang sedang berlangsung, kekerasan homofobik, dan penyalahgunaan wewenang polisi.”
“Bagi sebuah negara yang telah menganggap dirinya sebagai pemimpin di kawasan Asean mengenai isu hak asasi manusia, hal ini akan menjadi langkah ke arah yang salah,” katanya.
Pada hari Selasa (6/2) , Zeid Ra’ad Al-Hussein bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan mengemukakan keprihatinan atas isu diskriminasi terhadap LGBT Indonesia, terutama dalam rangka revisi KUHP tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa sementara Indonesia tidak akan mengkriminalkan orientasi seksual sesama jenis, masih harus ada hukuman untuk “tindakan LGBT”. Budaya dan kepercayaan di Indonesia mengatakan bahwa “mempromosikan” LGBT adalah perbuatan yang “tidak dapat diterima”, katanya.
Zeid juga mengungkapkan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Papua, karena gagal untuk secara terbuka menangani pembantaian komunis pada tahun 1965, dan juga undang-undang penghinaan kontroversial di negara tersebut yang menurutnya telah “digunakan untuk menghukum anggota kelompok agama dan penganut agama minoritas. “
“Jika masyarakat Muslim mengharapkan orang lain untuk melawan Islamofobia, kita juga harus bersiap untuk mengakhiri diskriminasi di tempat kita sendiri. Islamofobia itu salah. Diskriminasi atas dasar keyakinan agama dan warna kulit itu salah. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau status lainnya juga salah, “katanya.
Zeid mengatakan bahwa dia berharap bahwa “akal sehat dan tradisi toleransi yang kuat dari rakyat Indonesia akan menang atas populisme dan oportunisme politik.” (R.A.W)
Pernyataan dari UN High Commissioner for Human Rights Zeid Ra’ad Al-Hussein dapat diunduh pada tautan berikut:
[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2018/02/Zeid-Ra’ad-Al-Hussein-UN-High-Commissioner-for-Human-Rights-.pdf”]
Sumber: