EMPAT PULUH LIMA HARI
hujan pertama yang jatuh di punggungmu ialah riwis yang ceriwis. lalu smartphone kita bersigenggam. dan dunia njelma percakapan yang akukau terkutuk didalamnya. lagi dan lagi. candu dan candu lagi.
sampai kemudian kita pada rumah. dimana bara dan nyala tertera di dinding dindingnya.
kau menjelma tuan rumah. aku merupa puan rumah.
aih.
sepasang terang jadi sosok tigapagi, ruang tamu, dan nyamuk nyamuk yang mengganggu.
di empat puluh empat hari selanjutnya, kita kian tenggelam. dan terapung. dan tenggelam.
begini saja, kau menepi aku menepi. kau melelana pun aku melelana. kita sama sama. sebab kita memanglah sama;
punya vagina dan payudara.
Akh!
PERIHAL JAKARTA DAN SENOKTAH DIORAMA
dik, jakarta merupa pelangi lagi
riwisnya telah lebih dulu melarungkan pesan padamu
perihal manusia yang seketika begitu relijius
ketika samasama kita menuai ritus
perihal mereka yang menubuat dan meneriaki
ketika samasama kita meniti dan mendaki
dik, rupanya jakarta makin sepuh meranjak
orangorang begitu pialang menuang tuak
sambil sesekali berbuih mengatasnama kemanusiaan
atau satudua berorasi perihal persamaan
sementara paradewasa makin luput menjelma anakanak
mereka menanam alpa pada bilikbilik almanak
bagaimana cara tersenyum
bagaimana cara menyapa
bagaimana cara bermain
yang paradewasa tekuni
ialah bagaimana cara memandang
bagaimana cara berkata
bagaimana cara memperlakukan
orangorang yang tak sama dengan mereka
dik, masih ingatkah kau
ketika samasama kita cipta diorama
dirindang pilang tempat lena kita
kau kata tak seharusnya punya rasa
sebab kita ialah sama
namun dik, jakarta selamanya merupa pelangi
riwisnya masih meruang mejikuhibiniu
tepat di dadamu
HIMAS NUR, menulis puisi, esai, skenario film pendek, caption instagram dan tugas akhir. Bianglala, Komidi Putar, dan Negeri Dongeng ialah antologi puisi tunggal perdananya. (R.A.W)