SuaraKita.org – Ou Xiaobai (32) tinggal di Beijing, menceritakan bagaimana sebuah pernikahan membantunya membahagiakan keluarga besarnya dan memberikan kebebasan untuknya.
Saya ingin hidup dan melindungi pasangan lesbian saya selamanya. Untuk itu saya menikahi seorang lelaki pada tahun 2012.
Waktu itu saya hidup bahagia bersama pasangan saya di Beijing. Akan tetapi saya berada dibawah tekanan dari keluarga saya di Dalian untuk segera menikah.
Ironisnya situasi yang saya hadapi seharusnya lebih mudah 1 dekade lalu. Dimana kurangnya kesadaran akan adangan homoseksualitas, yang menyebabkan berkurangnya rasa curiga.
Orang tua saya selalu menanyakan apakah saya memacari seseorang. Dan situasinya bertambah buruk setelah ayah saya meninggal, karena ibu saya – yang pada waktu itu menganggap saya masih tinggal sendiri – mulai tinggal bersama saya selama beberapa bulan dalam setahun.
Menyadari bahwa tidak ada jalan untuk saya dalammenghadapi masalah ini, saya mendatangi teman saya untuk meminta bantuan, dan itulah awal mula saya mengetahui tentang “marriages of convenience”*.
Saya berkenalan dengan suami saya lewat bantuan seorang teman. Sama seperti saya, dia juga hidup bersama pasangan gaynya selama beberapa tahun dan belum melela.
“Saya tahu bahwa keputusan saya adalah tepat”
Di acara pernikahan kami, pacar saya menjadi pendamping pengantin, juru rias dan konsultan gaun pernikahan.
Dia sangat bahagia dan mendukung keputusan saya, sama seperti kekasih suami saya. Meskipun kami dipertemukan oleh sebuah kebutuhan, kami berempat baik-baik saja dan menyiapkan detil prosesi pernikahan bersama-sama.
Setelah melihat keluarga besar saya bahagia di hari pernikahan saya, saya tahu bahwa keputusan saya adalah tepat. Hanya dengan cara ini kita dapat menyenangkan semua orang. Keluarga saya senang karena akan ada yang mengurusi saya ketika mereka meninggal, dan suami saya senang karena tidak lagi dipaksa paksa untuk berkenalan dengan perempuan oleh kolega-koleganya
Awalnya saya dan suami saya mudik mengunjungi keluarga besar ketika hari libur dan saya mendampingi suami saya ke acara-acara kantornya.
Tapi beberapa tahun terakhir, ketika keluarga dan kolega kami memandang bahwa hubungan kami sudah mapan, kami tidak perlu lagi “berakting” sebagai pasangan.
Saya tinggal bersama pasangan saya, dan suami saya tinggal bersama pasangannya. Kami berempat sesekali pergi makan bersama karena kami merasa bersahabat satu sama lain.
Setelah saya menikah, beberapa teman yang mengatahui orientasi seksual saya mulai meminta bantuan. Saat itu saya dan pasangan saya menyadari bahwa banyak orang yang mengharapkan pertolongan.
Bukan saja 70 juta penduduk China yang mengidentifikasikan sebagai homoseksual, tapi juga jutaan perempuan heteroseksual yang beresiko menikah dengan lelaki homoseksual.
Kemudian kami membangun sebuah layanan di sosial media bernama iHomo. Dalam setahun kami mengorganisir setidaknya 80 acara,membantu untuk menyelenggarakan 100 “marriages of convenience”. Kami sekarang membuat aplikasi iHomo.
Namun, saya mengerti bahwa “marriages of convenience” ini dapat menimbulkan masalah. Akan menjadi rumit jika anggota keluarga lain yang tinggal di kota yang sama berkunjung mendadak, mereka bisa dengan mudah mengungkap kebenaran pernikahan mereka. Dalam kasus ini, mendirikan rumah lain dengan fasilitas bersama adalah penting, tapi jelas mengurus hal tersebut bisa sangat melelahkan.
Ditambah lagi dengan pertanyaan “kapan kalian punya anak?”. Ketika pasangan menikah setuju dengan metode IVF (fertilisasi in vitro), akan muncul pertanyaan, “apakah orang tua biologis harus ikut membesarkan anak tersebut?” jika iya, maka pasangan harus tinggal bersama. Hal ini akan menjadi sangat rumit.
Kami berhasil mengesampingkan pertanyaan tentang anak pada saat ini. Kami sedang berfokus mencari suami untuk pasangan saya.
“Saya percaya bahwa masyarakan China akan menjadi lebih toleran”
Meskipun pasangannya telah melelela kepada orang tuanya ketika ia masih di SMA dan kami mengunjungi mereka setiap akhir pekan, kami memahami ketakutan mereka bahwa anggota keluarga dan teman-teman lain mungkin akan mengetahui orientasi seksualnya, terutama neneknya yang menginginkannya untuk menikah.
Cepat atau lambat, karena saya tidak mampu melakukan semua yang saya bisa untuk merahasiakannya, keluarga saya akan menemukan kebenaran tentang orientasi seksual saya. Tapi saya percaya masyarakat Cina akhirnya akan menjadi lebih toleran terhadap komunitas LGBT dan akan lebih mudah untuk ibu saya untuk menerima seksualitas saya di masa depan. Saya ingin keluarga saya menerima saya sebenarnya.
Pasangan dan saya ingin membantu masyarakat memahami kami lebih baik, tetapi dengan keras dan agresif mungkin bukan strategi terbaik. Kami ingin menggunakan “pernikahan kerjasama” sebagai cara pragmatis untuk mengurangi konflik sehingga homoseksual dapat menjalani kehidupan yang mereka inginkan. Kami tahu betapa sangat sulitnya tapi kami akan berjuang untuk apa yang kami percaya dan terus maju.
*Marriages of convenience adalah pernikahan yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain, biasanya mengenai tujuan politis, misal: mendapat status warga suatu negara taupun bertujuan untuk menutupi identitas/orientasi seksual di mata masyarakat dan keluarga, misal: lelaki gay menikah dengan perempuan lesbian
Sumber:
BBC