Oleh: Oriel Calosa
SuaraKita.org – Transgender Day of Remembrance (TDoR) 2016 kali ini, Talita Kum menyelenggarakan Lomba Fotografi bertajuk “Ragam Identitas dan Ekspresi”. Lomba ini mencoba menampilkan keragaman identitas dalam fotografi dan ditampilkan sebagai rangkaian TdoR 2016. Perayaan TdoR ini juga mengadakan pameran foto dan diskusi tentang Priawan dan Transman atau Transgender Lelaki. Lomba ini berlangsung hingga tanggal 13 November 2016.
Dalam pameran tersebut ditampilkan 34 karya foto dari kawan-kawan komunitas dan juga umum. Kompetisi Fotografi yang menampilkan bagaimana keragaman identitas seksual dibingkai dibalik lensa. Dalam Lomba tersebut, akhirnya terpilih dua pemenang yaitu Juara I Karya Poppy Loise dengan Judul “We Reclaim The Night” dan Juara II dimenangkan oleh Zaid Zulkarnaen dengan karya “This Is My Principle”.
Kegiatan yang diadakan di Teater Kecil Taman Budaya Jawa Tengah tersebut dilanjutkan dengan pemutaran Film “Bulu Mata” dan “Toms : The Complexs World of Female Love in Thailand”, pada pukul 19.00. Diskusi diisi oleh Mario Prajna Pratama (Transman Indonesia/PLUSH Jogja), Kevin Reaz (Persatuan Priawan Indonesia), Oriel Calosa (Sobat Semarang/Rumah Pelangi).
Film pertama, “Bulu Mata” sebuah film yang berdurasi satu jam tersebut mencoba menggambarkan bagaimana kehidupan Waria di Aceh yang hidup di tengah Hukum Qonun Jinayat yang mengikat seluruh Warga Aceh. Problematika yang sangat kontradiktif dengan hukum yang berlaku tersebut membuat banyak sekali akses dan ruang ekspresi dari Waria yang dibelenggu di Aceh seperti Akses Pekerjaan dimana kesulitan mendapatkan ijin Salon, Akses kependudukan tentang bagaimana sulitnya mendapatkan KTP, hingga pada betapa sulitnya mereka memiliki ruang ekspresi, sebegitu dibelenggunya kehidupan mereka sehingga untuk sekadar duduk di depan rumah sekalipun menjadi sangat resisten terhadap kekerasan yang akan diterimanya atau bahkan bisa terkena Razia WH (Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariah).
Diungkapkan bagaimana kesulitan kawan-kawan dalam mengakses berbagai kebutuhan dasar termasuk akses kesehatan sebagaimana diungkapkan oleh Oriel yang mengungkapkan beberapa kali menemukan fakta bahwa Waria yang tidak diterima oleh keluarganya bahkan sampai tidak mau untuk sekadar menandatangani lembar tindakan Rumah Sakit dan membuat Rumah Sakit tidak berani untuk melakukan tindakan medis.
Tama, menambahkan. Dukungan terkecil yang bisa dilakukan oleh lingkungan terdekat seperti teman dan sahabat bisa saja diawali dengan sekadar memanggil nama yang memang dirasa nyaman oleh kawan. Itu adalah dukungan terkecil, karena seringkali nama asli yang diketahui oleh lingkungan biasanya digunakan untuk merendahkan atau sebagai bahan ejekan. Dukungan yang lebih besar bisa dilakukan misalnya menemani kawan Transman untuk belajar masuk ke Toilet Pria “Dulu, saya dibantu kawan-kawan Gay untuk belajar masuk ke Toilet Pria untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual.” tambah Tama.
Transman Indonesia berdiri sebagai bagian dari upaya kawan-kawan Transman untuk bisa saling memberikan support dan dukungan termasuk bagaimana saat kawan-kawan menghadapi proses transisi yang dilakukannya.
Kevin, dari Persatuan Priawan Indonesia menyatakan pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara perspektif “Priawan” dan Transgender karena kedua-duanya sama-sama Transgender namun, beberapa kawan Transgender merasa lebih nyaman untuk memiliki nama yang “lebih Indonesia” untuk menunjukkan perspektif Transgender dan akhirnya kata “Priawan” digunakan untuk merepresentasikan sebagai kebalikan dari kata “Waria”. Namun, disadari bahwa memang spektrum Trans sangat banyak sehingga terminologinya pun juga berkembang termasuk mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Lelaki” tidak nyaman untuk disebut sebagai “Priawan” dan itu sah-sah saja.
Dari keinginan tersebutlah akhirnya kawan-kawan berkumpul dalam sebuah forum dan menyepakati untuk membentuk Persatuan Priawan Indonesia untuk menjadi wadah bagi seluruh Priawan di Indonesia sebagai bentuk dari kerja-kerja advokasi yang dilakukan bersama.