SuaraKita.org – Sabtu sore tanggal 19 November kali ini, Suara Kita kedatangan Merlyn Sopjan, seorang penulis beberapa buku yang salah satu bukunya akan dibedah di acara Bedah Buku Suara Kita kali ini, buku tersebut berjudul Wo(W)man. Ditemani dengan cuaca yang tidak menentu ini, Merlyn menyampaikan bagaimana proses bukunya hingga bisa diterbitkan. Buku ini sudah berproses sejak sepuluh tahun setelah buku keduanya terbit, “Setelah itu, saya mengedit naskah buku ini sendiri. Dari judulnya yang sempat berubah-ubah ini akhirnya saya memiliki dua interpretasi yaitu ‘Kisah tentang perempuan dan laki-laki’ dan ‘Transgender’.” katanya.
Buku dengan sampul bergambar lukisan sosok perempuan ini memiliki sembilan belas cerita pendek di dalamnya. yang semuanya diangkat dari kejadian yang sebenarnya. “Di buku ini saya tidak menceritakan hanya tentang diri saya, tapi juga menceritakan tentang kisah teman-teman LGBT lainnya. Meskipun bukan berupa uang. Kisah-kisah di buku ini bisa memberikan semangat pada orang banyak.”
Merlyn juga menceritakan pengalaman-pegalamannya yang kemudian menjadi inspirasi buku ini juga, “Dari kecil saya sudah terbiasa melihat dari sisi yang lain. Begitu saya keluar dari pintu rumah saya, saya melihat dunia luar itu sebagai perpustakaan yang besar. Semua yang saya temui di luar rumah itu saya anggap sebagai buku, dan saya selalu mendapatkan sesuatu dari mereka. Menulis ini adalah cara saya untuk berterima kasih pada mereka.”
Seorang peserta diskusi kali ini yang bernama Iman menyampaikan buah pikirnya, “Apa yang membuat mba Merlyn bertahan? Karena kan transgender itu salah satu kelompok yang rentan bunuh diri.”
“Saya pernah mencoba untuk bunuh diri, tapi saya bertahan karena saya ingin orang-orang melihat bahwa saya juga berproses. Saya menjadi yang hari ini bukan karena pengaruh transgender lain. Saya juga pernah mengatakan kepada ayah saya, bahwa esensi kehidupan itu bukan di kelamin. Saya sudah bahagia dengan kondisi saya sekarang. Saya realistis saja.” Tutur Penulis yang seorang Transgender perempuan ini.
Merlyn, yang juga seorang aktifis LGBT ‘angkatan senior’ menceritakan pengalamannya dan sedikit memberika saran untuk pergerakan LGBT yang sekarang, “Dari 1993 saya berada di lingkaran aktifis, belum pernah saya mendengar ada yang ingin mensahkan pernikahan sejenis. Paling-paling soal penerimaan, soal kesehatan, dan lain-lain. Dari tahun 1993 itu satu-satunya yang berubah sekarang adalah pers yang akhirnya mau meliput kita.”
Menurut Penulis kelahiran Kediri ini salah strategi yang selalu berhasil ketika melakukan advokasi adalah komunikasi yang baik. “Saya belum pernah gagal ketika mengadvokasi, minimal hasilnya fifty-fifty. Kuncinya itu, komunikasi yang baik. Kalau bisa, gunakan bahasa daerah setempat. Dengan begitu kita akan lebih dihargai.”
Tak sampai di situ, Merlyn juga menceritakan pengalaman-pengalaman tak mengenakkan yang sempat dialaminya, “Saya pernah marah ke tukang becak karena dia menertawakan dan menghina saya. Saya katakan padanya bahwa saya yang menurutnya hina ini bisa membeli becaknya itu dengan uang saya sendiri, bukannya bermaksud sombong. Tidak menyenangkan ketika kita menutupi identitas kita sendiri. Kemerdekaan bagi saya itu ketika kita bisa menjadi diri kita sendiri. Saya tidak pernah menyembunyikan diri saya yang waria, saya bangga menjadi waria. Identitas kita itu bukanlah hak orang lain.” tutupnya.