Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Setiap tahun, lebih dari 800 ribu orang meninggal dunia karena bunuh diri.  Bahkan di Asia Tenggara, bunuh diri pada usia produktif menjadi penyebab kematian nomor satu. Maraknya tindakan bunuh diri ini perlu diwaspadai dan menjadi perhatian bersama agar tidak semakin meluas dan meningkat. Angka bunuh diri tertinggi terjadi di Korea Selatan yaitu 36,8 dari 100.000 penduduk. Sementara di Indonesia kasus bunuh diri sebesar 3,7 per 100.000 penduduk yang menempatkan Indonesia pada urutan 114 dunia.

Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa Dr Marzoeki Mahdi Bogor, Jawa Barat, dr Bambang Eko Sunaryanto, bunuh diri dapat dicegah baik oleh orang terdekat maupun oleh orang sekitarnya.

Sesuai dengan tema Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia “Take a minute, change a life” dr Bambang Eko Sunaryanto mengajak masyarakat untuk meluangkan satu menit yang dapat mengubah satu kehidupan.

dr Bambang Eko Sunaryanto menyebutkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 telah dimasukkan pula target penurunan rerata angka kejadian bunuh diri sebesar 10 persen pada tahun 2019 untuk memacu pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan bunuh diri di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ahli Kedokteran Jiwa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr.dr. Carla Raymondalexas Marchira, Sp.KJ (K)., menyebutkan masyarakat dapat turut andil dalam upaya mencegah bunuh diri dengan  mengenali tanda-tanda, faktor risiko, dan orang yang berpotensi melakukan bunuh diri. Faktor risiko bunuh diri meliputi banyak hal seperti menganggur, bercerai, bulliying, banyak konflik, terisolasi secara sosial, mengalami pelecehan seksual, serta mempunyai riwayat orang tua depresi. Sementara tanda-tanda orang yang akan melakukan bunuh diri  bisanya sering menangis, merasa sedih, gelisah, mudah tersinggung, bingung, serta fanatik pada agama.

“Bunuh diri ini merupakan kombinasi yang cukup kompleks,” tuturnya.

Berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan untuk meminimalisir kejadian bunuh diri. Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah seseorang melakukan bunuh diri sebelum timbul niat bunuh diri dengan memperhatikan faktor risiko yang dimiliki. Selanjutnya, pencegahan skunder melalui deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri.

“Misalnya saja menyingkirkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri. Kalau memang perlu, ada pengawasan secara total. Sementara pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah berulangnya proses bunuh diri,” katanya.

Ahli psikologi Klinis UGM, Dra. Sumarni, M.Kes., menyampaikan untuk mencegah niat maupun tindakan bunuh diri dapat dilakukan dengan memperkuat imunitas kepribadian. Pasalnya, salah satu faktor upaya percobaan bunuh diri berasal dari keberanian individu untuk melakukan tindakan bunuh diri.

Sumarmi menekankan pentingnya membangun kelekatan dalam keluarga. Hal ini  penting dilakukan karena jika di awal kehidupan tercipta ketenangan sehingga tidak rentan mengalami gangguan jiwa.

“Kalau mental sehat akan hidup dengan baik dan optimis, tetapi kalau mental tidak sehat akan cenderung sedih, mudah was-was, dan mudah bunuh diri,” pungkasnya.

Untuk kelompok minoritas sendiri kondisinya memang jauh lebih sulit, mulai dari penolakan keluarga intinya, keluarga besarnya sampai penolakan lingkungan. Riset terhadap kelompok transgender yang pernah dilakukannya menunjukkan banyak transgender yang berniat bunuh diri karena merasa aneh, merasa menjadi orang lain dan terkucil. Juga karena mendapatkan tekanan baik secara fisik maupun psikis dari teman-teman sekolahnya karena mereka dianggap berbeda. Banyak yang menerima pukulan dari keluarganya sampai  DO dari sekolah, dan ketika menjadi anak jalanan kerentanan bunuh diri semakin besar.

Dr. Hastaning Sakti, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, mengatakan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadi  kelompok yang sangat rentan terhadap perilaku menyakiti diri sendiri, hingga berujung bunuh diri. Setidaknya menurut www.wegiveadamn.org, dua dari lima LGBT muda kerap berpikir untuk bunuh diri. Dan satu dari tiga diantara mereka yang berpikir untuk bunuh diri itu benar-benar melakukannya.

Menurut Dr. Hastaning Sakti, hal ini terjadi karena kelompok LGBT merasa terpojok, tidak ada rasa kenyamanan dalam diri, tidak ada rasa ketentraman dalam diri, apalagi kelompok LGBT mendapat tekanan dari masyarakat. “Kemudian terdesak oleh kondisi akhirnya apa yang bisa dibanggakan? Masyarakat juga menekan mereka.” Jelas

Bila ada seseorang yang menyatakan diri ingin bunuh diri, Dr. Hastaning Sakti menyarankan agar kita tidak menasehati berlebihan. “Kita memang jangan kemudian menyatakan ‘bunuh diri itu enggak boleh, ‘bunuh diri secara agama tidak boleh’,  orang kalau dibegitukan akan balik menyatakan ‘ngerti apa Lo’.” katanya.

Dr. Hastaning Sakti lebih menyarankan agar kita membangkitkan rasa bangga, rasa kebermanfaatan dirinya bagi lingkungan sekitar, dan mengungkapkan potensi diri yang dimilikinya. “Suicide (bunuh diri – red) itu karena malu, sebetulnya malu itu harus ditentang, ditentang dengan mengungkapkan potensi diri,” ungkapnya.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan bahwa nomor darurat 119 dapat digunakan untuk mencegah aksi bunuh diri. Warga diharapkan menghubungi nomor tersebut jika melihat orang yang ingin melakukan aksi bunuh diri. (R.A.W)