Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Dukungan Theresa May terhadap LGBT dipertanyakan di sebuah rapat di mana partai-partai meletakkan kebijakan mereka mengenai isu-isu kesetaraan.

Justine Greening, Kepala Departemen Pendidikan yang mewakili Partai Konservatif dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Stonewall, Pink News dan Pride in London pada Selasa lalu mengungkapkan bahwa dia berada pada sebuah hubungan sesama jenis pada juni tahun lalu, yang membuatnya menjadi perempuan pertama yang melela dalam Kabinet Konservatif.

Justine memulai dengan mendata kebijakan konservatif mengenai isu-isu LGBT, yang di sahkan setelah Theresa May menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, sebagai bukti Perdana Menteri memberi perhatian terhadap isu-isu tersebut.

“Di bawah pemerintahan ini, sejak 2010, kita telah mengesahkan undang-undang kesetaraan pernikahan. Siapa yang melakukannya? Dia adalah Theresa May debagai Menteri Dalam Negeri,” kata Justine. “Kami juga telah memperkuat area tersebut dengan melaporkan kejahatan atas dasar kebencian terhadap LGBT. Sejak 2013, polisi mengumpulkan dan menyusun statistik tindak kriminal  yang berfokus terhadap LGBT kemudian mempublikasikannya. Siapa yang melakukan itu? Theresa May.”

Justine Greening juga mengutip tentang Turing’s Law – yaitu grasi bagi orang-orang yang menerima hukuman dari  kriminalisasi homoseksual – yang telah dijalankan pada tahun ini sebagai bukti dari komitmen Theresa May untuk meluruskan kesalahan yang telah terjadi terhadap LGBT.

Namun, Brian Paddick, dari partai Liberal Demokrat mengajak Justine Greening untuk melihat rekam jejak Theresa May. Dia membantah klaim Justine Greening bahwa pihak konservatif lah yang mendorong perintah dalam lagalisasi kebijakan kesetaraan pernikahan, dengan mengatakan bahwa di dalam pemerintahan Koalisi, energi di balik kebijakan tersebut berasal dari Liberal Demokrat melalui Lynne Featherstone.

“Satu hal yang tidak bisa saya lupakan adalah Lynne Featherstone, seorang demokrat liberal yang telah memperjuangkan kesetaraan pernikahan di masa pemerintahan koalisi, dan mendapatkan dukungan David Cameron,” kata Brian Paddick. “Dan saya akan mendorong masyarakat untuk melihat pada rekam jejak Theresa May mengenai isu-isu LGBT,” lanjutnya diiringi tepuk tangan para hadirin.

Justine Greening tidak sependapat, dia berkata bahwa Theresa May telah menjadi “pahlawan tanpa jasa” dalam penerapan kebijakan tersebut, tapi Brian Paddick melanjutkan: “Yang saya katakan kepada Anda adalah mari kita semua melihat rekam Theresa mengenai isu-isu LGBT, lalu lihat juga rekam jejak Tim Farron mengenai LGBT dan anda akan melihat partai mana yang menjadi pemenang dalam konteks isu-isu LGBT.

Pada tahun 2010, Theresa May menghindar dari pemberian suara terhadap isu-isu LGBT, termasuk memberi suara untuk menolak kebijakan adopsi oleh pasangan LGBT pada 2002 dan menentang untuk merubah pasal 28, yang berisi pelarangan terhadap homoseksualitas pada tahun 2000.

Brian Paddick juga mengkritik sebuah pengumuman pada bulan Maret bahwa dimana kelompok konservatif akan memperkenalkan pendidikan seksualitas di sekolah, dengan ketentuan yang memungkinkan sekolah untuk mengajarkan hal tersebut sejalan dengan kepercayaan sekolah.

“ Aku mendapat konfirmasi jika sebuah sekolah tidak setuju dengan kesetaraan pernikahan menurut ajaran kepercayaan mereka, mereka dapat mengatakan bahwa itu salah,” kata Paddick. “Sekarang, jika sikap pemerintahan yang mewajibkan pendidikan seksualitas seperti ini maka pendidikan kita berada dalam masalah. Terlihat bahwa kaum konservatif berkompromi dengan pihak sekolah untuk dapat melakukannya” lanjut Brian Paddic.

Ada kesepakatan dari perwakilan semua pihak yang hadir mengenai berbagai isu, termasuk perlunya perlindungan hak-hak LGBT di seluruh dunia dan kebutuhan akan tindakan bersama untuk mengatasi kejahatan kebencian terhadap LGBT.

Sarah Champion, kandidat dari Partai Buruh Rotherham, berbicara menentang perlakuan pencari suaka LGBT yang datang ke Inggris, dia mengatakan bahwa dia “sangat, sangat malu” ketika para pencari suaka LGBT, yang disebut olehnya, terkadang dideportasi kembali ke negara asal mereka, di mana mereka diperlakukan secara keji. Dia juga menambahkan bahwa kebijakan terhadap pengungsi Inggris “tidak ramah terhadap transgender”.

Salah seorang peserta juga menyuarakan keprihatinannya tentang perlindungan hukum setelah Britania Raya keluar dari Uni Eropa, terutama jika tindakan penegakan hak asasi manusia dibatalkan, hal ini ditujukan kepada Justine Greening.

“Alasannya cukup sederhana, kami 100% berkomitmen untuk melindungi setiap hak yang ada meski ada perubahan dalam kerangka hukum dalam hubungannya dengan keluar dari Uni Eropa, karena hal tersebut sangatlah penting dan mereka tidak akan mundur dalam hal tersebut”.  (J.C)

Sumber

theguardian