SuaraKita.org – Mesir harus berhenti menangkap dan melecehkan orang-orang yang dicurigai homoseksual dengan menggunakan tuduhan “melakukan kebejatan” palsu dan “menghasut untuk melakukan hal yang bejat”, kata Human Rights Watch. Pasukan keamanan menangkap setidaknya sebelas orang pada hari-hari setelah konser musik pada 22 September 2017 lalu di Kairo di mana para penonton konser yang kebanyakan berusia muda melambai-lambaikan bendera pelangi, simbol solidaritas dengan LGBT, sebagai sebuah tindakan pemberontakan dalam sebuah negara yang mempersekusi lelaki gay dan individu transgender.
Setelah para pengunjung konser berbagi foto bendera pelangi di media sosial, media pro-pemerintah melakukan serangan yang berlebihan dan politisi konservatif serta pemimpin agama menuntut agar pemerintah mengambil tindakan. Polisi menangkap seorang lelaki pada tanggal 23 September melalui jebakan di sebuah aplikasi kencan, sebuah teknik polisi yang umum digunakan di Mesir, dan mengklaim bahwa dia termasuk di antara mereka yang melambaikan bendera pelangi. Pada tanggal 25 September, pemerintah mengatakan bahwa mereka telah menangkap tujuh orang yang diidentifikasi melalui rekaman video konser tersebut. Beberapa aktivis Mesir mempertanyakan kebenaran klaim ini, namun mereka mendokumentasikan penangkapan tambahan pada tanggal 27 September, ketika polisi menangkap enam orang dari jalanan, menuduh mereka melakukan perampokan dan mengklaim bahwa mereka semua terlibat dalam insiden bendera pelangi.
“Apakah mereka yang mengibarkan bendera pelangi, mengobrol di aplikasi kencan, atau melakukan urusan mereka sendiri di jalanan dan semua korban penahanan ini harus segera dibebaskan,” kata direktur Human Rights Watch wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara Sarah Leah Whitson.
“Penangkapan orang berdasarkan dugaan akan orientasi seksual mereka menunjukkan ketidakpedulian pemerintah Mesir terhadap penegakan hak asasi.”
Pengadilan Dokki Misdemeanor Court di Giza memberi hukuman korban penangkapan pertama pada 26 September dengan hukuman sampai enam tahun penjara dan denda karena “melakukan tindakan bejat dan menghasut untuk melakukan tindakan bejat” berdasarkan dugaan orientasi seksualnya dan atas dasar tuduhan jaksa kepadanya sebagai orang yang ikut mengibarkan pelangi bendera di konser. Pengadilan juga memvonisnya untuk menjalani masa hukuman percobaan tambahan wajib lapor selama enam tahun yang akan mewajibkan korban untuk melakukan lapor diri mulai pukul 6 sore sampai jam 6 pagi sampai 2029. Tidak ada pengacara yang hadir dalam persidangannya. Namun, sekarang korban telah memiliki perwakilan hukum, dan sidang pembelaannya akan didengar pada 11 Oktober mendatang.
Keenam lelaki yang ditangkap pada tanggal 27 September telah diadili pada tanggal 1 Oktober lalu. Setidaknya dua orang lagi ditangkap pada tanggal 28 September karena dugaan atas orientasi seksual mereka dan media Mesir telah melaporkan bahwa enam orang lainnya juga telah ditangkap pada tanggal 28 September dalam sebuah penggerebekan di sebuah rumah, meskipun Human Rights Watch belum memverifikasi secara independen atas laporan tersebut.
Pada sebuah konser tanggal 22 September lalu, sekelompok orang mengibarkan bendera pelangi selama pertunjukan band Mashrou ‘Leila dari Lebanon, yang memiliki penyanyi utama gay dan membawakan lagu-lagu tentang hubungan sesama jenis dan identitas gender. The Egyptian Musician Syndicate membuka penyelidikan terhadap acara tersebut dan melarang konser Mashrou ‘Leila di Mesir pada masa yang akan datang.
Di Mesir, polisi secara rutin menangkapi lelaki gay dan biseksual serta transgender perempuan, Polisi juga secara aktif mencari dan menjebak mereka melalui aplikasi kencan dan melalui media sosial. Satu organisasi berbasis di Kairo telah mendokumentasikan penuntutan setidaknya 34 orang yang tiduruh melakukan hubungan seks sesama jenis dalam 12 bulan terakhir. Sejak Presiden Abdel Fattah al-Sisi mulai berkuasa pada tahun 2014, beberapa ratus orang telah dipenjara dengan tuduhan melakukan hubungan seksual sesama jenis.
Aktivis Mesir mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka khawatir penangkapan minggu lalu dapat menandakan dimulainya tindakan keras yang lebih keras terhadap LGBT dan orang-orang yang secara terbuka mendukung LGBT.
Otoritas Kedokteran Forensik Mesir juga secara rutin memaksa seseorang untuk melakukan pemeriksaan dubur. Teknik kuno yang dirancang pada abad ke-19 untuk mencari “bukti” perilaku homoseksual, namun para ahli forensik di seluruh dunia telah mengutuk praktik tersebut karena tidak memiliki validitas ilmiah dan melanggar etika kedokteran. Pelapor khusus PBB untuk penyiksaan, Komite PBB Penentang Penyiksaan, dan Komisi Afrika untuk Hak Asasi Manusia dan Rakyat telah menggambarkan ujian tersebut sebagai bentuk penyiksaan atau penganiayaan, yang dilarang menurut hukum internasional. The Egyptian Medical Syndicate tidak mengambil langkah-langkah apapun untuk mencegah dokter melakukan tes yang dianggp merendahkan ini.
Mesir adalah negara yang ikut dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang melindungi hak atas privasi dan kebebasan berekspresi. Konstitusi Mesir juga melindungi hak-hak ini.
“Mesir harus berhenti mendedikasikan sumber daya negara untuk memburu orang-orang karena apa yang mereka lakukan di kamar tidur mereka, atau untuk mengekspresikan diri mereka di sebuah konser musik, dan sebaliknya harus memfokuskan energi untuk memperbaiki catatan buruk pada penegakan hak asasi manusia yang mengerikan,” kata Sarah Leah Whitson. (R.A.W)
Sumber: