Search
Close this search box.

2018: Melihat LGBT Dengan Lebih Jernih

Oleh : Hartoyo*

SuaraKita.org – Perdebatan soal isu orientasi seksual terus dibahas di berbagai media, pasca ditolaknya permohonan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi berkaitan rencana perluasan kriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan dan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT).

Dari perdebatan itu, saya melihat ada dua hal yang sering dibahas menjadi pijakannya, yaitu apakah LGBT itu genetis/tidak dan isu LGBT sebagai peyebar virus HIV karena ada angka yang semakin tinggi.  Selain perdebatan soal dosa tidak berdosa mengenai sejarah Luth (Muslim) ataupun Sodom Gomora (Kristen/Katolik). Untuk isu pandangan agama, saya tidak akan bahas dalam tulisan ini.

Pertama, perdebatkan untuk menjelaskan bahwa orientasi seksual dan ekspresi gender (baca : LGBT) sesuatu yang genetis ataupun non genetis. Isu ini terus diperdebatkan, baik yang pro maupun yang kontra. Kelompok-kelompok yang kontra pada LGBT,  terus meyakinkan publik bahwa LGBT karena faktor lingkungan, mereka meyebutnya sebagai sesuatu yang dapat menular. Berbagai dalil dan bukti versi mereka. Kemudian pihak yang menolak argumen tersebut memberikan argumentasi dan bukti lain untuk meyakinkan bahwa LGBT sesuatu yang genetis, sehingga tak bisa diubah dan bukan penyakit menular.

Dua kutub itu terus diperdebatkan untuk dapat menolak atau menerima LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia. Walau sebenarnya dalam ilmu kesehatan, baik di tingkat nasional maupun internasional sudah sangat jelas bahwa LGBT bukanlah penyakit ataupun bukan sesuatu yang menular. Dokumen itu ada di DSM IV (sebuah dokumen acuan kesehatan di internasional) dan di dokumen PPDGJ III (dokumen kesehatan di Indonesia), di level internasional sejak tahun 1975 sedangkan di Indonesia diadopsi sejak tahun 1993.  

Di dalam kedua dokumen itu dijelaskan, bahwa LGBT bisa disebut sebagai sebuah gangguan kejiwaan jika; individu tersebut mengalami gangguan penerimaan identitasnya sendiri. Misalnya stres menjadi gay, lesbian, biseksual atau transgender. Tapi gangguan kejiwaan dalam kedua dokumen itu berlaku juga pada identitas seksual dan gender jenis kelamin lainnya; laki-laki, perempuan maupun orientasi seksual heteroseksual. Artinya apapun orientasi seksualmu (homoseksual, biseksual dan heteroseksual) dan identitas gendermu (laki-laki, perempuan dan transgender) jika mengalami gangguan penerimaan diri, maka individu tersebut mengalami gangguan kejiwaan karena identitas gender dan seksual.

Pertanyaan selanjutnya, siapa individu yang paling berpotensi mengalami gangguan kejiwaan? heteroseksual, homoseksual atau biseksual? juga apakah laki-laki, perempuan atau transgender ? Kita pasti tahu jawabannya, siapa yang paling rawan tanpa harus membaca riset. Tetapi perlu dijawab kembali, mengapa individu itu menjadi rawan mengalami gangguan kejiwaan? Secara sosiologis dapat dijelaskan dengan mudah mengapa itu bisa terjadi.

Sehingga perdebatan “genetis versus lingkungan” tak perlu “dilanjutkan” hanya untuk sebuah pengakuan atau penghormatan manusia. LGBT mau dia genetis atau tidak genetis, itu adalah hak setiap orang. Kalau ada seorang gay, kemudian menikah dengan perempuan dan tahun selanjutnya bercerai, kemudian memutuskan untuk hidup bersama laki-laki (bersama pasangan homoseksualnya), itu adalah hak pribadi setiap orang.

Di dalam kerangka hak asasi manusia, ada tiga hal dasar yang sangat penting yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, ketiganya tidak berangkat pada sesuatu yang genetis ataupun ataupun bukan genetis sehingga seseorang memiliki haknya.

Misalnya hak beragama, hak bekerja/mendapat pekerjaan dan hak pendidikan, semuanya itu harus dihormati/dilindungi/dipenuhi walau bukan sesuatu yang genetis. Seseorang bisa saja hari ini beragama A, bekerja pada bidang B dan berpendidikan C, tetapi kemudian seseorang akan berpindah-pindah pada waktu tertentu karena alasan masing-masing orang tersebut. Proses itu semua adalah hak mendasar manusia yang tidak boleh dilarang apalagi dikriminalkan. Walau di beberapa negara, masih ada seseorang yang berpindah agama dikriminalkan. Sebuah pelanggaran HAM.

LGBT selalu dituduh sebagai dengan penyebar virus HIV. Berbagai data ditampilkan untuk membuktikan bahwa kelompok homoseksual/biseksual memiliki angka lebih tinggi daripada kelompok heteroseksual. Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI tentang kasus HIV periode Januari – Maret 2017 jumlah total infeksi virus HIV yang dilaporkan 10.376 orang. Persentase faktor HIV tertinggi pada seks berisiko pada lelaki seks lelaki (LSL)¹ (28%), heteroseksual (24%), jarum suntik (2%) dan lainnya (9%).

Sedangkan jumlah penularan AIDS dilaporkan sebanyak 673 orang dengan persentase faktor risiko AIDS tertinggi pada hubungan seks berisiko pada heteroseksual (67%), LSL (23%), perinatal (2%) dan pengguna jarum suntik (2%).

Kritik saya terhadap cara penampilan data laporan Kementerian Kesehatan adalah, bahwa virus HIV menular bukan karena orientasi seksual seseorang tapi salah satunya karena perilaku seksual yang tidak aman. Media yang menjadi penularan efektif melalui cairan (darah, sperma dan air susu).

Menurut saya, laporan Kementerian Kesehatan yang mengkategorikan data faktor risiko infeksi virus HIV berdasarkan orientasi seksual (LSL, heteroseksual) justru malah digunakan oleh kelompok homophobia (pembenci homoseksual). Kategori tersebut menimbulkan stigma baru bagi kelompok LGBT.

Padahal, cara berpindahnya virus HIV ke tubuh yang lain harus melalui sebuah tindakan, misalnya melalui hubungan seks tanpa kondom, jarum suntik tidak steril, transfusi darah dari darah yang terinfeksi HIV ataupun melalui ibu positif HIV menyusui kepada bayinya².

Artinya virus HIV menularkan kepada pihak lain karena ada “AKTIVITAS” yang berpotensi/berisiko/tidak aman untuk menularkan virus. Penularan virus HIV bukan karena orientasi seksual ataupun identitas seseorang.

Memang masuknya penis tanpa kondom dan pelicin pada lubang anus secara medis jauh lebih berisiko terinfeksi virus HIV dibandingkan dengan vagina atau mulut/oral. Alasannya karena anus tidak terdapat cairan sebagai pelumas/pelicin untuk menghindari pergesekan yang meyebebakan perlukaan. Makanya, memang sangat tidak dianjurkan melakukan hubungan seks melalui anal. Tetapi jika tidak bisa menghindari untuk melakukan anal seks, maka sangat disarankan/diwajibkan setiap melakukan anal seks (baik yang dilakukan heteroseksual maupun homoseksual) menggunakan kondom dan pelicin³.  Jika menggunakan kondom, potensi menularkan sangat-sangat kecil. Ingat, anal seks bisa dilakukan oleh heteroseksual maupun homoseksual.

Begitu juga alat kelamin vagina, ada beberapa pendapat bahwa vagina jauh lebih rawan terinfeksi HIV dibandingkan penis, ini dimungkinkan karena bentuk dari vagina yang sifatnya “penampung” cairan ataupun mungkin ada faktor lain.

Jadi, menjelaskan faktor dan penyebab virus HIV ataupun penyakit seksual menular lainnya, sebaiknya bukan pada orientasi seksual ataupun identitas lainnya (agama, suku, menikah atau tidak ataupun profesi seseorang). Karena jika tidak hati-hati, justru akan melahirkan stigma baru. Padahal infeksi seksual terjadi karena perilaku seksual aman atau tidak bukan karena identitasnya.

Dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, kedepannya bisa merevisi cara menampilkan laporan data untuk virus HIV. Misalnya datanya langsung pada kategori cara infeksi melalui; anal seks tanpa kondom, penetrasi vagina tanpa kondom, oral seks tanpa kondom, pengguna jarum suntik tidak steril, transfusi darah tidak steril, air susu terinfeksi virus HIV.

Sehingga publik akan semakin jelas bagaimana virus HIV menular dan bagaimana mencegahnya, tanpa perlu takut membabi buta dan membangun stigma pada sebuah kelompok lain, dalam hal ini kelompok LGBT.  Itulah mengapa kita perlu melihat suatu persoalan berbasis data bukan atas dasar kebencian, sehingga dapat menghasilkan kejernihan berpikir. 

 

*  Hartoyo adalah Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita

Catatan:

¹ Lelaki Seks Lelaki (LSL) adalah sebuah penamaan dalam ilmu kesehatan masyarakat untuk menjelaskan praktik seksual yang dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki. Dalam hal ini tidak lagi dikategorikan apakah laki-laki tersebut orientasi seksualnya homoseksual, heteroseksual, biseksual. Siapapun laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, baik hanya satu kali ataupun rutin melakukannya maka dikategorikan sebagai LSL. Untuk mengetahui seseorang LSL dari pengakuan saat melakukan test HIV dan tidak semua laki-laki heteroseksual mengakui bahwa dirinya sebagai LSL atau mengakui pernah melakukan hubungan seksual kepada laki-laki.

² Perempuan positif  HIV yang menyusui bayi, bisa tidak menginfeksikan bayinya jika mengikuti program khusus untuk itu, yang biasa disebut dengan PMTCT.  Begitu juga seseorang yang terinfeksi HIV yang telah melakukan terapi (minum obat ARV) tidak mudah menularkan virus HIV kepada pihak lain.

³ Perilaku seksual anal seks dapat dilakukan oleh kelompok heteroseksual maupun homoseksual, ini yang sering salah dipahami seolah-olah anal seks hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual. Padahal tidak semua homoseksual melakukan praktik seksual secara anal. Anal seks memang banyak dilakukan oleh kelompok gay dan waria, tetapi tidak setiap gay/waria selalu melakukan seks anal.  Argumentasi ini yang kemudian dijadikan justifikasi menolak kelompok homoseksual.