Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Pada hari Kamis lalu, Australia akhirnya menyeujui peraturan tentang kesetaraan pernikahan. Tapi untuk beberapa orang LGBT Australia, kesetaraan pernikahan masih jauh dari prioritas.

Kepulauan Tiwi, sebelah utara Australia, dihuni oleh orang-orang pribumi Tiwi. dengan populasi penduduk sebesar 2.500, pulau ini adalah salah satu tempat dengan konsentrasi transgender terbesar di negara ini.

Sistagirls, sebuah komunitas transgender perempuan Tiwi yang memperjuangkan pengakuan dan hak orang-orang Aborigin LGBT, berbicara tentang pandangan mereka mengenai pemungutan suara tentang kesetaraan pernikahan.

Anggota Sistagirl Jason de Santis mengatakan bahwa mereka harus berhati-hati dalam merayakan hasil dari pemungutan suara secara terbuka tersebut, karena masih belum diterima oleh masyarakat banyak.

“Kami harus melindungi diri kami sendiri, dan merayakan sesuatu seperti itu membuat kami merasa rentan jadi kami harus benar-benar berhati-hati.”

Terlebih lagi, mereka mengatakan bahwa meskipun senang melihat penerimaan yang lebih luas di Australia, di Kepulauan Tiwi dan di masyarakat Aborigin lainnya, hal itu masih belum dapat memberikan perbedaan dan ada banyak masalah yang perlu ditangani.

“Kami memiliki masalah kesejahteraan yang besar di sini di wilayah ini,” kata Jason de Santis.

“Ada kesenjangan besar dalam hal kesehatan bagi kelompok LGBT di wilayah ini, terutama di daerah terpencil.”

Komunitas Sistagirls pada khususnya harus berjuang selama puluhan tahun untuk mendapatkan penerimaan di masyarakat Tiwi, selama itu dua orang dari mereka melakukan bunuh diri.

Kematian ini yang terjadi lima belas tahun yang lalu, menjadi ilham bagi Sistagirl untuk menuntut hak atas pengakuan.

“Kami mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan salah satu keluarga ingin tahu bagaimana kasus bunuh diri terjadi, dan pada dasarnya mereka terlalu buta untuk melihat bahwa itu adalah akibat dari kalimat ejekan, bahwa hal itu mendiskriminasi seksualitasnya,” kata anggota Sistagirl Nyarli Kerinaiua.

“Seiring berjalannya waktu, kita perlahan-lahan berhasil mencapai puncak, membangun kepercayaan diri dan pada dasarnya kita terbuka dan menjalani hidup sebagai Sistagirl Tiwi.”

30 orang Sistagirls mengadakan urun dana (crowd funding) pada awal tahun ini, untuk menghadiri Sydney Mardi Gras, dan memamerkan keindahan komunitas transgender Tiwi.

“Pergi ke Mardi Gras adalah untuk menampilkan budaya dan orang-orang Tiwi, bagaimana orang-orang Tiwi berevolusi di generasi ini dan bagaimana kita menjadi lebih kuat di komunitas kita,” kata anggota Sistagirl Crystal Johnson.

Setelah mereka menerima, mereka ingin mendorong sumber pemberdayaan di komunitas mereka, terutama perawatan medis. Banyak yang berharap bisa menerima perawatan hormon untuk dalam hidup mereka, namun saat ini mereka harus menempuh perjalanan ribuan mil ke kota untuk mendapatkannya.

Mereka juga berkampanye untuk kekuatan politik dan pendidikan. Ketika referendum diumumkan pertama kali, Sistagirls berbicara menentang bagaimana hal itu dilakukan.

Mereka mengatakan bahwa pandangan Aborigin akan kurang terwakili, karena banyak dari mereka tidak  terbiasa dengan format pemilihan suara melalui pos.

“Saya pikir itu hanya membuang-buang waktu mereka,” kata anggota Sistagirl Shaun Kerinaiua.

“Agak menyebalkan bahwa ada situs web yang perlu digunakan untuk mendaftar – banyak warga kami yang buta huruf, kami tidak mendapat standar pendidikan, saya pikir itu semua sangat buruk.”

Mereka mengatakan bahwa orang-orang Tiwi terbiasa menggunakan tempat pemungutan suara untuk pemilihan federal dan lokal, dan akan lebih inklusif untuk melanjutkan proses sederhana yang sudah diketahui orang.

“Kami berbicara sebanyak delapan, sembilan atau sepuluh bahasa yang berbeda dan ada orang asli yang tidak bisa berbahasa Inggris,” kata Crystal Johnson.

Sistagirls mengatakan bahwa sebagian dari uang yang diinvestasikan dalam proses pemungutan suara melalui pos seharusnya berjalan untuk memastikan masyarakat adat memahami pemungutan suara tersebut.

Meskipun beberapa langkah telah diambil, seperti membuat video yang menjelaskan pemungutan suara, dan mengirim kelompok ke wilayah tersebut untuk ditunjukkan kepada mereka, Sistagirls percaya bahwa itu tidak akan cukup.

Dan kekhawatiran mereka terbukti benar – di komunitas masyarakat adat Ramingining , 50 formulir dibakar saat orang-orang secara keliru percaya bahwa mereka ditanya apakah seseorang harus “dipaksa” untuk menikahi lelaki lain atau tidak.

Daerah pemilihan Lingiari, yang memiliki penduduk asli terbesar di Australia, juga memiliki jumlah pemilih yang jauh lebih rendah daripada kabupaten lainnya, dengan partisipasi pemilih 50%, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 77%.

Namun Sistagirl masih bekerja keras dalam YES campaign di komunitas mereka, mengadakan diskusi kelompok dan membantu terjemahan, dan sangat antusias dengan simbolisme dari hasilnya.

“Saya adalah transgender kulit hitam dan saya memiliki sebuah mimpi, saya adalah seorang LGBTIQ Aborigin Torres Strait Islander dan saya memiliki mimpi untuk menikah dengan lelaki Tiwi,” kata Crystal Johnson. (R.A.W)

Sumber:

pinknews