Search
Close this search box.

SuaraKita.org – Sabtu – Minggu (25-26/03) kemarin para pemimpin agama, pendeta dan cendekiawan agama dari 125 lebih jemaat di lebih dari 30 negara bagian Amerika Serikat ikut berpartisipasi dalam National Weekend of Prayer for Transgender Justice, mendedikasikan pelayanan mingguan mereka dan atau melakukan even spesial untuk mendukung transgender di seluruh Amerika Serikat yang kekurangan perlindungan hukum secara penuh, menghadapi perlakuan tidak adil, dan mengalami tingkat kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi yang mengkhawatirkan.

Sepanjang akhir pekan mereka mengadakan persekutuan do’a, acara edukatif, dan aksi untuk keadilan transgender dalam upaya untuk menghormati transgender dan berkomitmen untuk berjuang menuju sebuah masyarakat di mana transgender dapat hidup dan berkembang di segala aspek kehidupan.

“Sebagai orang beriman dan memiliki hati nurani, kita menentang penggunaan agama untuk menyakiti transgender, dan kami menyadari tanggung jawab kami untuk mengartikulasikan visi moral yang berbeda,” kata Pendeta Marie Alford-Harkey, Presiden dan CEO dari the Religious Institute, sebuah organisasi mengkoordinir pelaksanaan National Weekend of Prayer for Transgender Justice. “Kami percaya bahwa ‘kebebasan beragama’ berarti kebebasan untuk mempraktekkan iman kita, tidak menyangkal hak-hak orang lain atau memaksakan keyakinan kita pada orang lain. Kita tahu bahwa gender adalah sesuatu yang kompleks dan suci, dan bahwa keberagaman gender harus dihormati, tidak dipertanyakan atau ditolak. Kita tahu bahwa keragaman gender telah memainkan peran dalam tradisi keimanan dan teks-teks agama sejak berabad-abad, dan kepemimpinan mereka dalam sebuah aliran kepercayaan membawa umat ke kehidupan spiritual yang kuat. “

National Weekend of Prayer for Transgender Justice dimulai sebagai respon terhadap kasus-kasus yang terjadi yang berkaitan dengan diskriminasi dan kekerasan terhadap transgender di Amerika Serikat, sebagai contoh adalah kasus penggunaan toilet sesuai dengan identitas gender seseorang. Selain itu banyak pula kasus kekerasan yang dialami oleh transgender di Amerika Serikat. Menurut informasi dari Human Right Watch, tercatat dalam 3 bulan pertama di tahun 2017, di Amerika Serikat telah terjadi 8 kasus pembunuhan dengan korban transgender.

“Pada saat kekerasan terhadap transgender terus meningkat, khususnya terhadap transgender perempuan dari kulit warna dan transgender  remaja, dan sejumlah RUU yang diskriminatif bagi transgender sedang diajukan di tingkat negara, komunitas agama memiliki tanggung jawab besar dan sekarang bukan hanya saatnya untuk mengerahkan kemampuan untuk  menciptakan ruang yang menghormati kehidupan masyarakat transgender secara penuh, tetapi juga untuk menolak untuk ikut sejalan dengan retorika agama yang bertujuan untuk merugikan orang lain yang hidup sebagai diri mereka sendiri. ” kata Teo Drake dari Transforming Hearts Collective, sebuah organisasi trans-queer yang berkolaborasi dengan the Religious Institute dalam pelaksanaan National Weekend of Prayer for Transgender Justice.

Even ini juga sebagai permulaan dari perayaan International Transgender Day of Visibility, sebuah momen perayaan untuk komunitas transgender yang bertujuan agar mereka bisa tampil dan diperhitungkan dalam kehidupan bermasyarakat, serta agar cis-gender bisa belajar mengenai transgender yang jatuh setiap tanggal 31 Maret setiap tahunnya, dimana hampir di seluruh dunia, transgender  masih saja  menderita kekurangan perlindungan yang komprehensif dari diskriminasi dalam pekerjaan, perumahan, dan pelayanan publik.  (R.A.W)

Sumber:

Religion News