Oleh : Oriel Calosa
SuaraKita.org – Waroeng HAM adalah sebuah ruang diskusi yang diprakarsai oleh LBH APIK dan PKBI Jawa Tengah yang menginisiasi untuk dapat membahas persoalan-persoalan yang muncul di Indonesia. Kali ini, Waroeng HAM menggandeng Rumah Pelangi Indonesia untuk membahas tentang Minoritas Seksual dan Permasalahan Hukumnya yang diadakan dalam rangka memperingati Hari HAM.
Diskusi Waroeng HAM yang kali ini diadakan pada 19 Desember 2016 ini menghadirkan Dr Hastaning Sakti, M.Kes, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi UNDIP, Khoirul Anwar dari eLSA (Lembaga Study Agama), dan Oriel Calosa dari Rumah Pelangi Indonesia.
Oriel Calosa mengungkapkan bagaimana upaya proses pendampingan yang selama ini dilakukan oleh Rumah Pelangi Indonesia. Dungkapkan sepanjang 2016 telah melakukan proses pendampingan kepada korban kekerasan berbasis SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Bodily) beberapa diantaranya mengalami kekerasan fisik dan bagaimana sulitnya kawan-kawan mengakses layanan kesehatan ketika akses kependudukannya tidak terpenuhi.
Khoirul Anwar mengungkapkan bagaimana homoseksualitas dalam perspektif Islam yang pada hakikatnya sangat familiar di jaman Nabi Muhammad, dan bahkan mempersilahkan beberapa yang disebut sebagai “khuntsa” untuk dapat berinteraksi dengan para istri rosul namun ketika mendapati ada “Khutsa palsu” dimana seseorang yang berpura-pura berperilaku feminin namun pada hakikatnya sebenarnya tetap seseorang yang merasa memiliki nafsu terhadap perempuan dan bagi orang-orang yang seperti inilah yang dilaknanti.
Menurut para sarjana Islam pun pada hakikatnya memiliki beberapa pendapat yang berbeda, salah satu Ulama yang memberikan ruang terhadap homoseksualitas adalah Abu Hanifah yang menganggap bahwa seseorang yang melakukan liwath tidak diberikan sangsi kusus, bahkan bagi mereka yang Lesbian yang disebut As Shihaq tidak ada ada penentuan hukuman tertentu.
Ibu Hasta (Panggilan akrab Hastaning Sakti) mengungkapkan bahwa persoalan LGBT ini bukan lagi pada tataran Psikologi, namun justru berada pada tataran neurologi atau andrologi karena memang mekanisme otak yang saat kehamilan telah memiliki “Blueprint” semacam itu. Permasalahan LGBT hanya akan menjadi persoalan psikologi ketika mendapatkan tekanan dari lingkungan, ketika lingkungan tidak dapat memberikan ruang yang cukup luas bagi LGBT dalam mengenali identitasnya.
Selama Bu Hasta melakukan proses pendampingan, justru momen yang terpenting adalah ketika mereka yang LGBT berusaha untuk coming in dengan dirinya, itu butuh proses yang sangat sulit bahkan banyak diantara mereka yang berusaha melakukan upaya bunuh diri.
Sudah saatnya masyarakat mulai dididik untuk menerima perbedaan termasuk dalam perbedaan orientasi seksual, pendampingan juga bukan hanya dilakukan untuk LGBT namun juga justru kepada para keluarga LGBT terutama para orang tua LGBT untuk dapat menerima pendampingan psikologis. Ada ide untuk dapat mengumpulkan mereka dalam satu forum lalu masing-masing dilakukan pendalaman dengan memberikan ruang untuk mencurahkan isi hati dari masing-masing orang tua.