Oleh: Wisesa Wirayuda
SuaraKita.org – Sabtu kemarin, 29 Oktober 2016, Suara Kita mengundang Asfinawati, S.H., yang seorang pengacara dari Komnas Perempuan untuk memberika update terbaru tentang apa yang terjadi di Mahkamar Konstitusi tentang Judicial Review yang diajukan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Ada beberapa pasal yang disorot dalam persidangan tersebut, pertama perluasan makna perkosaan yang tadinya hanya untuk perempuan menjadi untuk laki-laki dan perempuan, kedua perluasan definisi zina, dan yang ketiga adalah kriminalisasi terhadap homoseksual.
“Ada tiga pasal, yang pertama pasal 284. Mereka ingin menghilangkan kata ‘di dalam perkawinan’. Kalau pasal-pasal ini dikabulkan, polisi-polisi bisa masuk ke hotel, kos-kosan, untuk mencari orang yang melanggar pasal ini. Orang-orang yang juga menikah di bawah tangan atau sirih akan kena, karena pernikahannya tidak dianggap sah oleh negara. Yang kedua adalah pasal 285, tentang pencabulan terhadap perempuan, mereka ingin menghapus kata ‘perempuan’, sehingga laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan bisa dikenakan pasal ini. Yang ketiga, mereka juga ingin menghapus di 292 KUHP kata ‘anak’ sehingga orang yang sama-sama dewasa juga akan kena.” Tutur Asfina.
Seorang penanya bernama Fajar mengatakan, “Tadi saya mendengar ada kata-kata ‘hukum itu berhenti di depan kamar tidur’, tapi bukankah itu sudah terjadi seperti penggrebekan dan lain-lain?”
“Benar, tanpa hukum saja itu sudah terjadi, digrebek, dipermalukan di depan umum, masuk koran, padahal itu tidak ada landasan hukumnya. Jadi pada akhirnya mereka hanya dikembalikan ke keluarganya, atau ke kelurahan disuruh tanda tangan. Jadi bayangkan ketika pasal ini disahkan pasti akan terjadi pengejaran. Sebetulnya hukum pidana itu tidak bisa mengurusi hal-hal yang sangat privat yang sebetulnya kerugiannya tidak nyata. Pertanyaannya, jika ada yang melakukan seks di luar pernikahan, mau itu sesama jenis atau beda jenis kelamin, siapa yang dirugikan? Tidak ada. Ada yang mengatakan bahwa hubungan seks sesama jenis itu adalah sumber beberapa penyakit, namun itu juga ditemukan pada hubungan seks yang beda jenis. Kita bisa berdebat panjang mengenai ‘kebudayaan timur’, ‘kesucian’, dan lain-lain. Namun pada dasarnya tidak ada yang rugi.” Jawab Asfina.
“Saya kemarin mendengar berita tentang pak Jokowi yang tidak masalah dengan keberadaan LGBT. Nah, jika Presiden sudah berbicara seperti itu, mengapa ada hukum yang justru mengkriminalkan kelompok LGBT?” tanya Anna, salah satu peserta yang hadir.
“Di undang-undang kan tidak ada ‘hanya untuk heteroseksual’, ‘hanya untuk orang yang berkulit putih’, atau ‘hanya untuk rambut lurus’, melainkan ‘seluruh bangsa Indonesia’. Jadi sebenarnya jika Indonesia mau menyeragamkan, dan kemudian dihukum yang berbeda, dia sebetulnya sudah melukai cita-cita pendirian negara itu sendiri. Bahkan sebenarnya di undang-undang HAM no.39 tahun 1999 mengatakan bahwa ‘tidak ada diskriminasi atas dasar apapun’.”
“Apakah ada lembaga yang non-Islam yang menjadi pihak pemohon?” Seorang penanya lain bernama Anta.
“Sebagai pemohon? Tidak ada.” Kata Asfina singkat. “Sebenarnya pihak pemohon ini, bagi saya, adalah kelompok tertentu yang sudah kelihatan politik kelompoknya, dan bagi saya itu bukan wajah Islam keseluruhan. Jadi ini hanya pilihan politik kelompok tertentu yang memakai atribut agama tertentu. Sidang MK ini juga sebenarnya menarik untuk disimak, karena ada hakim yang mengatakan bahwa HIV itu menular jika duduk bersebelahan, atau makan bersama. Banyak sekali karangan, opini, dan khayalan yang tanpa landasan ilmiah. Banyak sekali hal-hal yang ganjil. Pemohon itu tidak bisa membedakan mana hubungan seks yang kekerasan dan paksaan, dengan yang konsensual. Kemarin MUI juga mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pancasila, yang sila pertamanya itu Ketuhanan yang Maha Esa, sehingga menurut mereka hukum di Indonesia itu harus sesuai dengan agama, terutama Islam seperti yang mereka sebutkan. Padahal kata Ketuhanan itu bukan berarti Tuhan, dan sila-sila yang lain itu bukan lah dayang-dayang dari sila yang pertama. Tidak isa seperti itu.”
Penanya lain bernama Yudi, “Ada tidak contoh negara-negara yang sama seperti kita?”
“Pemohon sebenarnya di sisi lain menempuh jalur yang resmi, sehingga pada titik tersebut pemohon ini harus kita hargai. Mereka membuka percakapan publik, dan seharusnya ada pihak yang ‘waras’ yaitu hakim-hakim itu. Berbeda dengan di Pakistan, penulis saja ditembak di pinggir jalan. Ini adalah contoh yang buruk.” jawab Asfina.
Teguh, sebagai moderator pun bertanya, “Hakim kan pernah bertanya, ‘bagaimana caranya mengajari anak-anak untuk tidak berzina jika hukum yang melarang itu tidak ada?’ jadi menurutnya ada kekosongan hukum di sana. Itu mungkin bisa dijelaskan ke saya dan ke temen-temen di sini.”
Asfina menjawab, “Serendah-rendahnya moral orang itu adalah melakukan sesuatu yang baik jika ada hukumannya. Kita baru memakai helm jika hanya ada polisi. Orang Indonesia itu sebenarnya logika moralnya sudah hancur karena mereka sudah terbiasa dikekang selama bertahun-tahun (masa orde baru -Red). Kita seolah sudah terbiasa untuk menuruti hukum jika ada yang mengamati saja. Hanya kebebasan lah yang bisa membuat moral manusia menjadi dewasa. Menurut saya, sangat-sangat berbahaya untuk mengatur moralitas yang tidak merugikan orang lain ke dalam hukum.”
Menurut Asfina, proses persidangan di MK itu sebetulnya mendewasakan, “Kita berdebat hal-hal yang mendasar tanpa timpuk-timpukkan, atau tidak ada yang dipukul. Itu kan yang jarang dilakukan, berarti sekarang kan tinggal hakim-hakimnya aja.”
Sebagai penutup Bincang Tokoh kali ini, Asfina mnyampaikan beberapa poin lagi, “Saya percaya begini, dalam setiap masalah dan kesempitan sebetulnya selalu ada peluang. Jadi kapan lagi? Teman-teman LGBT dan kelompok minoritas lain bisa menyuarakan diskriminasi yang dialaminya tanpa ditimpuk, tanpa mengalami kekerasan selain di MK. Krena di MK itu sangat ketat. Ini ruang yang bisa kita pakai. Debat-debat ini bisa semakin membuat kita tahu sesungguhnya orang-orang yang ingin mengubah negara kita ini menggunakan jalur-jalur apa, dan menurut saya, ini adalah tugas sejarah kita semua. Karena pasti ada alasan mengapa kita berumpul hari ini, kita tidak terlahir untuk makan, menjadi tua, lalu mati deh.“