Search
Close this search box.

[Cerpen] Kamu Jahat, Mas!

Oleh: Wisesa Wirayuda

SuaraKita.org – Kutengok televisi belakangan ini semuanya berkisah tentang politik yang terjadi di negaraku. Entah sampai kapan beritanya akan sedikit mereda. Kupikir selama manusia ada, suka tak suka politik itu selalu ada. Jadi alih-alih mendumel, aku ganti saja acaranya ke acara musik dangdut di siang bolong. Sedikit melodi yang mampu menggoyang tubuh itu perlu sebelum memulai kegiatanku.

Suamiku, atau yah, pacarku karena kami tidak bisa menikah di negaraku sendiri, sekarang ini masih saja menggulingkan tubuhnya di sofa dan masih terpejam. Sejak dirinya dipecat dari pabrik, ia kini sama sekali tak melakukan apapun. Bahkan mencuci piring saja masih aku yang melakukannya. Sudah kutanyakan kapan ia akan mencari pekerjaan lagi setelah tiga bulan menganggur, namun jawabannya selalu hanyalah hembusan napas panjang dan angkatan bahu yang aku mulai muak melihatnya sekarang.

Aku bukanlah memaksa dia untuk bekerja. Jika ia merasa belum bisa bekerja atau memang belum menemukan kesempatan, aku pasti akan mengerti. Namun selama ini yang aku lihat dia memang betul-betul tidak ada niatan sama sekali untuk kembali bekerja. Aku semata-mata menyuruhnya bekerja karena penghasilanku di salon tidaklah cukup. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan ini semua. Ini soal keberlangsungan hidup kami berdua, dan sudah terbesit di kepalaku bahwa jika ia memang tak ingin bekerja lagi dan hanya ingin mengandalkanku, dengan terpaksa aku harus meninggalkannya. Bukan karena tidak cinta, justru karena aku cinta padanya maka aku ingin ia berubah dan mandiri tanpa diriku.

Namun mas Hendi, namanya, selalu merajukku untuk tidak mengusirnya. Ya tentu saja mana tega aku berlaku seperti itu. Namun apa yang kuputuskan adalah sesuatu yang sudah kupikirkan matang-matang.

“Mas, tidurnya pindah gih ke kamar. Aku mau bereskan ruangan ini.”

Mas Hendi kemudian memaksa tubuhnya untuk bangkit dan menyeret otot-ototnya untuk pindah. Begitu ia sudah pindah saatnya aku memberersak semuanya. Setelah itu nantinya aku akan bersiap-siap untuk ke salon dan menemui beberapa pelangganku.

“Mas, aku berangkat ya.” Tak ada jawaban dari mas Hendi. Sudah biasa, aku memang biasanya langsung pergi saja.

Di salon, tema-temanku biasanya juga akan menanyakan kabar mas Hendi, seolah itu adalah urusan mereka. Biasany akau hanya menjawab bahwa mas Hendi baik-baik saja, atau sampai berbohong dengan mengatakan bahwa mas Hendi sudah mengirim beberapa lamaran dan aku meminta sebuah doa dari teman-temanku. Kemudian aku lanjutkan bergumam dalam hatiku sendiri.

“Mas, aku malu. Aku tak tahu harus jawab apa ketika ada yang bertanya seperti ini.”

Selesai urusanku di salon, aku tak punya tujuan lain selain pulang. Sembari kubelikan nasi bungkus dengan lauk kesukaan mas Hendi. Namun begitu aku sampai di rumah, mas Hendi tak ada di rumah. Untunglah aku membawa kunci pintu yang sudah digandakan ini. Kutengok keadaan rumahku masih lah sama seperti sebelum aku meninggalkan rumah. Baguslah mas Hendi tidak memberantakkannya. Baiklah kalau begitu, aku sepertinya akan mandi saja. Kulepaskan bajuku satu persatu dan berdirilah aku tepat di bawah pancuran. Rambut yang sudah kurawat sejak beberapa tahun lalu, kubasahi terlebih dahulu. Kuingat sekali awal-awal rambutku masihlah pendek dan orang-orang masih menyebutku dengan sebutan ‘mas’ atau ‘abang. Yah, meskipun sekarangpun aku masih mendapatkannya, setidaknya sekarang orang-orang mulai menyebut namaku sendiri, Ayu.

Selesai mandi, aku masih belum menemukan mas Hendi di rumah. Mungkin ia sedang berkumpul dengan teman-temannya, dan mungkin ia sedang berusaha mencari kesempatan kerja dari teman-temannya.

“Mas, jaga dirimu ya. Aku sepertinya akan duluan tidur.” Kataku dalam hati.

Dalam tidurku, kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Mas Hendi sudah pulang. Senang sekali melihatnya baik-baik saja. “Besok, mas mulai kerja lagi.” Bisiknya. Respon pertamaku adalah aku bangkit dari tidurku dan memandang wajah mas Hendi. Aku tanya padanya apakah pekerjaannya yang sekarang memang membuatnya nyaman bekerja atau tidak, dan ia menganggukkan kepalanya. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku juga katakan padanya bahwa aku bersyukur untuk itu. Meskipun mas Hendi tak mengatakan apapun tentang pekerjaannya.

“Mas, aku senang mendengarnya.” Kataku pada akhirnya. Kemudian mas Hendi mencium bibirku. Malam ini akan menjadi malam yang indah.

Pagi berikutnya, kutemukan mas Hendi sudah mandi dan rapi di subuh hari. Ia mengenakan baju serba putih dari kepala sampai ke mata kakinya. Kutanyakan padanya apakah dia ingin beribadah atau tidak. Ia jawab dengan menganggukan kepalanya. Ini memang hal yang baru untukku, biasnaya mas Hendi tak pernah bangun dini hari begini. Ia biasanya menghabiskan malamnya di depan televisi menonton pertandingan bola atau tinju hingga akhirnya tertidur. Pagi ini memang ajaib. Tak lupa aku juga mengatakan padanya bahwa hari ini aku ingin libur dari salon. Kepalaku rasanya pusing sekali. Aku ingin istirahat, dan mas Hendi pun mengiyakan. Katanya aku dipersilahkan untuk istirahat, dan ia menjanjikanku nanti malam dengan beberapa bingkisan makanan.

Jam demi jam berlalu, mas Hendi sudah berangkat sejak tadi. Teleponku berdering. Itu dari teman-temanku di salon. Ia menanyakan kabarku, kukatakan pada mereka aku sudah baik-baik saja dan besok aku sudah bisa kembali bekerja.

Setelah makan siang, teleponku kembali berbunyi. Itu dari teman-teman salonku lagi. Kali ini nada bicara mereka berbeda. Mereka berteriak-teriak meminta tolong. Aku heran dan ketakutan dengan suaranya. Mereka mengatakan bahwa ada ormas yang mengatasnamakan agama tertentu yang menggrebek salon. Tanpa pikir panjang lagi aku kemudian berangkat menuju salon. Aku tak akan mengizinkan orang-orang itu menghancurkan tempat kerjaku, yang juga sudah menjadi rumah keduaku.

Di salon, kumelihat teman-temanku kini sedang menangis di lantai. Kedaan salon sudah porak poranda. Aku juga menemukan surat yang tertempel di jendela, yang intinya kami harus meninggalkan tempat ini dalam waktu satu hari. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menenangkan teman-temanku itu. Mereka kemudian bercerita siapa yang menyerang mereka. Kelompok dengan baju-baju putih dan teriakan-teriakan memuja Tuhannya. Aku kemudian ingat mas Hendi. Dimana dia sekarang?

“Mas, dirimu tidak termasuk dengan mereka, kan?” gumamku dalam hati.

Selesai mengungsikan barang-barang di salon ke rumahku, aku biarkan teman-temanku beristirahat di rumahku. Kemudian mas Hendi datang bersama teman-temannya. Baju mereka terlihat serupa. Teman-teman mas Hendi terlihat benci pada teman-temanku. Beberapa dari mereka bertanya pada teman-temanku mengapa mereka masih di sini. Teman-teman mas Hendi itu berkata bahwa mereka lah yang mengusir teman-temanku dari salon. Kulihat mas Hendi tertawa. Aku tak habis pikir. Aku marah padanya, namun ia balik memarahiku. Ia mengatakan bahwa aku ini tidak berguna, teman-temanku juga tak berguna. Aku katakan padanya bahwa aku ini seseorang yang mencintainya, seorang perempuan transgender yang mencoba untuk mengerti watak pasangannya. Aku juga mengatakan padanya bahwa aku tidak marah padanya, aku hanya kecewa mengapa dirinya menyerang teman-temanku yang padahal serupa dengan pasangannya yang sudah menemaninya di ranjang selama bertahun-tahun.

Kini aku lah yang dikatakan membawa sial. Karena dirikulah dirinya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kini ia mendapatkan pekerjaan dan berencana untuk meninggalkanku. Ia mengemas pakaiannya ke dalam tas ransel miliknya. Tak lagi aku menemukan kasih darinya. Ia kemudian berjalan melewatiku begitu saja kemudian bergabung bersama teman-temannya itu. Disuruhnya aku meninggalkan desa malam ini juga karena jika tidak nanti akan ada teman-temannya yang lain yang akan datang.

Aku terjatuh dari berdiriku. Namun aku masih memiliki teman-temanku yang luar biasa ini. Mereka segara saja menangkapku ketika diriku mulai tumbang dan menangis.

“Mas, kamu jahat! Aku tak mau lagi melihat dirimu! Aku ingin kau enyah dari hidupku!”

Bagikan