Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Sementara sebagian kelompok di Jepang melakukan terobosan untuk komunitas LGBT dalam beberapa tahun terakhir, negara tersebut masih terus menerapkan undang-undang yang mewajibkan individu transgender untuk menjalani proses sterilisasi sebelum mereka dapat mengubah gender mereka secara legal.

Aturan tersebut adalah bagian dari Undang-undang Jepang nomor 111 tahun 2003, yang juga mengharuskan warga negara yang ingin mengubah jenis kelamin legal mereka untuk tidak memiliki anak di bawah usia 20 tahun dan menerima diagnosis gangguan identitas gender (gender identity disorder / GID) setelah melakukan evaluasi kejiwaan.

Undang-undang yang secara khusus menyatakan bahwa pemohon harus “tidak mampu bereproduksi secara permanen” sebelum mendapat pengakuan hukum. Hal ini dikecam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kesehatan Dunia.

Namun, Kementerian Kehakiman Jepang menegaskan awal tahun ini bahwa persyaratan sterilisasi bertujuan untuk menghindari “berbagai kebingungan dan masalah yang akan timbul ketika seorang anak lahir karena kemampuan reproduksi yang dipertahankan dari hubungan seks sebelumnya,”
Pekan lalu, Human Rights Watch membawa masalah ini kembali ke permukaan dan mendesak pemerintah Jepang untuk merevisi undang-undang tersebut:

“Memaksa orang untuk menjalani operasi yang tidak diinginkan untuk mendapatkan dokumentasi bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia Jepang dan reputasinya sebagai pionir dalam penegakan hak LGBT.”

“Pemerintah Jepang harus segera merevisi UU 111 untuk mengakhiri sterilisasi paksa.”

Takakito Usui, seorang transgender lelaki, menantang hukum tersebut pada tahun 2016. Terlahir sebagai perempuan, dia berharap bisa menikahi pasangannya sebagai lelaki dengan mengubah gendernya secara legal.

“Undang-undang tersebut melanggar Pasal 13 Konstitusi karena memerlukan operasi (invasif) yang membuat kerusakan luar biasa pada tubuh seseorang dan oleh karena itu tidak sah,” debat Takakito Usui di depan pengadilan..

Namun pada 6 Februari, pengadilan memutuskan bahwa persyaratan sterilisasi “tidak beralasan jika dianggap melanggar Konstitusi.”

Sebagai tanggapan, Takakito Usui – yang sejak itu didiagnosis menderita GID dan menjalani perawatan hormon – mengkritik undang-undang karena “tidak berhubungan dengan kenyataan.” (R.A.W)

Sumber:

nextshark