Search
Close this search box.

lgbt_stairsOleh: Masthuriyah Sa’dan

SuaraKita.org – Isu LGBT menjadi fenomena yang mengguncang bumi nusantara ini. Bagaimana tidak, poster anti LGBT terpampang di pinggir-pinggir jalan, meme penuh kebencian menjamur di media sosial, diskusi dan kajian tentang LGBT baik yang pro maupun yang kontra di lakukan di berbagai forum ilmiah, pelecehan secara ferbal, kekerasan secara fisik, perlakukan kasar terhadap kelompok LGBT hingga fatwa haram MUI tentang lesbian & gay.

Isu yang demikian mengalahkan isu politik dan korupsi yang merugikan negara dan rakyat Indonesia. Padahal eksistensi LGBT, waria, Bissu, wadam dan penyebutan lainnya telah ada selama perjalanan panjang sejarah umat manusia. Ironisnya, informasi dan pemberitaan tentang LGBT, menyayat hati dan perasaan terutama rasa keberagaman dan kemanusiaan. Sehingga, seolah-olah kelompok LGBT tidak lagi dianggap sebagai bagian dari manusia. Semua itu, menjadikan masyarakat Indonesia tidak lagi mampu bernafas untuk melihat persoalan demikian menjadi lebih jernih dan terukur, serta melihat bahwa agama yakni pemahaman manusia terhadap interpretasi dan ajaran agama memiliki andil yang sangat besar dalam memahami dan melihat persoalan agama dan kelompok manusia yang selama ini dianggap sebagai liyan.

Tulisan ini akan mengkaji eksistensi seorang anak manusia yang selama ini dianggap sebagai “liyan”, mereka adalah lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Transgender di Indonesia, penyebutannya bervariasi, ada yang bilang banci, waria, bencong, wadam atau bisu. Orientasi seksual mereka dianggap sebagai suatu penyimpangan, dosa, haram dan terlaknat. Apalagi didukung oleh fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tertanggal 31 Desember 2014 yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang hukumnya haram, merupakan suatu bentuk kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati. Ibarat “jatuh ketiban tangga”, Fatwa MUI melengkapi beban seorang LGBT yang ter-diskriminasi dari keluarga, masyarakat dan negara. Agama (Islam) yang membawa misi “rahmatan lil ‘alamien” menjadi tidak rahmat (kasih) lagi hanya karena fatwa MUI yang bias gender “ketiga”.

Pertanyaan utama yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah, bagaimana pandangan LGBT dalam Islam. Kemudian bagaimana pandangan LGBT dalam perspektif hukum internasional yakni Hak Asasi Manusia (HAM). Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan social humanity contemporary. Tujuan utama dari kajian ini adalah agar agama Islam yang menjadi simbol dan label MUI tidak terkesan Islam yang keras, radikal dan bertentangan dengan HAM, melainkan seperti yang dicita-citakan oleh pemikir Islam Kontemporer Abdullah Saed, bagaimana menciptakan Islam yang progresif, yang menghargai hak-hak manusia (kaum marjinal) sebagai manusia dan bukan merampas hak-hak dasariahnya atas nama ”agama”.

Artikel lengkap dapat diunduh di bawah ini

[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2016/11/LGBT-DALAM-PERSPEKTIF-AGAMA-DAN-HAM.pdf”]