Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Pengadilan di China tengah telah memerintahkan sebuah Rumah Sakit Jiwa untuk membayar kompensasi sebesar 5000 Yuan atau sekitar 9.8 Juta Rupiah dan mempublikasikan permintaan maaf di surat kabar lokal, setelah seorang lelaki gay dipaksa untuk menjalani terapi konversi di Rumah Sakit Jiwa tersebut. Peng Yanhui, direktur LSM LGBT Rights Advocacy China, mengatakan bahwa ini adalah kemenangan pertama dalam kasus terapi konversi yang dilakukan secara paksa.

Pengadilan menemukan fakta bahwa rumah sakit tersebut melanggar undang-undang perawatan kesehatan mental, yang menetapkan bahwa warga negara tidak boleh menjalani perawatan melawan kehendak mereka kecuali jika mereka dalam bahaya yang dapat menyakiti diri mereka sendiri atau orang lain.

Namun, putusan pengadilan tidak memberikan komentar mengenai validitas terapi konversi gay atau mengakui orientasi seksual  penggugat, namun mengatakan bahwa rumah sakit tersebut melanggar hak kebebasan pribadinya.

Pihak penggugat awalnya meminta kompensasi rumah sakit sebesar 10.000 Yuan dan sebuah permintaan maaf karena telah melanggar haknya atas kebebasan pribadi. Pengadilan memerintahkan agar Rumah Sakit Jiwa tersebut membayar setengah permintaannya.

Lelaki berusia 38 tahun bernama Yu, dibawa ke Rumah Sakit Jiwa di Zhumadian, Henan, pada bulan Oktober 2015 oleh istri dan anggota keluarganya secara paksa. Menurut dokumen pengadilan, dia didiagnosis dengan “kelainan preferensi seksual”.

“Saya mencoba menjelaskan bahwa saya tidak memiliki penyakit jiwa dan meminta untuk dipulangkan, namun mereka menolak,” kata Yu ketika diwawancarai oleh The Paper. Dia dipaksa untuk meminum obat dan diberi suntikan, dan baru dibebaskan 19 hari kemudian, setelah pacarnya – dengan bantuan direktur LSM, Peng Yanhui – menelepon polisi.

Rumah sakit tersebut membantah melakukan kesalahan di pengadilan, dengan mengatakan bahwa Yu memiliki gangguan kecemasan, menunjukkan kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri, dan dibawa ke rumah sakit oleh istri dan saudara lelakinya. Mereka berpendapat bahwa Yu tidak dapat memberikan dokumen yang menunjukkan bahwa dia tidak sakit mental.

Pengacara Yu mengatakan bahwa dia sangat puas dengan putusan pengadilan tersebut. “Bagi komunitas LGBT, mereka dapat lebih percaya diri pada kemampuan pengadilan untuk menegakkan hak mereka … untuk institusi kesehatan, setelah mengalami kalah dalam tuntutan hukum, mereka akan mengekang tindakan mereka untuk “mengobati” homoseksual  secara paksa.”

Asosiasi psikiatri China menghapus homoseksualitas dari daftar kelainan pada tahun 2001, namun LGBT Rights Advocacy China mengatakan bahwa masih banyak rumah sakit dan klinik yang masih melakukan terapi konversi terhadap individu homoseksual.

Peng Yanhui mengatakan bahwa masih ada pasar besar untuk terapi konversi, sebagian karena “saat ini tidak ada undang-undang yang mengatur perawatan rumah sakit dan klinik untuk homoseksual.”

Peng Yanhui memenangkan sebuah kasus penting pada tahun 2014 melawan sebuah klinik konversi swasta karena melakukan terapi ECT kepadanya di mana pengadilan Beijing menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit dan klinik tersebut tidak memenuhi syarat untuk memberikan perawatan semacam itu. ETC  atau Terapi elektrokonvulsif atau yang juga dikenal sebagai terapi elektro-syok merupakan suatu jenis pengobatan untuk gangguan jiwa dengan menggunakan aliran listrik yang dialirkan ke tubuh pasien.

Peng Yanhui berharap bahwa keputusan pengadilan terhadap kasus Yu dapat membantu untuk mendorong departemen kesehatan membuat kebijakan yang melarang terapi konversi paksa bagi individu homoseksual.

China tahun lalu melarang penggambaran individu gay di televisi, termasuk hubungan sesama jenis sebagai contoh “hubungan seksual dan perilaku abnormal” yang dilarang bersamaan dengan kekerasan seksual dan inses. Pekan lalu, pihak regulator China memperpanjang larangan tersebut untuk video online. (R.A.W)

Sumber:

Hongkongfp