Search
Close this search box.

Surat Terbuka Perkumpulan Suara Kita Kepada Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI

Jakarta, 8 Mei 2017

Kepada Yang Terhormat

Bapak Muhammad Natsir,

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI

Di

Jakarta

Pak Natsir yang kami hormati.

Perkenalkan, kami dari Perkumpulan Suara Kita, sebuah organisasi yang fokus pada isu keberagaman seksualitas dan identitas gender. Dalam hal ini, kami ingin menyampaikan beberapa masukan berkaitan dengan isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang akhir-akhir ini banyak mendapatkan penolakan di beberapa universitas di Indonesia. Sesuai dengan karakter kementerian yang Bapak pimpin, dan mandat UU No.12 Tahun 2012 pasal 6 Tentang Pendidikan Tinggi[1], bahwa sebuah pandangan atau putusan harus berbasis pada kajian riset dan data (pengetahuan), bukan prasangka.

Pertama, mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kemenkes RI, kami tegaskan bahwa LGBT bukanlah penyakit atau gangguan kejiwaan[2]. Acuan ilmu kesehatan dunia (DSM IV) sejak tahun 1973 juga telah mengeluarkan LGBT sebagai penyakit atau gangguan jiwa[3].

Kedua, isu LGBT sudah menjadi kajian akademisi di seluruh dunia termasuk di kampus-kampus Indonesia. Beberapa universitas di Indonesia sudah memiliki kajian tentang LGBT; misalnya di jurusan kesehatan masyarakat, kedokteran, psikiatri , psikologi. Apalagi pada kajian ilmu sosial atau humaniora seperti sosiologi, antropologi, politik, kesejahteraan sosial, komunikasi, studi pembangunan, sastra, sampai filsafat.

Sehingga tindakan menghentikan, melarang, atau membubarkan diskusi, ataupun kajian tentang isu LGBT di kalangan kampus seharusnya tidak boleh lagi terjadi. Selain bertentangan dengan mandat pendidikan tinggi (yang berbasis kajian dan riset), LGBT sendiri adalah bagian inheren dari identitas manusia, seperti juga heteroseksual yang akan banyak dikaji di universitas manapun.

Kita sama-sama tahu, akhir-akhir ini ada beberapa universitas negeri di Indonesia melakukan larangan untuk kegiatan yang berkaitan dengan isu LGBT. Misalnya yang terbaru adalah Universitas Andalas- Padang yang mengeluarkan form resmi bagi calon mahasiswa baru, yang mensyaratkan harus “bersih” dari keterlibatan aktivitas terkait dengan isu LGBT.

Walau kemudian ditegaskan oleh Rektor Unand dan pernyataan Bapak sendiri bahwa yang tidak dibenarkan adalah aktivitas maupun organisasi LGBT yang masuk ke kampus di wilayah Indonesia. Jikapun tetap ada mahasiswa LGBT, maka diharuskan berubah menjadi heteroseksual.

Tindakan hal yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh beberapa kampus negeri di Indonesia, misalnya, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Jambi, Universitas Lampung. Sehingga ini sudah menjadi fenomena yang meyebar ke kampus-kampus negeri di wilayah Indonesia[4].

Berorganisasi dan berserikat adalah hak setiap warga negara, yang telah diatur di dalam UUD 45[5]. Sekarang, minimal ada sekitar 200 organisasi LGBT di Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut umumnya bekerja membantu pencapaian pembangunan, misalnya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, dan sebagian dari organisasi itu bekerja di bidang pendidikan publik dalam upaya pemenuhan HAM.

Organisasi-organisasi tersebut sebagian besar memiliki legalitas yang jelas, dan seringkali merupakan mitra kerja dari lembaga pemerintah seperti: Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Ham, serta lembaga negara yang independen, yakni Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Organisasi- organisasi LGBT tersebut juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi, sehingga memiliki kontribusi besar dalam kajian dan riset seputar isu sosial, seperti gender, seksualitas, dan kesehatan reproduksi.

Oleh karena itu, kami melihat bahwa ide Bapak yang melarang organisasi LGBT berada di kampus bukan hanya bertentangan dengan mandat pendidikan tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, serta menghambat perkembangan kajian keilmuan di bidangnya. Sebagai Menristek, seharusnya Bapak tidak mengeluarkan pernyataan atau kebijakan yang berbasis prasangka, tetapi seharusnya berbasis bukti dan dasar yang ilmiah[6].

Organisasi kami berdiri sejak tahun 2009 dan telah disahkan secara formal oleh akta notaris dan Kementerian Hukum dan HAM tahun 2013. Sejak berdiri sampai sekarang kami selalu membantu banyak mahasiswa belajar, riset, atau diskusi tentang LGBT. Dari catatan kami dari tahun 2015-2017 ada 200 mahasiswa yang belajar bersama kami. Selain sebagai narasumber kami juga meyediakan buku-buku di perpustakaan sebagai bacaan tambahan untuk Mahasiswa.

Kemudian sejak sejak tahun 2015 dan 2016, kami telah memberikan beasiswa kepada 6 mahasiswa dari 70 proposal skripsi yang masuk untuk isu LGBT. Dan hasil penelitian dari ke-6 mahasiswa tersebut sedang dalam proses penerbitan menjadi buku[7].

Pengalaman kami hanyalah satu dari banyaknya pengalaman organisasi atau individu LGBT yang membantu mahasiswa belajar tentang LGBT. Bapak bisa hitung sendiri, jika layanan setiap organisasi atau individu LGBT kepada mahasiswa terdata dengan baik, berapa banyak sumber informasi LGBT yang telah kami berikan kepada mahasiswa di Indonesia sebagai sumber pengetahuan? Dan semua kami lakukan secara sukarela.

Pak Natsir yang kami hormati.

Perguruan tinggi mempunyai asas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka apa yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen untuk belajar bersama dengan organisasi atau individu LGBT adalah bentuk nyata penerapan ketiga asas tersebut, baik penerapan pengetahuan, riset, maupun pengabdian masyarakat.

Maka ketika bapak melarang organisasi LGBT ada di wilayah kampus, selain aturan itu melanggar hak orang berorganisasi atau berserikat, juga telah melanggar asas fundamental Tri Dharma Perguruan Tinggi itu sendiri.

Kami memahami, bahwa isu LGBT adalah isu yang sulit bahkan bisa “memenjarakan” pejabat manapun ketika membelanya. Apalagi sekarang ini ada banyak kelompok perongrong NKRI masuk ke kampus-kampus dan selalu mengusung isu LGBT, Komunis, dan SARA untuk merebut kekuasaan. Bapak sebagai Menteri yang bekerja berbasis pengetahuan ilmiah dan dilindungi oleh konstitusi, mestinya tidak perlu takut untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berbasis data.

Demikianlah surat terbuka ini kami perbuat, mohon maaf jika ada ungkapan yang kurang tepat. Atas perhatian Bapak, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam hormat.

Atas nama Perkumpulan Suara Kita

Hartoyo

Mobile : 0877 3884 9584

Email : hartoyomdn@gmail.com

Catatan Kaki

  1. Pasal 6 UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi; Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: a. pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; b. demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
  2. Pedoman Golongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kemenkes RI Tahun 1993, pada point F66, menyatakan bahwa orientasi seksual (heteroseksual, homoseksual dan biseksual) bukanlah sebagai gangguan. Hal 288.
  3. Diagnostic and Statictical Manual of Mental Disoeders (DSM), merupakan paduan bagi keilmuan medis yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA).
  4. https://sgrcui.wordpress.com/2017/05/05/siaran-pers-diamnya-akademisi-indonesia-terhadap-diskriminasi-dalam-perguruan-tinggi/
  5. Kebebasan berorganisasi bagi setiap warga negara telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28; “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Kemudian pasal 28 C ayat 2; “ Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
  6. http://www.antaranews.com/berita/627792/organisasi-lgbt-dilarang-masuk-kampus
  7. http://suarakita.org/2016/06/pengumuman-penerima-beasiswa-penelitian-mahasiswa-s1-suarakita-2016/ dan http://suarakita.org/2015/05/penerima-beasiswa-penelitian-suara-kita-2015/