Search
Close this search box.

[Liputan] Dede Oetomo: Politik Diskriminasi LGBT Berakar Dari Heteronormativitas

Oleh: Wida Pustiposari

SuaraKita.org – Hak-hak minoritas gender dan seksual di Indonesia selama satu dekade terakhir telah mengalami dekadensi atau penurunan akibat tekanan sosial yang bertubi-tubi. Sekalipun kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) telah secara sporadik menghadapi retorika penuh kebencian dan serangan kekerasan selama hampir dua dekade sebelum sekarang, sekalipun tidak pernah ada undang-undang nasional yang secara spesifik melindungi mereka dari diskriminasi itu sendiri. Hal ini menurut Dede Oetomo, seorang intelektual yang menghabiskan sepanjang hidupnya pada kajian seksualitas, berakar dari struktur pengetahuan masyarakat yang heteronormatif – yang muaranya dapat dipotret pula melalui kebijakan.

Ditemui di sela-sela acara workshop dan seminar internasional bertajuk “Membangun Dari Pinggir: Menelaah Masyarakat Pinggiran Sebagai Bagian Dari Bangsa Indonesia” yang diadakan secara kolaboratif oleh Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (CCFS) Universitas Brawijaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada pada 10 Nopember 2016 kemarin, Dede mengungkapkan jika sponsor utama diskriminasi terhadap kelompok LGBT berakar dari konsep heteronormativitas yang menampilkan dirinya pada wajah negara, agama, budaya maupun pseudo-sains.

“Negara dan sistem-sistem kekuasaan seperti agama, budaya dan pseudo-sains umumnya hanya mengakui dan menerima heteronormativitas, yaitu hubungan laki-laki dan perempuan (dalam perkawinan yang sah -Penulis.) sebagai norma hegemonik, dan cisgenderisme-binerisme, yakni pandangan bahwa dalam jenis kelamin manusia hanya terbagi menjadi dua, laki-laki dan perempuan, dan yang lain tidak benar atau menyimpang, dalam menarasikan seks, gender dan seksualitas. Dengan demikian, siapa saja yang tidak patuh pada rezim hetero- dan cis- itu berpotensi terpinggirkan dalam berbagai hal, mulai dari hal-hal yang pribadi hingga yang publik, dari yang mikro sampai yang makro (Kebijakan -Red.).” ungkapnya.

Pada tataran mikro misalnya, ketika heteronormativitas telah melembaga pada proses-proses dan nilai-nilai komunal, masalah pelik yang kemudian terpotret adalah dijumpainya kepanikan moral secara universal; kepanikan moral yang terjadi pada teritorial tertentu secara serentak akan menjalar ke sejumlah teritorial lain yang memiliki kesamaan nilai-nilai komunal, dan dalam jumlah segregatif. Inilah yang disebut sebagai efek moyoritarianisme.

“Masyarakat kita sekarang masih menganggap segala sesuatu yang dipegang orang kebanyakan orang atau mayoritas adalah yang benar. Sesuatu yang ditandai sebagai penyimpangan di tempat tertentu akan menjadi problematik di tempat lain yang dalam konteks yang lebih luas. Misalnya kasus LGBT yang sering dikaitkan dengan isu penyebaran virus HIV/AIDS, padahal LGBT memiliki dimensi sosial yang luas, lahir dari situ. Asalnya ya dari heteronormativitas” jelas Dede.

Berkaca dari fenomena di atas, heteronormativitas, tambah Dede, seharusnya dapat menjadi dorongan bagi para aktivis agar melihat betul apa dan siapa yang diperjuangkannya. Selain itu, kajian yang lebih mendalam dan komprehensif masih perlu dilakukan, agar kajian-kajian dan wacana yang bersentuhan dengan seksualitas dan kesehatan dan hak seksual serta reproduksi tidak dipandang sebagai tabu, dalam rangka melawan heteronormativitas.