Oleh : Dwipa Pangga
SuaraKita.org – … “Kerja di garmen, gimana ya, pelanggaran apapun ya udah kayak biasa aja. Jadi tiap kali ke mesin nih ada yang dicolek teteknya ada yang dicolek pantatnya seenaknya aja dan itu biasa aja , pelakunya itu orang-orang yang punya power…” Demikian secuplik dialog dalam Film “Angka Jadi Suara” yang diputar perdana di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta, Senin sore 15/05. Film besutan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) ini tidak menampilkan bintang-bintang tenar tetapi menampilkan kehidupan sehari-hari buruh garmen perempuan yang menghadapi tindakan pelecehan seksual di tempat kerjanya.
Wajah-wajah buruh perempuan ditampilkan apa adanya. Kegiatan bubaran pabrik, riuh suara mesin garmen, hingga ke kehidupan sehari-hari ditampilkan lewat bahasa gambar berdurasi 22 menit. Mengambil lokasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta, film ini di sutradarai oleh Dian Septi Trisnanti yang merupakan Sekretaris Jenderal FBLP. Menariknya lagi film ini adalah film dari buruh untuk buruh. Dari sutradara, penata kamera, pemain dan penyunting gambar adalah para buruh perempuan itu sendiri. Berasa sekali jika film sangat kuat di tataran wacana kehidupan buruh perempuan karena pengalaman buruh diangkat menjadi film oleh buruh perempuan juga.
Pelecehan seksual yang diangkat, merupakan fakta yang ditemui dilapangan. Mulai dari di suit-suitin, dicolek , diraba tubuhnya bahkan ada sampai yang diperkosa dan melahirkan anak. Siapa pelaku pelecehan tersebut? Orang-orang yang dekat dengan buruh perempuan itu sendiri, bisa teknisi di pabrik, rekan sekerja, security, bahkan pihak management. Banyak korban yang memilih diam, karena jika mereka bersuara, akan mendapat stigma, merasa malu , dan takut kehilangan pekerjaan mereka.
“Angka Jadi Suara” merepresentasikan bahwa buruh perempuan bukan hanya angka dalam memproduksi barang semata. Tetapi buruh sebagaimana manusia yang punya hak yang setara dengan manusia lain. Yang jika mendapat pelecehan seksual harus dilindungi dan diperlakukan secara adil ditempat kerja.
Di Film tersebut juga diceritakan para buruh perempuan melakukan aksi dan perjuangan bagaimana upaya menghapus praktek pelecehan seksual di tempat mereka bekerja. Bahkan sebagian adalah korban pelecehan yang mencoba bangkit dan melawan. Misalnya dengan melakukan pertemuan dengan pihak terkait untuk menghentikan praktek pelecehan seksual. Mereka mendatangi pengelola KBN Cakung, hingga bertemu dengan Yohana Yambise , Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak.
Mereka juga membuat posko pengaduan dan kampaye tentang pelecehan seksual kepada teman-teman sesama buruh. Bahwa tidak boleh terjadi pelecehan seksual di tempat kerja.Mereka membuat aksi membuat plang “Kawasan Bebas Pelecehan Seksual” di wilayah KBN Cakung. Setelah pemutaran film diadakan diskusi dan dialog interaktif dengan penonton. Salah satu narasumber yang dihadirkan yaitu Yuniyanti Chuzaifah dari Komnas Perempuan mengatakan buruh perempuan selama ini banyak mengalami persoalan yang serius mulai dari persoalan upah, beban dan tekanan kerja, bahkan mengalami pelecehan seksual.
Dengan menonton film ini, kita disadarkan bahwa perjuangan penghapusan praktek pelecehan seksual harus menjadi perhatian serius semua pihak. Agar korban pelecehan seksual dapat bersuara dan berdaya melawan ketidakadilan. Hidup Buruh Perempuan !