Search
Close this search box.

[Opini] Presiden Akhirnya Berbicara

Oleh: Radi Arya Wangsareja

SuaraKita.org – Semenjak awal tahun 2016 LGBT di Indonesia seakan berada di ujung tanduk. Keberadaan LGBT di Indonesia terancam seiring memanasnya komentar-komentar, tudingan dan tindakan yang seakan ingin “memakan” LGBT di Indonesia hidup-hidup. Aksi-aksi penolakan terhadap keberadaan LGBT di Indonesia bermunculan dan tak sedikit kelompok baik itu dari kalangan cendekiawan sampai pejabat negara menggelontorkan sikap sinis dan antipatinya.

Selama ini LGBT Indonesia hidup dalam wilayah “abu-abu” sehingga kebanyakan dari mereka enggan untuk terang-terangan mengakui orientasi seksualnya. Alasan mereka pun hampir seragam yaitu demi keselamatan. Indonesia memang belum memiliki hukum yang sah untuk melindungi dan mengakui keberadaan LGBT, terikat dengan norma-norma adat istiadat serta agama yang secara umum tidak mengakui keberadaan LGBT walaupun ada sebagian kecil dari budaya Indonesia yang memiliki pengakuan terhadap keberadaan LGBT.

Tahun 2014, ketika tampuk pemerintahan berganti, tak sedikit bagian dari LGBT yang berharap kepada calon pemimpin mereka peka terhadap keberagaman dan menjunjung tinggi sikap toleransi. Jokowi yang pada saat itu digadang-gadang sebagai sosok yang dapat mempromosikan pluralisme dan toleransi sedikit banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun 2 tahun setelah Jokowi terpilih, sikap intoleran tetap saja terjadi. Bukan hanya terhadap LGBT melainkan hampir seluruh kaum minoritas di Indonesia menghadapi perlakuan yang sama. Ketika para “bawahannya” bersikap intoleran, bahkan ikut mengipas bara kebencian, Jokowi memilih bersikap diam.

Entah apa dibalik diamnya Jokowi pada waktu itu, ketika dihadapkan pada masalah intoleransi terhadap keberagaman di indonesia. Padahal di saat-saat seperti ini kaum minoritas yang selama ini tertindas membutuhkan pembuktian dari janji-janji selama kampanye Jokowi. Harapan mereka bukan sekedar janji manis penghias bibir yang mengobral surga. Tak sedikit kalangan yang menganggap Jokowi gagal dalam mempromosikan pluralisme dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang beragam, terutama aktivis-aktivis keberagaman yang memperjuangkan hak-hak minoritas yang selama ini tertindas. Seharusnya Jokowi bisa meredam sikap-sikap intoleran setidaknya yang dihembuskan para ”bawahannya”. Hal ini diartikan oleh sebagian besar kalangan bahwa pemerintah lepas tangan terhadap masalah intoleransi terhadap keberagaman.

Sedikit angin segar berhembus ketika akhirnya Jokowi mengucap sepatah kata, setidaknya ini menunjukkan sikapnya terhadap isu panas tentang keberagaman saat ini. Walaupun belum secara resmi tapi akhirnya ada pernyataan bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap kaum minoritas di indonesia dan jika ada yang terancam karena seksualitasnya, polisi harus bertindak melindungi mereka. Namun selain menyatakan bahwa Indonesia menghormati HAM, Jokowi juga mengingatkan bahwa Indonesia juga “terikat” oleh norma-norma sosial yang sangat kuat. Jokowi juga mengaku bahwa dia tidak mampu melarang pihak-pihak yang melakukan aksi penolakan terhadap LGBT ataupun kaum minoritas lainnya. Berdalih Indonesia adalah negara demokrasi dan siapapun berhak melakukan aksi mengeluarkan pendapat, Jokowi hanya mampu menghimbau seluruh lapisan masyarakat agar ikut mendinginkan suasana dan tidak ikut terlibat melakukan tindakan anarkis.

Namun apa yang terjadi bila institusi pemerintah seolah mendukung tindakan pendiskriminasian tersebut? Beberapa bulan terakhir Mahkamah Konstitusi menyidangkan perkara kriminalisasi LGBT. Kedua kubu pro dan kontra saling beradu argumen pantas atau tidak pantas LGBT dikriminalisasi. Tapi Apakah Jokowi bisa menjamin keamanan LGBT di Indonesia seandainya terjadi pengkriminalisasian LGBT? Karena ketika sebuah pasal yang mendiskriminasikan kaum minoritas disahkan,  kemungkinan besar masyarakat akan tersulut oleh kelompok-kelompok intoleran untu melakukan tindakan main hakim sendiri. Dan apakah etis jika negara ikut masuk ke dalam kamar tidur dan mencampuri “urusan ranjang” warganya?

Bagaimana dengan korban-korban dari kaum minoritas yang terlanjur menderita? Sampai sekarang belum ada sikap tegas dari pemerintah atau setidaknya penunjukan sikap dari Jokowi kepada mereka. Bagaimana nasib santri di pondok pesantren waria di Yogya?  Kemana lagi mereka harus belajar agama? Bagaimana nasib 2 orang lelaki yang ditangkap polisi karena memposting foto mereka menunjukkan rasa sayang di laman facebook milik mereka? Jika Jokowi menyebut polisi harus melindungi orang yang terdiskriminasi, bagaimana nasib penghuni kost yang terpaksa pindah karena sejumlah polisi memanjat tembok kamar mereka karena curiga mereka adalah bagian dari LGBT? Sementara yang lain hanya mendapatkan kembali “janji manis” bahwa di Indonesia tidak ada diskriminasi untuk minoritas dan sampai detik ini masih belum ada bukti dimana perlindungan itu ketika kelompok-kelompok intoleran melancarkan aksinya. Para korban ini terpaksa menyingkir demi keselamatan, tanpa ada kejelasan siapa dan apa yang dilakukan untuk melindungi mereka.