Search
Close this search box.

[Cerpen] Kincir

Oleh: Wisesa Wirayuda

SuaraKita.org – Hari-hari Ramdan tidaklah selalu berat. Suatu saat nanti ia pasti akan senang juga. Hanya saja untuk hari ini nampaknya awan sedang tidak mendukunya, lagi. Niat Ramdan untuk menghabiskan malam tahun baru di sebuah pasar malam nampaknya harus ia urungkan. “Pasar Malam bukanlah tempat yang nyaman untuk didatangi dalam keadaan basah dan berlumpur setelah hujan.” Nyinyirnya.

Namun lain halnya dengan Rio yang penuh semangat di seberang telepon sana, “Ayolah, kita sudah merencanakan ini dua minggu kemarin loh. Kotor-kotor sedikit tidak apa-apa.”

“Kenapa tidak kita pilih yang indoor saja ya waktu itu?”

“Sayang, percaya padaku, bahwa semua akan baik-baik saja.”

Ramdan sesungguhnya bukanlah orang yang banyak mengeluh, namun kepergiannya dari rumah setelah pengusiran yang dilakukan oleh keluarganya sendiri beberapa hari yang lalu, membuat Ramdan kehilangan nyala hidupnya.

Rio, si pendatang baru dalam kehidupan Ramdan, tidaklah terlalu mengerti tentang apa yang dirasakan Ramdan, yang ia tahu adalah sebentar lagi malam tahun baru akan datang, dan ia tak bisa membiarkan orang terkasihnya itu terus menerus bersedih.

Setelah sedikit memaksa, Rio akhirnya menjemput Ramdan menggunakan sepeda motornya. Baju merah kotak-kotak Ramdan kenakan kala itu. Diimbangi oleh baju warna biru segar yang dikenakan Rio. Mengapa mereka berdua nampak serasi sekali?

Perjalanan membuat langit kemudian menggelap, awan hitam tadi tak lagi terlihat namun angin lembab masih terasa. Di kursi belakang, Ramdan tak banyak bicara. Nampaknya Rio mengerti dan tak banyak menganggu Ramdan. Sedikit terbesit dalam benak Rio untuk menghentikan laju motornya dan menanyakan kekasihnya itu apakah ia baik-baik saja atau tidak. Namun ia seolah sudah tahu jawabannya dan melanjutkan perjalanan.

“Bisa kah kita ke toilet dulu?” tanya Ramdan pada akhirnya.

Rio mengangguk dan membelokkan kemudinya di tempat pengisian bensin beberapa meter di depan mereka. Sembari Rio mengisi bensin, Rio pun menunggu kekasihnya itu.

Ramdan kembali dengan wajah yang sama, yang berbeda adalah kini ia membawa minuman soda ringan kesukaan mereka berdua. “Maaf ya aku cuma beli satu, kita minum berdua saja.” Rio mengangguk saja mendengarnya.

“Yuk lanjut lagi perjalanan kita.” Kata Rio. Ramdan berdiam diri. Ia tak lekas naik ke atas kursi motor. “Ada apa sayang?”

“Bisakah kita mengobrol sedikit di sini?”

Rio teringat kembali misinya malam ini, ia tak mau melihat kekasihnya bersedih terus, sehingga mungkin ini adalah awal yang baik bagi Ramdan untuk meluapkan isi pikirannya. Rio melepas helm yang membelenggu rambutnya yang sebelumnya tertata rapih, kini berantakan sudah rambutnya. Dengan jemarinya ia sedikit demi sedikit membetulkan.

“Aku tidak bisa pergi ke Pasar Malam.” Kata Ramdan.

“Ada apa? Kau ingin ke tempat lain? Ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi?”

Ramdan menggeleng. Ramdan tahu bahwa 300 mililiter minuman bersoda di genggamannya dan kekasihnya saja sudah cukup untuk menghiasi malam ini. Namun ada sesuatu yang ingin Ramdan katakan pada Rio.

“Apapun yang akan kamu katakan, aku siap. Namun jangan biarkan aku meninggalkanmu sendirian, terutama malam ini, terutama lagi di tempat ini. Aku masih ingin menemanimu.” Ucap Rio.

“Dulu, sewaktu kau mengatakan padaku bahwa sebenarnya dirimu adalah seorang Biseksual, aku berjuang sekeras mungkin untuk bisa mengerti dirimu. Dan akhirnya berhasil, aku tidak lagi memandangmu sebagai sesuatu yang buruk. Kamu tahu aku juga manusia seperti dirimu. Jadi aku ingin meminta maaf jika selama ini aku membuatmu kecewa tentang itu.” Rio buru-buru menggelangkan kepalanya, ia ingin mengatakan bahwa itu bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan karena Rio mengerti betul apa resikonya ketika ia mengatakan pada kekasihnya bahwa dirinya dalah seorang Biseksual.

Namun Ramdan belum mengizinkan Rio untuk memotong kalimatnya. Ia sentuh pipi Rio, memintanya untuk melanjutkan kalimat. “Kita juga pernah bertengkar hebat ketika aku mengatakan padamu bahwa aku tak percaya akan kehadiran Tuhan. Kita selalu memiliki pandangan yang berbeda akan sesuatu. Semua perdebatan sengit sudah kita lewati. Sekarang ini, dahulu, setiap malam tahun baru, Pasar Malam adalah tempat yang wajib untuk aku dan keluargaku datangi. Dan aku tak mau lagi melakukan itu. Kau tahu alasannya, kan? Aku pernah diangkat tinggi-tinggi hingga seperti melayang oleh ayahku, aku juga pernah memasuki rumah hantu itu bersama adik-kakakku, kami juga pernah berpesta kecil-kecilan memperingati ibu yang naik jabatan di kantornya. Semua kenangan-kenangan itu terjadi di Pasar Malam. Senang, bahagia, senyum, kasih dan sayang kami rayakan saat itu. Hingga semuanya sirna setelah mereka mengetahui siapa diriku. Aku tidak lagi berada di lingkaran itu. Aku sudah tidak lagi pantas untuk datang ke Pasar Malam. Aku ingin kau mengerti itu.”

Rio terdiam. Sejauh ini, di kepala Rio, Pasar Malam identik dengan kemeriahan, pesta pora rakyat, lampu-lampu, dan kebahagiaan. Ia tidak tahu bahwa di kepala sang kekasih Pasar Malam berarti kesendirian, kegelapan, pengasingan dan kesedihan. Rio tidak menyadari bahwa selama diperjalanan kekasihnya itu justru ketakutan setengah mati.

“Sayang,” giliran Rio yang berbicara kali ini, mata coklat mereka saling memandang. “Jika benar keluargamu ada di sana malam ini, tentu kita akan segera pergi seketika itu juga jika kau mau. Namun mereka sekarang berada di kota kelahiranmu, di pulau seberang. Maafkan aku yang memaksamu. Namun aku janji, semua akan baik-baik saja. Jika kau merasa ingin menangis, bagi lah tangisanmu itu denganku, menangislah. Seperti aku selalu membagikannya denganmu. Jika itu membuatmu lebih baik. Aku akan selalu mendengarkan tangisanmu itu. Aku tidak tahu harus apa.” Ramdan menundukkan kepalanya, air soda di tangannya bergetar mengikuti getaran tangannya. Rio kemudian memeluk Ramdan yang mulai ambruk dalam tangisnya. Saat itu Rio mengerti, bahwa bukan ketakutan akan keluarganya lah yang membuat Ramdan menangis, namun Ramdan takut untuk mengulang memori indah itu.

Bermenit-menit mereka berpelukkan, suara-suara kendaraan bermotor bernyanyi indah dibelakang mereka. Tak peduli lagi mereka kepada teriakan-teriakan pengguna jalan yang arogan. Mereka tahu cinta mereka jauh lebih kuat dari teriakan orang-orang itu.

“Ayo…” kata Ramdan akhirnya dibalik suaranya yang pecah.

“Pulang?” tanya Rio.

Ramdan mengeluarkan senyumnya yang khas, dan menghapus sendiri air matanya, “Ke Pasar Malam saja. Tak apa. Aku ingin sekali menaiki Korsel. Aku rindu kuda-kuda kayu itu. Aku rindu lampu-lampunya. Aku rindu putaran ringan yang tidak memabukkan itu. Atau kita naik Kincir saja, aku ingin berada di puncaknya dan melihat seberapa kecil orang-orang. Atau kita main tembak-tembakkan kaleng saja, aku yakin aku bisa mengalahkanmu…” Ramdan yang antusias itu sudah kembali lagi. Rio sedikit lega.

Rio sebenarnya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, namun terbesit sebuah gagasan. Untuk apa mengulang-ulang kenangan usang yang sudah lalu, sedangkan kita bisa membuatnya yang baru? Rio pun ikut tersenyum. Kemudian naiklah mereka ke atas motor, dan melajulah motor itu menuju tempat yang membahagiakan. Dalam hati Rio berniat nakal, ia akan mencium laki-laki yang memeluk pinggangnya erat ini di puncak Kincir sembari kemudian membiarkan kembang api itu meledak-ledak di angan mereka, seraya membisikkannya kepada sang kekasih, “Selamat Tahun Baru.”

Bagikan