Search
Close this search box.

Tiga Kali Menikah: Hidup Sebagai Seorang Lelaki Gay di China

SuaraKita.org – Sebuah kapal pesiar berlayar meninggalkan Shanghai dalam rangka menyelenggarakan sebuah pernikahan massal pasangan LGBT yang menentang undang-undang dan norma sosial China.

Salah satu anggota panitia penyelenggara adalah aktivis dan pengusaha Shanghai Rongfeng Duan. Ini adalah kisahnya.

Saat lagu pernikahan tradisional Tiongkok dimulai, saya terisak dan mengenang tiga pernikahan – yang kesemuanya sangat berbeda, yang merupakan kejadian terpenting dalam hidup saya.

Saya pertama kali bertemu Li, pasangan saya secara daring pada awal tahun 2000an.

Saat itu belum ada aplikasi kencan gay,  jadi saya biasa berselancar di situs buletin mahasiswa.

Di situlah saya melihat foto Li yang tampan. Saya menambahkan dia sebagai teman di aplikasi perpesanan QQ, dan kami mulai mengobrol secara daring.

Suatu malam ketika saya mengucapkan selamat malam kepada Li, dia memberi saya nomor teleponnya. Saya menelepon Li keesokan harinya. Kami berbicara selama empat jam – panggilan telepon terpanjang yang pernah saya lakukan dalam hidup saya. Kami pun “jadian”.

Saya berada di Shanghai. Li berada di provinsi Sichuan, yang berjarak sekitar 2.000 kilometer.

Dalam dua tahun hubungan asmara jarak jauh, kita hanya bisa bertemu saat liburan. Kami menulis lebih dari 300 surat cinta satu sama lain.

Untuk menghemat biaya perjalanan dan panggilan telepon, kami sering hanya makan roti dan mie instan setiap hari. Tapi kami merasa hangat dan puas.

Li pindah ke Shanghai setelah dia lulus dan kami menyewa rumah bersama. Ada beberapa kamar kosong, jadi kami menyewakan kamar-kamar tersebut kepada beberapa lelaki gay lain agar rahasia kami terjaga dan menghindari rasa malu.

Ketika saya mulai berkencan dengan Li, saya khawatir tentang bagaimana masyarakat – yang kebanyakan heteroseksual-  akan berpikir. Jadi saya hanya melela kepada sedikit orang yang dapat saya percaya.

Pernikahan pura-pura

Saya tahu bahwa saya gay sejak remaja, pada awal saya masuk sekolah menengah pertama, tapi saya belum memberi tahu siapa pun.

Bertahun-tahun kemudian, masih di kota asal Lanzhou di China tengah, saya mengumpulkan keberanian untuk memberitahu orang tua saya.

Proses melela saya berjalan dengan buruk. Saya ingat malam itu dengan sangat jelas: ibu dan ayah bergegas ke apartemen saya, ada pertengkaran besar, ibu menangis.

Pada akhirnya, kami sepakat bahwa kami tidak akan membicarakannya lagi. Lalu saya meninggalkan Lanzhou.

Setelah saya tinggal bersama Li selama tiga tahun, meskipun orang tua saya tahu saya gay, walaupun sekarang saya tinggal jauh dari mereka, mereka tetap menekan saya untuk menikahi seorang perempuan.

Dalam keadaan putus asa dalam upaya untuk menyenangkan mereka, saya kembali ke dunia maya. Kali ini saya sedang mencari seorang lesbian untuk “pernikahan pura-pura”.

Jadi, di tahun 2010, dengan berkah keluarga, kerabat dan teman, saya melakukan pernikahan palsu saya.

Tapi pernikahan palsu itu tidak menyelesaikan apapun. Semuanya terasa aneh.

Ada konflik dengan “istri” saya karena uang. Kepura-puraan membuat hidup menjadi sulit bagi Li dan saya.

Orang tua saya mengajukan pertanyaan yang canggung, seperti mengapa ada celana dalam lelaki tapi tidak ada pakaian dalam perempuan di kamar saya.

Melela kepada ibu Li
Setahun kemudian hubungan pernikahan saya meledak. Perempuan lesbian yang telah saya nikahi putus dengan pacarnya dan juga memutuskan untuk mengakhiri pernikahan kami. Syukurlah, kami bercerai.

Segera Li dan saya bertemu dengan beberapa relawan dari Pflag, sebuah LSM untuk hak gay di China. Kami belajar bahwa kami memiliki pilihan lain untuk melela jika kami gay.

Kami memutuskan untuk memberi tahu ibu Li. Sudah lama dia menganggap saya sebagai “teman terbaik dan paling dapat diandalkan”.

Dia bahkan pernah mengatakan bahwa jika Li punya saudara perempuan, dia akan menikahkannya dengan saya. Saya senang dia menyukai saya, tapi saya belum pernah berani mengatakan yang sebenarnya padanya.

Jadi kami mengumpulkan keberanian untuk memberitahunya. Dia terdiam. Kebisuannya berlangsung selama berbulan-bulan.

Li dan saya tetap bertahan. Kami berbicara dengannya kapan pun kami mendapat kesempatan. Perlahan, dia mulai membuka diri pada kami.

Suatu hari kami mengajaknya pergi ke pertemuan Pflag China di mana dia bisa bertemu dengan orang tua lain yang memiliki anak-anak gay. Akhirnya, ia sadar bahwa kami tidak bisa mengubah orientasi seksual kami.

Akhirnya, terjadi sebuah langkah besar lainnya: Ibu Li memutuskan untuk pindah dari Sichuan ke Shanghai dan tinggal bersama kami.

Sedangkan untuk orang tua saya, mereka hanya diam. Mereka tidak menolak dengan  hubungan antara Li dan saya, namun mereka juga tidak mendukung hubungan kami.

Untuk saat ini, saya senang karena tidak ada konfrontasi. Mungkin saat kami ingin punya anak di masa depan, saya akan mencoba bicara panjang lebar dengan mereka.

Tapi saya memang pernah menikahi perempuan, jadi mungkin itu mengurangi sedikit tekanan pada saya.

Pada tahun 2015, setelah Li dan saya hidup bersama selama 11 tahun, Pflag China bekerja sama  dengan dua situs web memilih sejumlah pasangan gay untuk menikah secara sah di Amerika Serikat.

Kami memutuskan untuk pergi. Kami menceritakan kisah cinta kami melalui foto, video dan secara daring.

Di antara cerita 400 pasangan gay, menurut juri kisah kami paling menarik. Kami dalam perjalanan ke Amerika Serikat.

Hari pernikahan: 9 Juni 2015, West Hollywood, California

Semua berpakaian rapih, Li dan saya menunggu dengan tidak sabar untuk masuk ke upacara tersebut. Bahkan dari luar kita bisa mendengar tepuk tangan dan suara kamera yang memotret.

Pintu terbuka. Kami berpegangan tangan dan masuk. Saya tahu Li sangat gugup – telapak tangannya berkeringat.

Setelah mengucapkan sumpah, saya mengeluarkan cincin yang telah saya beli diam-diam di China. Saya mengenakannya di jari Li.

Pada saat itu, saya sangat gembira. saya merasa dunia berputar.

Semua perasaan dan emosi campur aduk. Air mata kami jatuh seperti hujan badai. Kami saling mencintai satu sama lain.

Tahun ini kami merayakan ulang tahun kedua kami dengan mengikuti acara khusus Pflag China – sebuah petualangan kapal pesiar dimana sembilan pasangan gay akan menikah dengan gaya tradisional China.

Sebagai sukarelawan, saya bertanggung jawab atas peralatan panggung dan sistem suara.

Pernikahan kami tidak akan diakui secara hukum di China, tapi ketika sembilan pasangan itu memasuki ruangan, dengan berkah dan amplop merah dari orang tua mereka dan sebuah lagu pernikahan tradisional yang diputar, saya tidak dapat menghentikan air mata saya yang mengalir.

Dalam budaya Tionghoa, sangat penting untuk memiliki restu orang tua kita saat kita menikah. Pastinya, Li dan aku akan senang jika orang tua kami untuk hadir di pesta pernikahan kami.

Pernikahan pura-pura, pernikahan yang asli dan pernikahan massal

Saya sering bertanya kepada teman gay saya apakah mereka bisa membayangkan jika mereka dapat menikahi orang yang mereka cintai.

Sebagian besar dalam hubungan yang stabil mengatakan bahwa pernikahan adalah apa yang paling mereka inginkan, tapi itu tetap merupakan sebuah harapan yang luar biasa bagi mereka.

Saya pikir tekanan sosial membuat banyak orang menghindari masalah ini. Tapi menikah berarti bangkit, menjadi diri sendiri dan memperjuangkan hak Anda atas kebahagiaan.

Jadi pernikahan kesembilan pasangan di kapal pesiar tidak hanya jalan mereka untuk mengejar kebahagiaan, tapi juga menunjukkan keberanian mereka untuk bangkit sebagai LGBT.

Itulah sebabnya saya menangis.

Jadi saya mengalami tiga pernikahan gay – yang palsu, yang asli, dan pernikahan massal di kapal. Masing-masing berbeda. Sekarang saya merasa kami sedang membangun sebuah momentum.

Suatu hari, saya berharap, akan ada banyak kesetaraan pernikahan yang kesemuanya diakui secara sah di tanah air saya, China. (R.A.W)

Sumber:

abc