SuaraKita.org – Berdasarkan data catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2016, ada 6.500 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2015. Kasus kekerasan seksual ini terjadi pada personal, rumah tangga bahkan komunitas. Beberapa waktu terakhir bahkan tercatat kasus-kasus kekerasan seksual yang disertai ancaman pembunuhan hingga yang menewaskan korban dengan pelaku lebih dari satu orang. Berbicara tentang kasus kekerasan, termasuk juga di dalamnya pelecehan seksual, masih banyak orang yang menganggap kekerasan dan pelecehan seksual terbatas pada tindakan kekerasan dan pemaksaan fisik. Padahal, kekerasan seksual juga termasuk secara verbal yang bertujuan melecehkan harga diri, menurut U.S Equal Employment Opportunity Commision.
Di Yogyakarta saja tercatat rata-rata setiap hari ada satu perempuan korban kekerasan yang mengadu. Dalam enam tahun terakhir, ada lebih dari 1.500 kasus dilaporkan, di mana 227 merupakan kasus perkosaan dan 128 kasus pelecehan sosial. Itu baru yang tercatat, sementara jumlah faktual di masyarakat diyakini lebih tinggi. Hal tersebut menurut Nur Hasyim -Direktur Rifka Annisa, sebuah organisasi pembela hak-hak perempuan di Yogyakarta- karena perempuan masih enggan melaporkan kasus perkosaan atau pelecehan seksual yang dialaminya, karena dalam proses hukum, perempuan akan kembali menjadi korban untuk kedua kalinya.
Seharusnya Indonesia memberi perhatian kepada kaum laki-laki terkait upaya pengurangan kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlu dilakukan pendidikan secara khusus, agar tercipta pemahaman baru, bahwa laki-laki tidak memiliki hak atas tubuh perempuan. Apalagi di Indonesia rape culture atau budaya perkosaan masih melekat, di mana para pria meyakini bahwa mereka boleh melecehkan dan bahkan memperkosa perempuan. Budaya ini juga menjadikan kebanyakan korban perkosaan disalahkan kembali oleh masyarakat, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya pelecehan atau perkosaan. Penanganan perempuan korban kekerasan juga sangatlah penting. Salah satunya dengan melakukan konseling kepada para korban, selain itu dari segi hukum Indonesia juga harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Hal senada tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dinyatakan oleh Koordinator Advokasi dan Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) juga Frenia Nababan. Menurutnya Indonesia membutuhkan payung hukum sehingga penanganan kasus kekerasan seksual dapat lebih terintegrasi. Tidak hanya penanganan kasus hukum kepada pelakunya, yang lebih penting lagi adalah pendampingan dan perlindungan bagi korban. Frenia sendiri berharap wacana yang mengalir tidak berbelok ke arah yang salah, misalnya menganggap bahwa RUU Minuman Keras menjadi jawaban dari berbagai kasus pelecehan seksual dan perkosaan ini. DPR dan pemerintah harus fokus, bahwa sebuah undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual adalah jawaban yang dibutuhkan. Presiden Jokowi sendiri sudah menyatakan, bahwa kejahatan seksual terhadap anak-anak adalah kejahatan luar biasa.
Terkait tentang penyandang disabilitas Kementrian Sosial meluncurkan kartu penyandang disabilitas, sebagai salah satu implementasi dari Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Implementasi UU No 8 Tahun 2016 dimandatkan pada 23 kementerian dan lembaga, di antaranya Kementerian Perhubungan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kartu penyandang disabiiltas, di dalamnya dilengkapi dengan system e-wallet, sehingga menjadikan ada konsesi saat mereka menggunakan moda transportasi udara, kereta api, pelni, dan transporatasi lainnya. Dengan model tersebut, menjadikan betapa pentingnya kartu penyandang disabilitas yang bisa ditambah dalam fitur e-wallet untuk berbagai kebutuhan, seperti bantuan sosial (bansos) maupun subsidi lainnya. Saat ini, pemerintah menyedikan kartu bagi penyandang disabilitas sebanyak 125 ribu yang ditargetkan akan tersebar merata pada tahun 2017.
Ketua Umum PPDI, Ghufron, mengapresiasi pengesahan UU Disabilitas oleh pemerintah. Menurutnya itu bisa mengubah paradigma lama yang disematkan pada para difabel, dari paradigma kasihan menjadi paradigma pemenuhan hak. Artinya, kata dia, difabel sama dengan individu lain.
Selain kartu, juga diluncurkan electronic warung gotong royong (e-warong) pertama di Indonesia yang dikelola oleh penyandang disabiitas, sebagai bagian dari upaya konkret perlindungan dan pemberdayaan ekonomi. Hingga Desember 2016, ditargetkan ada 300 e-warong dan pada 2017 ditingkatkan menjadi 3000. Semakin banyak penyandang disabilitas yang mengelola e-warung, maka akan sangat signifikan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan.
Kartu penyandang disabilitas ini diluncurkan pada puncak acara peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di alun-alun Kota Jember. Jember merupakan daerah pertama yang mengesahkan Perda tentang Penyandang Disabilitas melalui sidang paripurna DPRD Jember setelah Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 disahkan oleh pemerintah. perda tersebut merupakan hadiah besar bagi penyandang disabilitas khususnya di Jember. Ada keinginan pengarusutamaan, khususnya hak yang sama bagi penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional.
Sumber