Oleh: Hatzka*
SuaraKita.org – Mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang di atas rata-rata bagiku memberikan keuntungan tersendiri saat aku sedang berada dalam masa-masa kebingungan akan orientasiku. Bahasa Inggris sebagai bahasa global adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh situs-situs LGBTQ+. Banyak informasi tentang identitas-identitas LGBTQ+–termasuk informasi tentang aseksualitas—yang menggunakan bahasa Inggris. Tentu saja ini tidak lepas dari kenyataan kalau banyak dari situs-situs tersebut yang berasal dari negara Barat, lebih spesifiknya Amerika Serikat.
Aku mengenal aseksualitas pertama kalinya sebagai asexuality dari sebuah situs berbahasa Inggris yang berasal dari Amerika Serikat. Setelah itu, segala informasi tentang aseksualitas yang membantuku menyadari identitasku sebagai seorang aseksual dimuat dalam bahasa Inggris dan ditulis oleh orang-orang asing dari negara-negara Barat. Segala diskusi tentang aseksualitas yang aku temui berlangsung dalam bahasa Inggris. Segala terminologi yang berkaitan dengan aseksualitas dan definisi mereka semua ada dalam bahasa Inggris. Aseksualitas aku mengerti dalam bahasa Inggris dan saat aku mencoba menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, aku kagok. Aseksualitas dalam bahasa Indonesia yang adalah bahasa ibuku menjadi sesuatu yang asing.
Aku tidak mengatakan kalau tidak ada informasi maupun diskusi tentang aseksualitas yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, saat aku penasaran dengan keberadaaan aseksualitas dan orang-orang aseksual di Indonesia, aku mencoba mencari hal-hal tentang aseksualitas dalam bahasa Indonesia melalu mesin pencari Google. Hasilnya? Reproduksi aseksual, definisi aseksual dalam konteks pelajaran Biologi, beberapa artikel tentang aseksualitas yang merupakan terjemahan dari artikel-artikel berbahasa Inggris, dan beberapa tulisan orisinil yang hanya memberikan penjelasan seadanya tentang aseksualitas dan sepertinya ditulis oleh orang-orang non-aseksual.
Tentu saja hasil pencarian tentang aseksualitas dalam bahasa Indonesia sangat mengecewakan jika dibandingkan dengan hasil pencarian tentang aseksualitas dalam bahasa Inggris. Saat aku mencari informasi tentang aseksualitas dalam bahasa Inggris, aku mendapatkan sebuah website khusus tentang aseksual yang ada forumnya, artikel-artikel tentang aseksualitas yang ditulis oleh orang-orang aseksual atau pakar seksologi, dan tentu saja blog-blog milik orang-orang aseksual yang mendiskusikan pengalaman pribadi mereka sebagai orang-orang aseksual dan juga berisikan informasi-informasi lengkap tentang aseksualitas.
Kemudahan mencari informasi tentang aseksualitas dalam bahasa Inggris membuatku bisa dengan mudah menemukan bermacam-macam komunitas aseksual dalam bahasa Inggris. Sebagai contoh, ada komunitas aseksual yang spesifik untuk orang-orang aseksual yang bukan kulit putih (asexual people of color) dan juga komunitas aseksual untuk orang-orang aseksual penyintas kekerasan seksual. Melalui segala komunitas-komunitas tersebut, aku melihat ada berbagai diskusi penting yang berlangsung, ada orang-orang aseksual yang sudah lebih berpengalaman memberikan saran bagi anggota-anggota baru, ada solidaritas, ada dukungan untuk saling membagikan pengalaman hidup.
Aku sulit menemukan itu semua dalam bahasa Indonesia. Sedikit sekali ada informasi tentang aseksualitas dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia yang mengidentifikasikan diri sebagai aseksual. Aku baru menemukan satu, itu pun setelah nyaris 3 tahun sejak aku pertama kali menyebut diriku sebagai aseksual dan setelah dengan susah payah mencoba segala kombinasi kata kunci di mesin pencari Google. Aku ingat ketika pertama kali menemukan blog tersebut. Ada perasaan senang sekaligus tidak percaya. Ada validasi sekaligus perasaan kalau aku tidaklah sendirian di negara kepulauan besar ini.
Aku rasa keberadaan informasi tentang aseksualitas dalam bahasa Indonesia sangatlah penting. Ada yang mungkin mengatakan, “kan sekarang orang Indonesia sudah makin banyak yang paham bahasa Inggris?” Bagiku penggunaan bahasa Indonesia dalam menyebarkan informasi tentang aseksualitas lebih dari sekedar perkara apakah orang bisa paham dengan bahasa yang digunakan atau tidak.
Penggunaan bahasa Indonesia bagiku adalah sebuah penunjuk bagi para orang-orang aseksual di Indonesia bahwa mereka tidak sendirian sekaligus memudahkan mereka untuk menemukan komunitas lokal. Dan ngomong-ngomong tentang komunitas lokal, menurutku penggunakan bahasa Indonesia bisa membantu dalam membuat aseksualitas terasa lebih lokal.
Apa yang aku maksud dengan “terasa lebih lokal”? Aku rasa sudah bukan rahasia lagi kalau masih banyak orang yang mengganggap identitas-identitas LGBTQ+ termasuk aseksualitas sebagai produk impor dari Barat yang tidak ada hubungannya—atau bahkan mengancam—kebudayaan Timur kita. Dengan menyebarkan informasi tentang aseksualitas menggunakan bahasa Indonesia aku rasa kita bisa sedikit demi sedikit mengikis miskonsepsi bahwa aseksualitas adalah produk impor dan bahwa, ya, ada banyak orang Indonesia yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai aseksual dan mereka tidak sedang ikut-ikutan dengan budaya Barat.
Lalu sebagai seorang aseksual dari Indonesia, aku merasakan kalau informasi tentang aseksualitas yang ditulis dalam bahasa Indonesia lebih mengena kepadaku daripada informasi tentang aseksualitas yang ditulis dalam bahasa Inggris. Terasa lebih ada koneksi saat membacanya dalam bahasa ibuku. Aku merasa mendapatkan validasi membaca tentang aseksualitas yang ditulis dalam bahasa ibuku karena pastinyalah ada orang aseksual lain yang berada dalam posisi sama sepertiku.
Dan kemudian yang menurutku adalah aspek paling penting dari penggunaan bahasa Indonesia saat membicarakan tentang aseksualitas adalah adanya komunitas lokal khusus untuk aseksual. Dengan adanya itu, orang-orang aseksual Indonesia dapat menemukan ruang untuk mendiskusikan isu-isu aseksualitas yang spesifik dengan keadaan di Indonesia. Menurutku ini sangatlah penting karena aku merasa ada banyak isu-isu aseksualitas yang spesifik dengan Indonesia yang tidak pernah dibahas. Aseksualitas tentulah dipandang beda di Indonesia dengan di negara Barat.
Kemudian tentu saja ada faktor aksesibilitas dalam menyebarkan informasi mengenai aseksualitas dalam bahasa Indonesia. Memang sekarang makin banyak orang Indonesia yang paham bahasa Inggris, namun aku rasa ada banyak juga yang lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia. Kalau ingin mengedukasi masyarakat Indonesia tentang aseksualitas, bukan kah paling efektif dengan memakai bahasa ibu mereka?
Aku tahu saat ini informasi tentang aseksualitas dalam bahasa Indonesia masih sangat minim, namun aku percaya kalau ke depannya akan makin banyak informasi tentang aseksualitas yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia.
*Penulis adalah seorang mahasiswa asal Jakarta, aktif di twitter @hatzka20