Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Sebagai mantan pemain sepak bola profesional berkulit hitam, Paul Mortimer akrab dengan diskriminasi di lapangan sepak bola.

Pada akhir 80-an, pemain gelandang Inggris mengalami penyiksaan rasis dari rekan setimnya dan pemain lawan, termasuk pelemparan yang dilakukan oleh penggemar selama pertandingan berlangsung.

Tanpa dukungan dari klubnya, Paul Mortimer mengatakan bahwa dia menyaksikan segala macam diskriminasi di masa remajanya.

“Sebagai orang kulit hitam, saya telah mengalami banyak diskriminasi, kebanyakan rasisme, tapi sepanjang karier saya juga menyaksikan banyak aspek diskriminasi lainnya – seksisme, homofobia, Islamofobia, diskriminasi visibilitas. Semua hal yang saya alami,” kata mantan pemain Charlton dan Aston Villa ini.

Ditengah panasnya pertandingan yang membuat pemain tertekan, hooliganisme oleh penggemar dan komentar menghina yang dilontarkan oleh pemain lawan terlalu umum terjadi di dunia sepak bola internasional.

Penggemar Argentina meneriakkan pemberontakan anti-gay di tim Peru yang berkunjung dengan hasil imbang tanpa gol dari pertandingan kualifikasi di ibukota Buenos Aires bulan lalu.

FIFA, badan sepak bola dunia, menjatuhkan Asosiasi Sepak Bola Argentina hukuman denda 40.000 Dollar Amerika Serikat pada hari Selasa lalu.

Hukuman penalti termasuk di antara serangkaian yang dikenakan FIFA pada beberapa negara Amerika Latin, termasuk Brazil, Peru, Chile dan Meksiko untuk yel yel homofobia yang dilakukan oleh pendukung kesebelasan saat pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018, yang akan berlangsung di Rusia.

“Selama dua tahun terakhir, kami memperkuat dan memperluas pekerjaan kami untuk memerangi diskriminasi dan mempromosikan keragaman dalam sepak bola,” kata Federico Addiechi, Head of Sustainability & Diversity FIFA.

“Hasilnya, kami telah melihat banyak tanggapan positif dan upaya dari asosiasi anggota kami untuk mengatasi masalah seperti rasisme dan homofobia di sepak bola dan di dalam stadion.”

Koresponden olahraga Al Jazeera Lee Wellings mengatakan bahwa segala bentuk diskriminasi tersebar luas dalam sepak bola, namun homofobia yang sering dikesampingkan karena kurangnya pemain yang terbuka sebagai gay.

“Tidak ada rencana lanjutan untuk memberantas homofobia dalam olahraga,” katanya. “Saya merasa bahwa pemberantasan homofobia hanya dimasukkan sebagai bagian untuk melawan rasisme dan seksisme.”

Disamping upaya yang dilakukan FIFA, kelompok hak asasi manusia dan pakar sepak bola telah mengkritik kurangnya tindakan efektif yang diambil oleh badan sepak bola dan asosiasi nasional untuk mengendalikan perilaku anti-gay yang menghina.

Dalam upaya untuk menghentikan diskriminasi dan mempromosikan keberagaman, FIFA memperkenalkan sistem pemantauan anti-diskriminasi baru untuk kualifikasi Piala Dunia 2018

FIFA yang bekerja sama dengan Fare network mengerahkan para pengamat pertandingan untuk memantau pertandingan yang “berisiko tinggi”.

Undang-undang FIFA tidak menyebutkan diskriminasi seksual namun pemain diskors untuk setidaknya lima pertandingan karena menyinggung “martabat seseorang atau sekelompok orang melalui ucapan, tindakan, bahasa, agama atau asal-usul yang menghina, diskriminatif, atau menodai, .

Pasal 67 undang-undang tersebut juga memberlakukan tanggung jawab untuk perilaku penonton yang tidak tepat, yang biasanya berkaitan dengan denda atau peringatan untuk federasi nasional.

“Badan pengatur sepak bola memiliki reputasi buruk dalam mengatasi masalah pertandingan, terbukti dengan denda rasisme yang remeh,” kata Lee Wellings.

Paul Mortimer, yang merupakan professional players engagement manager di kelompok anti-diskriminasi Kick It Out, percaya bahwa FIFA perlu mengadopsi “kebijakan tanpa toleransi”, menjatuhkan denda dan menerapkan sanksi yang lebih kuat pada tim dan pendukungnya.

“Jika sebuah insiden terjadi, maka sejauh yang saya tahu, sebagian dari stadion harus ditutup, tim harus diskors dari turnamen dan hal-hal lain,ini dilakukan karena perilaku penggemarnya,” katanya.

“Lupakan menjatuhkan denda, karena tidak ada jumlah yang cukup.”

Setelah bertahun-tahun mengalami perselisihan di legislatif, Kongres Cile menyetujui serikat sipil pasangan LGBT pada tahun 2015. Sebuah peraturan pernikahan gay dikirim ke kongres oleh Presiden Chili Michelle Bachelet pada bulan Agustus.

Sementara, beberapa negara Amerika Selatan, seperti Argentina dan Brasil, telah melegalkan pernikahan sesama jenis, topik hak LGBT merupakan hal yang kontroversial di seluruh benua.

Yel yel homofobia diyakini sebagai akibat dari ketidakamanan dan fanatisme budaya di dalam pertandingan.

Pakar sepak bola mengatakan bahwa ini adalah machoisme dan budaya keberanian olahraga yang menyimpan retorika homofobik di kalangan penggemar di dalam pertandingan.

“Menandai lawan sebagai ‘homo’ adalah praktik biasa di bidang olahraga, yang digunakan sebagai penghinaan yang terkait dengan kelemahan, atau kurangnya keterampilan untuk melakukan disiplin tertentu,” kata Juan Pablo Morino, sekretaris olahraga Federasi LGBT Argentina.

Ada sekitar 4.000 pemain profesional di Inggris namun kabarnya tidak ada yang secara terbuka mengaku sebagai gay 

Mantan pemain bek Los Angeles Galaxy dan mantan pemain Leeds Robbie Rogers menjadi atlet lelaki gay pertama yang melela dalam olahraga profesional Amerika Serikat pada tahun 2013.

Pesepakbola yang aktif enggan melela saat masih bermain karena stigma itu melekat dan karena takut menjadi sasaran di ruang ganti.

“Dalam sepak bola, tidak terpikirkan untuk mempertimbangkan pilihan untuk melela, karena keputusan ini berhadapan dengan penghinaan dan kekerasan dari para pendukung lawan, kehilangan keuntungan ekonomi bagi pemain sepak bola dan mungkin penghinaan yang dilakukan oleh rekan setimnya sendiri,” kata Juan Pablo Morino. (R.A.W)

Sumber:

aljazeera