Oleh : Wisnu Adihartono*
SuaraKita.org – Pada Konferensi Internasional yang sama pada tahun 2013, saya pernah memberikan paparan tentang penggunaan bahasa gay yang telah sedemikian terpenetrasi di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Penggunaan kata “bok”, “cin”, “say”, “nek” adalah varian ujaran yang saat ini sering digunakan oleh mereka yang bukan gay, lesbian atau transjender, bahkan penggunaan kata-kata seperti “sutra” (sudah), “endang gulindang” (enak sekali), “ember” (memang), dan lain-lain sudah seperti “bahasa Indonesia” yang umum diujarkan oleh setiap orang di Indonesia. Bahasa gay pertama kali berasal dari bahasa slang di tahun 1970an dan kemudian lebih berkembang pada tahun 1980an melalui kontribusi para kapster salon yang kebanyakan adalah transjender. Bahasa jenis ini menyebar ke seluruh masyarakat melalui proses yang tidak disadari yang terepresentasi secara sosial melalui pembiasaan. Bahasa gay di Indonesia adalah varian bahasa yang berakar dari bahasa Indonesia dengan menambahkan beberapa prefiks dan sufiks. Bahasa gay di Indonesia juga sedikit banyak terpengaruh dari bahasa Belanda, seperti pada kata Kamu menjadi Yeiy atau dalam bahasa Belandanya adalah Jij dan penggunaan diminutif –tjes (baca: ces) seperti dalam kata Banci yang menjadi Bentjes.
Penemuan akademis varian bahasa seperti diatas adalah sebuah temuan jenis bahasa baru (walaupun di Indonesia, penggunaan bahasa tersebut sudah cukup lama dituturkan) yang disebut sebagai Bahasa Lavender atau Lavender linguistic oleh seorang antropolog dan ahli bahasa, William Leap pada tahun 1995. Dalam perkembangannya, Lavender linguistic juga sering disebut sebagai queer linguistic karena penggunaan jenis bahasa ini “ditransfer” melalui teori-teori queer (Queer Theory) di dalam studi queer (Queer Studies). Dalam hal ini, munculnya sebuah “variasi” di dalam sebuah bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ras, jender, asal geografi termasuk didalamnya kelompok homoseksual. Lavender linguistic adalah sebuah studi komunikasi praktis dan “bahasa” yang digunakan dalam komunitas LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transjender dan interseks). Pemilihan “lavender” sebagai sebuah kata didasarkan pada warna “lavender” yang identik dengan warna hak-hak LGBTI. Leap dalam bukunya yang berjudul Beyond the Lavender Lexicon (1995) menjelaskan jenis bahasa ini didasarkan pada pengkodean bahasa yang dilakukan oleh gay dan lesbian untuk berkomunikasi. Jauh sebelum Leap mengidentifikasi jenis bahasa ini dengan pengkodeannya, seorang sosiolog dari Chicago School, E. W. Burges mengatakan bahwa saat ini dunia homoseksual sudah memiliki bahasanya sendiri yang tidak mampu untuk dimengerti oleh orang luar (outsider) atau menurut Halliday (1976), penggunaan bahasa jenis ini adalah penggunaan bahasa yang anti-language atau jenis bahasa yang memiliki karakteristik “rahasia” anti masyarakat (anti-society). Halliday menyatakan bahwa anti-language adalah sebuah pembedaan di dalam sebuah bahasa dimana terjadi penyandian atau pengkodean bahasa yang tidak akan terjadi pada bahasa biasa yang dituturkan oleh masyarakat pada umumnya.
Bahasa tanda (sign language) adalah sebuah varian bahasa yang tidak dituturkan akan tetapi bahasa yang dimaknai dengan sebuah tanda. Bahasa tanda sebagai variabel linguistik juga dapat diartikan bahwa ada satu set alternatif untuk mengatakan sesuatu yang sama meskipun alternatif-alternatif tersebut memiliki signifikansi sosial. Dalam hal ini, seorang pengguna bahasa (language users) menggunakan bahasa untuk membuat sebuah pernyataan mengenai siapa diri mereka, di kelompok mana mereka berada, bagaimana mereka mempersepsikan hubungan mereka dengan interlokutor dan dengan menggunakan jenis bahasa apa mereka bertindak untuk dipertimbangkan. Bahasa tanda seringkali digunakan oleh pengguna bahasa yang tuna rungu di seluruh dunia dengan membentuk jari, siku, dan beberapa elemen dari tangan untuk berbicara. Sebagai sebuah sistem komunikasi, bahasa tanda juga dimaknai sebagai “bahasa yang sebenar-benarnya” (real language) dan masuk ke dalam kategori komunikasi internasional. Dalam kasus bahasa tanda pada kelompok gay, bahasa ini ditandai tidak dengan menggunakan elemen tangan, melainkan dengan menggunakan benda-benda yang dijadikan simbol. Bahasa tanda atau bahasa simbol kelompok gay di Indonesia sudah mulai tampak pada akhir 1980an. Tentu saja bahasa simbol gay di Indonesia tidak serta merta diciptakan oleh kelompok gay Indonesia akan tetapi simbol-simbol yang ada diambil dari simbol-simbol gay di luar negeri. Kata “homoseksual” pun baru teridentifikasi pada tahun 1970an melalui penerbitan buku “Jalan Sempurna” yang ditemukan oleh Ulrich Kratz di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Buku ini menceritakan perjalanan hidup Sucipto, seorang Jawa yang hidup pada masa kolonial Belanda.
Kembali kepada pemaknaan bahasa simbol gay di Indonesia, secara akademis saya sama sekali tidak dapat menemukan sumber-sumber (baik formal maupun informal) darimana bahasa simbol gay Indonesia berasal. Sebagai seorang peneliti yang memiliki teman-teman gay di Jakarta, saya hanya dapat memberikan contoh bahasa simbol berdasarkan beberapa cerita yang mereka katakan, seperti pada akhir tahun 1980an, apabila seorang laki-laki mengeluarkan saputangan di saku belakang celana panjang atau celana pendeknya, maka laki-laki tersebut dapat diidentifikasikan sebagai gay. Contoh yang lebih akurat menurut mereka, adalah ketika seorang laki-laki menaikkan kelingkingnya ketika sedang minum, maka bahasa simbol “kelingking naik” mengindikasikan bahwa Ia adalah seorang gay. Bahasa simbol lain biasanya sering terjadi di sebuah bar atau pub ketika seorang laki-laki sengaja menjatuhkan botol minumannya di meja, lalu memutar botol tersebut ke arah laki-laki yang Ia inginkan. Dengan bahasa simbol tersebut, maka Ia teridentifikasi ingin berkenalan lebih jauh dengan laki-laki yang Ia arahkan dengan botol tersebut. Di tahun 2000an seperti sekarang ini, seorang laki-laki yang menggunakan kaos berkerah V-Neck dan menaikkan kerah baju ke atas juga sering diidentikkan dengan gay. Tentu saja bahasa-bahasa simbol ini tidak serta merta melakukan “identifikasi” dengan benar karena “penggunaan” bahasa simbol gay bukan “teridentifikasi” sebagai bahasa tanda (sign language) yang tersistem dan terstruktur sebagai bahasa yang dapat dikomunikasikan dan terkomunikasikan dengan benar dan akurat.
Di tahun 2000an, bahasa simbol gay sudah tidak terlalu digunakan sebagai “alat komunikasi” meskipun masih ada beberapa gay di seluruh dunia yang masih melakukan penggunaan bahasa ini untuk “mengidentifikasi” diri mereka sebagai gay atau “mengidentifikasi” laki-laki lain yang “teridentifikasi” sebagai gay. Saat ini, muncul sebuah jenis “identifikasi” baru yang disebut dengan “gaydar” atau “gay radar” yang “umumnya” dimiliki oleh seorang gay. Melalui proses bahasa simbol “fisik” gay (saya menggunakan kata “fisik” karena bahasa simbol yang terdahulu menggunakan benda atau gerak organ tubuh), bahasa simbol gay berubah menjadi bahasa “gerak-isyarat” (gesture) dimana melalui gerak-isyarat, seorang gay dapat mengenali bahwa laki-laki tersebut adalah seorang gay. Lavender (queer) linguistik adalah subseksi sebuah sosiolinguistik yang terbangun dari seksual dan komunikasi yang teridentifikasi dan terkonstruksi. Menurut Rudwick (2010; 128) lavender linguistik adalah komunikasi praktis dan “bahasa” yang digunakan oleh komunitas LGBT .
*Wisnu Adihartono adalah seorang doktor bidang sosiologi dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Marseille, Perancis. Dia banyak menulis permasalahan LGBT di Indonesia, khususnya studi gay. Dia senang dalam bidang sosiologi migrasi, sosiologi LGBT, sosiologi keluarga dan sosiologi keseharian. Dia dapat dihubungi di: wisnuadi.reksodirdjo@gmail.com