SuaraKita.org – Terletak di kawasan perindustrian Jakarta Utara, Suara Kita sampai di sebuah rumah yang menjadi ‘markas’ Pelangi Mahardika dimana kami akan memutar film Bulu Mata pada tanggal 13 November kemarin. Film ini adalah film dokumenter tentang kehidupan waria (Transgender Male to Female -Red.) di Aceh.
Film berdurasi satu jam ini menggambarkan dengan jelas bagaimana waria-waria di sana berinteraksi dengan lingkungannya. Saya melihat di film ini ada hinaan, ada ejekkan kepada waria, namun saya juga melihat ada sebuah penerimaan dari beberapa orang terhadap waria. Aceh, sebagaimana yang kita tahu, yang dikenal dengan ‘Serambi Mekkah’ memiliki peraturan daerah yang amat ketat terhadap orang-orang yang “berbeda” seperti waria ini.
Selesai menonton film, Suara Kita mengadakan sebuah diskusi ringan tentang isu-isu transgender di Indonesia. Hana, seorang perempuan transgender menceritakan pengalamannya selama tinggal di Jakarta. “Film ini tentang transgender di aceh khususnya, tapi sebenarnya ini terjadi juga di semua daerah. Bahkan di daerah yang mayoritas Kristen pun bisa terjadi hal yang sama. Namun saya belum pernah mendapatkan diskriminasi seperti teman-teman di Aceh. Tapi saya pernah dipukul di bagian kepala sampai kepala saya berdarah banyak.”
“Aku cinta dengan Ibuku, saya besar dengan dia. Saya tidak punya keberanian untuk meninggalkan ibuku. Saya pernah dapat tawaran untuk pindah ke luar negri, tapi saya tolak itu. Saya juga mengatakan padanya bahwa inilah saya yang sebenarnya. Ini Hana yang sebenarnya. Dan saya ingin dekat dengan Ibu, saya ingin membagi semuanya dengan Ibu.” Lanjut Hana.
Menurut Hana, banyak hal yang kita harus kita pertimbangkan agar diterima di lingkungan masyarakat. “Jika di aceh waria suka pakai hot pants, tank-top , gitu ya, mungkin akan mendapatkan kesulitan. Jadi kita harus pandai-pandai berbaur.”
Hana juga mencoba untuk realistis, “Saya juga punya impian yang tinggi, namun untuk sekarang saya lebih memikirkan bagaimana untuk menyambung hidup. Bagaimana caranya besok bisa makan.”
Asfinawati sebagai salah satu pemateri dalam diskusi kali ini, memaparkan kondisi terkini di Mahkamah Konstitusi tentang rencana kriminalisasi LGBT. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Salah satu peserta bernama Ari memaparkan pertanyaanya. “Kalo teman-teman di sini sih, kalo cuma sekedar ejekan begitu kami sudah biasa lah. Bagaimana caranya mengatasi diskriminasi di tempat kerja? Seperti misalkan ketika ingin melamar kerja, tetapi ketika dilihat dari penampilannya ‘bukan perempuan’. Seperti aku nih kalo lagi di tempat kerja aku akan mengubah total penampilanku.”
Asfina menjawab, “Saya punya ide nih. Sudah ada belum datanya untuk teman-teman buruh LBT (Lesbian, Biseksual, dan Transgender -Red.) yang didiskriminasi? Karena kan isu buruh sudah lama, isu LGBT sudah lama juga. Jadi untuk isu buruh yang LBT itu belum banyak yang bahas. Jadi ketika dua isu ini disatukan maka nanti akan menjaring teman-teman yang baru. Ini akan menarik sekali menurut saya. Jadi nanti tidak hanya WHO atau organisasi kesehatan saja yang menolong, tapi organisasi buruh juga akan ikut membantu.” (Esa)