Search
Close this search box.

[Opini] Identitas-Identitas yang Tidak Kelihatan

Oleh : Hatzka*

SuaraKita.org – “Ini bendera pride apa?” tanya seorang senior yang menjadi salah satu pengurus organisasi LGBTQ+ khusus untuk murid-murid internasional di universitasku. Dia menanyakan itu sambil menunjuk ke sebuah bendera bi pride kecil  yang ada di meja, beberapa saat sebelum kita jalan ke pusat kota untuk mengikuti Pride Parade yang diselenggarakan di sana.

Di hari sebelumnya saat kami semua sedang mengerjakan poster untuk dibawa saat mengikuti Pride Parade, seorang senior pengurus lain melihat poster berwarna hijau, putih, abu-abu dan hitam bertuliskan besar-besar ‘Aromantic Spectrum’  dan bertanya, “Aromantik itu apa? Sama dengan aseksual ya?” Lalu aku pun menjelaskan kalau bukan, aseksual itu beda dengan aromantik. Aseksual adalah ketidakadaannya ketertarikan seksual sementara aromantik adalah ketidakadaannya ketertarikan romantic.

Pada saat Pride Parade berlangsung, seorang mantan pengurus organisasi yang sekarang sudah lulus menanyakan tentang bendera besar yang kami bawa sambil berjalan. Bendera yang ditanyakannya adalah sebuah bendera tiga warna pink, kuning dan biru—bendera pansexual pride.

Beberapa hari kemudian, seorang teman SMA yang kepadanya aku pernah melela mengatakan, “ternyata yang merayakan Pride ga cuman gay atau lesbian aja ya. Ada macam-macam,” ketika ia melihat foto-fotoku saat mengikuti Pride Parade di Facebook. Setelah mengobrol lebih lanjut dan menjelaskan tentang berbagai identitas yang bernaung di bawah paying LGBTQ+, aku menyadari kalau ternyata dia selama ini berpikir kalau seksualitas itu hanya ada straight dan gay.

Semua hal itu membuatku berpikir tentang bagaimana keberagaman di dalam komunitas LGBTQ+ seringkali tidak kelihatan. Semua identitas-identitas yang beragam di sana direduksi menjadi L, G, B dan T saja. Bahkan kadang hanya tinggal L dan G sehingga banyak masyarakat awam menganggap kalau komunitas LGBTQ+ tidak lebih dari sekedar “perkumpulan penyuka sesama jenis.”

Makin lama aktif mengikuti topic-topik seputar LGBTQ+, makin juga aku menyadari kalau ada banyak identitas-identitas yang tidak pernah dibahas, dilupakan saat ada diskusi dan aktivisme, dihapus keberadannya, dan tidak disadari eksistensinya. Seolah-olah ada jubah menghilang yang membuat identitas-identitas tersebut tidak kelihatan. Tentu saja ini berdampak buruk bagi orang-orang yang memiliki identitas-identitas tersebut.

Aku adalah seorang aseksual biromantik. Identitas aseksualku adalah sebuah identitas yang sangat tidak kelihatan dan sangat jarang ada orang yang tahu. Identitas biromantikku mungkin sudah lebih banyak yang tahu, walaupun mungkin saat aku berkata, “I’m bi,” banyak orang yang mengiranya sebagai biseksual. Biseksual juga adalah sebuah identitas yang walaupun memiliki huruf di dalam akronim LGBT masih banyak orang yang tidak paham dan sering terhapuskan.

Ada banyak invalidasi yang terjadi kepada identitas bi dan aseksual yang aku rasa juga terjadi kepada identitas-identitas lain yang tidak kelihatan. Dianggap mengada-ngada, dianggap tidak nyata, dianggap tidak penting dan dilupakan dalam banyak diskusi mengenai LGBTQ+–aku sudah mengalami semua itu. Banyak orang yang tidak paham dan sering salah kaprah sehingga ada banyak stereotipe tidak enak yang benar-benar salah. Banyak orang yang tidak percaya (atau tidak mau percaya) kalau identitas-identitas tersebut ada. Banyak juga yang mengejek karena dianggapanya caper dan kepengen jadi special snowflake.

Invalidasi tersebut berdampak kepada ketidakadaannya tanggapan serius untuk isu-isu yang dihadapi oleh orang-orang dengan identitas-identitas yang tidak kelihatan tersebut. Bagaimana mau dianggap serius isu-isunya kalau identitas-identitasnya sendiri sudah lebih dulu dianggap tidak nyata? Bagaimana mau ditanggapi tidak ada yang tahu tentang eksistensinya identitas-identitas tersebut? Isu-isu yang dialami oleh orang-orang dengan identitas-identitas yang tidak kelihatan seolah-olah  ditelantarkan dan dilupakan, kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dibiarkan begitu saja tanpa adanya pertolongan yang datang. Bagaimana mau menolong kalau banyak orang yang bahkan tidak sadar kalau isu-isu tersebut ada?

Ketidakadaannya tanggapan terhadap isu-isu yang dihadapi oleh mereka yang mempunyai identitas-identitas yang tidak kelihatan membuat mereka mempunyai sumber pertolongan yang minim. Tidak banyak ada sumber pertolongan yang spesifik dengan identitas mereka. Bahkan ada saja kemungkinan besar sumber pertolongan yang sering dipakai oleh orang-orang dengan identitas LGBTQ+ tidak begitu paham dengan masalah yang mereka hadapi yang spesifik dengan identitas mereka sehingga tidak bisa memberikan bantuan.

Satu hal yang jelas bagi mereka dengan identitas-identitas yang tidak kelihatan adalah sulitnya mendapatkan informasi tentang identitas mereka. Tidak jarang banyak dari mereka yang baru menyadari identitas mereka atau baru menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang mereka rasakan setelah lama. Aku kebetulan lumayan aktif di komunitas aseksual dan aku cukup sering menemui kisah-kisah orang aseksual yang pada umur 20-an, 30-an, 40-an atau bahkan 60-an yang baru menyadari kalau mereka aseksual setelah sekian lama bertanya-tanya apa yang salah dengan diri mereka.

Sulitnya mendapatkan informasi tentang identitas-identitas mereka yang tidak kelihatan membuat mereka banyak menghabiskan waktu dengan kebingungan. Banyak dari mereka yang jadi merasa kalau diri mereka aneh dan abnormal yang tentu saja berdampak kepada kesehatan mental mereka. Sulitnya mendapatkan informasi tentang identitas mereka juga membuat mereka tidak mempunyai kata untuk mendeskripsikan mereka sehingga mereka susah menemukan komunitas mereka. Hal ini tentu saja membuat mereka merasa sendirian, kesepian dan terisolasi yang lagi-lagi akan berdampak negatif kepada kesehatan mental mereka. Ketidakadaannya komunitas bagi mereka juga membuat tidak mempunyai dukungan di saat-saat sulit mereka.

Karena inilah usaha untuk meningkat visibilitas bagi identitas-identitas tersebut amatlah penting. Dengan adanya visibilitas, akan ada lebih banyak informasi. Dengan adanya visibilitas, diharapkan invalidasi atas identitas tersebut akan berkurang dan isu-isu yang berkaitan dengan identitas tersebut akan ditanggapi dengan lebih serius. Dengan adanya visibilitas, akan lebih mudah menemukan komunitas dan juga pertolongan bagi mereka yang tengah bingung dan kesusahan dengan identitas mereka.

Upaya visibilitas bagi identitas-identitas yang tidak kelihatan memang sulit namun sangat penting dan harus dimulai dari sekarang.

*Penulis adalah seorang mahasiswa asal Jakarta, dapat dihubungi di hatzka1998@gmail.com