Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Gereja Skotlandia telah mengambil langkah yang memungkinkan pendeta untuk mengadakan pernikahan terhadap individu LGBT sebagai penyesalan atas diskriminasi yang pernah dilakukan terhadap LGBT di masa lampau.

Hasil rapat Majelis Umum gereja di Edinbrugh menginstruksikan pejabat gereja untuk mempertimbangkan bagaimana sebuah peraturan gereja dirubah dengan cara yang tepat agar  memungkinkan para pendeta untuk memimpin upacara pernikahan bagi pasangan LGBT.

Meskipun badan pengurus gereja mendukung, masih dibutuhkan beberapa waktu sebelum melakukan pernikahan terhadap pasangan LGBT untuk pertama kalinya. Perubahan peraturan yang dibutuhkan akan dibawa ke dalam rapat kepengurusan selanjutnya.

Keuskupan Skotlandia dijadwalkan untuk memberikan suara dalam dua minggu kedepan untuk mengubah peraturan gereja tersebut supaya memungkinkan untuk melakukan pernikahan terhadap pasangan LGBT, sebuah langkah yang dianggap bertentangan dengan Gereja Inggris yang berdampak pada dikeluarkannya sanksi de facto oleh Komuni Anglikan Internasional. Tahun lalu Keuskupan Amerika ditegur setelah mereka mengizinkan pendeta untuk memimpin pernikahan terhadap pasangan LGBT.

Majelis gereja meminta para pemimpin untuk melihat sejarah diskriminasi terhadap LGBT tersebut dalam tingkatan dan cara pandang yang berbeda dan meminta maaf baik itu secara pribadi maupun atas nama persekutuan serta berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi mereka. Tidak ada pertentangan dari dewan terhadap hal permintaan maaf yang diajukan.

Sebuah laporan dari forum teologis, yang diminta oleh dewan kepengurusan tahun lalu yang menyimpulkan bahwa “tidak ada alasan teologis yang cukup untuk menyangkal otoritas individu dari setiap pendeta dan diaken yang ditunjuk untuk memimpin pernikahan terhadap pasangan LGBT.”

Namun, ditambahkan “penolakan pribadi” yang dilakukan oleh pendeta atau diaken untuk memimpin pernikahan tersebut wajib dilindungi.  Hal ini terkait tentang “kendala perbedaan”, terhadap sebuah pemahaman gereja yang terpecah mengenai seksualitas, dimana doktrin-doktrin yang fundamental masih dijunjung tinggi.

Mempresentasikan laporan tersebut, Guru Besar Teologi Prof. Iain Torrance, yang juga sebagai penggerak forum teologis, mengatakan: “Sedikit jika ada dari kita yang tetap pada perjuangan ekstrim dalam menafsirkan kitab. Hampir semua dari kita berada dalam spektrum interpretasi dan kita berpindah-pindah dalam spektrum tersebut. Kita mencoba untuk menerapkan firman dalam ketidaktahuan konkret kehidupan.”

Prof. Iain menambahkan, “Orang Protestan tidak memahami pernikahan sebagai sakramen, tapi sebagai perjanjian sukarela yang dimasuki oleh dua orang yang mengikat diri mereka satu sama lain dalam rangkaian ikrar.”

Dalam debat panjang tersebut mereka mendengarkan pendapat dari pendukung dan penenentang kesetaraan pernikahan. Seorang pendeta, Peter Johnston, berkata bahwa dia ingin dapat meresmikan pernikahan putrinya yang lesbian dengan baik seperti ketiga anaknya yang lain. Namun, saat ini pintu gereja sudah tertutup, katanya. Tapi pendeta lain, Dale London, berkata bahwa kegiatan homoseksual “bertentangan dengan Firman Tuhan … itu adalah dosa.” Ia menambahkan, “ kita tidak bisa menyebut hal tersebut baik jika Tuhan mengatakan bahwa hal itu jahat.”

Skotlandia telah mengizinkan pasangan LGBT untuk menikah sejak tahun 2014. Namun,  gereja dengan pemahaman yang berbeda dapat memutuskan apakah mereka mau atau tidak untuk melaksanakan prosesi tersebut. (JC)

Sumber:

The Guardian