Oleh : Dwipa Pangga
SuaraKita.org – Dalam rangka Peringatan IDAHOT 2017 (International Day Against Homophobia-Transphobia), SuaraKita mengadakan pemutaran Film Calalai in Betweennes, Sabtu sore, 20/05 di Sekretariat SuaraKita, Jakarta Selatan. Film berdurasi 45 menit yang produksi Ardhanary Institute, Rumah Pohon Indonesia dan Hivos SEA yang disutradarai oleh Kiki Febriyanti merupakan film produksi tahun 2015.
.. Sang Mulia (ayah Sawerigading) turun dari langit, bersama perasaan gairah, cahaya temaram, Para Penari berpindah ke pegunungan..Demikian secuplik pembacaan syair dari La Galigo yang dibacakan dalam bahasa Bugis diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, menjadi adegan pembuka di Film Calalai in Betweennes dihadapan mata penonton yang hadir.
Kebudayaan Bugis sudah sejak lama mengenal 5 gender dalam kehidupan mereka sehari-hari : “Oroane” artinya pria atau lelaki, “Makkunrai“ artinya wanita atau perempuan. “Calalai” perempuan yang berpenampilan laki-laki. “Calabai” adalah laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan. Dan “Bissu” adalah figur spiritual yang tidak terkait pada gender perempuan atau laki-laki (netral). Awalnya Calalai bisa menjadi “Bissu” namun dengan perkembangan zaman hingga sekarang, hanya Calabai yang bisa menjadi Bissu. Tidak tahu sejak kapan Calabai menghegomoni sebagai Bissu ? Demikan penjelasan panjang Halilintar Lathief, pengamat budaya Bugis didalam Film tersebut.
Semua adat, tradisi dan budaya Bugis termaktub didalam Kitab La Galigo, Galigo bermakna nyanyian. Kitab La Galigo dapat dianggap sebagai kitab Sucinya orang Bugis pra Islam, menceritakan tentang 3 tempat, ada Bottilangi, Kehidupan atas (langit) yang merupakan symbol maskulinitas, Buriliu kehidupan bawah (bawah laut) yang merupakan symbol feminitas, dan perkawinan symbol maskulinitas dan feminitas yang menciptakan dunia tengah. Yang berada dalam keseimbangan antara langit dan bawah laut. Penghuninya ada laki-laki dan perempuan dan ada yang berada diantara laki-laki dan perempuan. Calalai, Calabai dan Bissu dianggap hidup di dunia tengah. Di Sulawesi selatan semua gender diterima dan hidup damai dalam kebudayaan Bugis Makassar pemaparan Prof. Nurhayati Rahma , Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar.
Eksistensi Calalai yang di hidup dizaman sekarang ditampilkan oleh beberapa tokoh dalam film ini. Termasuk menampilkan juga sosok Mak Temmi, seorang Calalai yang berprofesi sebagai penyembuh spiritual. Beliau tak sempat menyaksikan Film Calalai ini diputar, sehingga film ini juga didedikasikan buat Mak Temmi yang berpulang 4 Desember 2015.
Setelah pemutaran Film , di adakan dialog interaktif dengan penonton. Awalnya acara ini bermaksud mengundang pembuat film sebagai narasumber, namun sayang berhalangan hadir. Acara yang di moderatori oleh Jane Maryam berlangsung seru dan santai. Jane memaparkan bahwa Film Calalai in Betweennes menampilkan budaya Indonesia itu sangat beragam. Ada peserta yang menyatakan setelah menonton film dia menangkap pesan toleransi , bahwa di Makassar masyarakat tidak membeda-bedakan gender dan bisa saling menerima perbedaan yang ada. Bahkan ada tanggapan dari penonton yang setelah menonton film , dia berpikir, mungkin dia juga adalah Calalai ?
Film Calalai in Betweennes menggambarkan dengan apik , bahwa di Indonesia keragaman gender sudah ada sejak lama dan bisa hidup rukun. Sebagai film documenter yang menggali dan menampilkan keberagaman seksualitas dan identitas gender, film Calalai in Betweennes wajib di tonton oleh semuan kalangan.