Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari organisasi hak asasi manusia, Tunisia akhirnya berjanji untuk berhenti menggunakan pemeriksaan anal secara paksa untuk menguji homoseksualitas.

Dalam sebuah pernyataan, organisasi Amnesty International mengatakan “Kami menyambut dengan baik penerimaan Tunisia terhadap dua rekomendasi untuk segera menghentikan praktik pemeriksaan secara paksa dan memastikan perlindungan bagi individu LGBT dari segala bentuk stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan”.

Namun organisasi tersebut menambahkan bahwa mereka  “sangat menyesalkan penolakan Tunisia” atas rekomendasi lainnya terkait hak LGBT, termasuk permintaan agar negara Afrika Utara mencabut pasal 230 KUHP, yang mengkriminalkan “sodomi” sampai tiga tahun di penjara.

Mengenai pemeriksaan invasif, Mehdi Ben Gharbia, Menteri Hak Asasi Manusia Tunisia, mengatakan bahwa mereka “tidak dapat lagi dipaksakan secara paksa, fisik atau moral, atau tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan.”

Mehdi Ben Gharbia menambahkan, Jika hakim meminta seseorang menerima pemeriksaan tersebut, orang tersebut masih dapat menolaknya dan penolakan tersebut  tidak dapat dijadikan sebagai bukti apakah orang tersebut homoseksual. Namun, Mehdi Ben Gharbia tidak memberikan secara spesifik kapan larangan ini akan diberlakukan.

Dorongan internasional dan domestik melawan tes invasif ini telah meningkat selama bertahun-tahun.

Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan pada Januari lalu, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa praktik tersebut “tidak berharga secara medis” dan mengatakan bahwa pemeriksaan paksa tersebut “berarti penyiksaan atau penganiayaan.”

Bulan Mei lalu, Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa Penentang Penyiksaan mengecam tes anal paksa dan mendesak Tunisia untuk “melarang pemeriksaan medis yang memaksa yang tidak memiliki pembenaran medis dan tidak dapat dilakukan dengan persetujuan sukarela dari orang-orang yang menjadi sasaran mereka.” komite tersebut juga mengklaim bahwa polisi telah mengancam mereka yang dicurigai agar menyetujui untuk menjalani tes tersebut.

Profesional medis di Kenya, negara lain yang menggunakan metode pemeriksaan anal secara paksa, juga telah menyuarakan keprihatinan mereka. Pekan ini, Asosiasi Medis Kenya mengeluarkan sebuah pernyataan yang berjanji untuk “mengutuk dan mencegah setiap bentuk pemeriksaan paksa terhadap klien,” walaupun pemerintah Kenya belum membuat komitmen untuk mengakhiri praktik ini.

Human Rights Watch – sebuah organisasi nirlaba dan nonpemerintah yang menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia internasional – merasa sangat penting untuk memperoleh bukti pelanggaran Tunisia dan Kenya terhadap individu LGBT.

Neela Ghoshal, peneliti senior hak LGBT di Human Rights Watch, mengatakan bahwa larangan yang dikeluarkan Tunisia adalah langkah maju yang signifikan untuk hak asasi manusia.

Neela Ghoshal mengatakan orang-orang Tunisia pantas mendapatkan jaminan bahwa pemerintah mereka tidak akan membiarkan mereka melakukan penyiksaan untuk menebak orientasi seksual mereka. Dia juga mengatakan bahwa pemeriksaan anal harus dilarang dalam semua kasus, bahkan jika subjek pemeriksaan telah menyetujui, dan dia mendesak Tunisia untuk mempertimbangkan kembali kebijakan negara lain yang mendiskriminasikan individu LGBT.

“Tunisia harus menghormati hak atas privasi dan mendekriminalisasikan perilaku seksual yang disepakati,” kata Neela Ghoshal. “Bukan urusan pemerintah atas apa yang dilakukan oleh dua orang dewasa di kamar tidur mereka.” (R.A.W)

Sumber:

NBC