Oleh : Hartoyo*
SuaraKita.org – Seperti manusia lainnya, saya tidak pernah meminta dilahirkan sebagai apa. Apakah akan berpenis, bervagina, beragama Islam atau tidak, bersuku dan bahasa apa. Termasuk negeri dimana saya pertama sekali harus hidup. Semua “by design” pihak lain. Apakah itu dari Tuhan (bagi yang percaya Tuhan) atau orang tua kita. Ada sesuatu yang mengontrol yang kita sendiri tak bisa mengontrolnya, akan seperti apa diri kita. Termasuk perihal orientasi seksual, apakah akan menjadi homoseksual ataupun heteroseksual, atau yang lainnya.
Kadang ada hal sulit yang kita pikirkan kenapa saya menjadi seorang yang berpenis, laki-laki feminin dan punya ketertarikan pada laki laki dengan tipe yang cerdas dengan sedikit berkulit hitam. Semua seakan-akan mengalir begitu saja dalam proses hidup saya. Tetapi karena identitas itulah saya atau kita harus berhadapan pada persoalan-persoalan hidup.
Lahir dan besar dalam keluarga Jawa, muslim Muhammadiyah dan menetap lama di wilayah Binjai, Sumatera Utara membuat saya tidak cukup banyak mendapatkan informasi tentang diri diriku sendiri. Sejak kecil saya tumbuh mungkin sama dengan anak-anak lain. Tetapi rupanya ada perbedaan yang saya rasakan dengan anak-anak yang lain, mampu mencintai laki-laki.
Awalnya saya tidak pernah meyadari bahwa diriku berbeda dengan yang lain, sehingga ketika ditanya seseorang, siapa pacar saya, dengan cepat saya mengatakan bahwa saya mencintai laki-laki bukan perempuan. Ungkapan itu begitu saja mengalir saya ucapkan tanpa ada rasa takut dan beban. Karena saat itu saya tidak mengetahui bahwa laki-laki mencintai laki-laki sebagai sesuatu yang “salah”.
Saya mungkin hampir sama dengan anak-anak lainnya, rasa cinta itu muncul dan tumbuh begitu saja tanpa pernah tahu kapan hadir. Termasuk rasa cinta secara seksual hampir tak pernah berubah dalam hidupku. Gejolak keinginan untuk mecintai laki-laki terus tumbuh walau rasa itu pernah saya “bunuh”.
Awalnya rasa itu saya anggap hal yang wajar, ketika berumur 11 tahun (kelas 4 SD) untuk pertama kalinya saya merasakan sesuatu yang sangat bahagia, karena untuk pertama sekali bersetubuh dengan seorang laki-laki dewasa. Ingat, ini bukan praktek paksaan orang dewasa kepada anak-anak, tetapi ini praktek “pemaksaan” anak terhadap orang dewasa. Karena bukan orang dewasa tersebut yang pro aktif tetapi justru sang anak itu yang mengingingkan terjadinya praktek sejenis tersebut.
Mungkin kalau dalam konteks sekarang, orang dewasa tersebut akan dikenakan sanksi pelanggaran terhadap hak anak. Padahal saat itu justru saya yang sangat agresif dan lebih “eksploitatif” pada sang orang dewasa tersebut. Dari pengalaman itulah, saya selalu bertanya, apakah seorang anak tidak berhak menikmati seksualitasnya? Bagaimana kasusnya ketika seperti yang saya alami?
Rasa ingin dicintai oleh seorang laki-laki terus tumbuh pada diri saya. Tetapi kemudian saya pelan-pelan kubur ketika pertama sekali mengetahui bahwa mencintai sejenis sesuatu yang dilarang oleh agama. Saat itu ketika sekolah menengah pertama (SMP). Masa itulah mulai menutup diri dengan rapat kepada lingkungan sekitar, termasuk dengan kawan-kawan sekolah. Gejolak cinta dan seksualitas anak remaja, saya bunuh dan kubur dalam-dalam. Padahal ketika teman-teman saya mampu dengan bebas mengekspresikan cintanya.
Tapi justru rasa minder pada pihak lain terus muncul. Apalagi dengan penampilan diri saya sebagai laki-laki yang feminin. Bullying sebagai banci, bencong, wadam terus saya dapat ketika disekolah. Sehingga moment-moment sekolah di SMP dan SMA sebagai sesuatu yang sangat mengerikan, terutama enam bulan pertama masuk sekolah. Situasi ini sangat memberi pengaruh besar pada hidup saya karena menjadi tak mampu berkembang dan beraktivitas secara bebas di sekolah, seperti aktif di pengurus OSIS misalnya. Rasa minder dan ketakutan dihina atau di bullying membuat saya memilih untuk tidak mau bergabung di kegiatan apapun di sekolah. Belum lagi harus berhadapan dengan kegiatan-kegiatan olah raga di sekolah, guru olah raga selalu membedakan kemampuan siswa secara biner, laki dan perempuan. Aktivitas laki-laki akan diminta melakukan hal-hal yang lebih berat sedangkan perempuan lebih ringan. Untung saya mempunyai kemampuan berlari lebih baik dari yang lain. Selain kemampuan saya menguasai bidang ilmu matematika, bidang yang banyak anak tidak menguasai. Karena pelajaran itulah biasanya sedikit membantu saya menghubungkan dengan teman-teman yang lain sehingga semuanya sedikit menjadi cair.
Akibat hidup yang sulit tumbuh kembang dengan apa yang saya suka dan minati. Ada tembok besar yang sulit saya tembus karena sistem yang menghadang tumbuh kembangku. Keinginan dan jiwa seni yang ada dalam diri saya sulit tumbuh dengan baik pada hidup saya. Keinginan menjadi seorang penari traditional, designer hanya bisa saya mimpikan dan bayangkan sendiri saat itu. Semua tak mungkin saya bisa wujudkan karena sistem yang sulit saya lawan. Belum lagi keluarga juga tidak memahami kekhasan saya sebagai sesuatu yang punya potensial sendiri.
Tumbuh dengan tekanan disana sini sebagai laki-laki feminin bukan perihal yang mudah. Pencarian dan pencarian terus dilakukan. Bahkan pada titik putus asa, kenapa saya berbeda dengan yang lain? Semua itu terus saya pendam. Ketika kuliah ada rencana menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Tujuannya cuma satu, berubah menjadi heteroseksual dan kemudian menikah secara heteroseksual. Hampir lima tahun tetapi rasa itu seperti hubungan persahabatan biasa saja. Tak ada rasa secara seksual saya rasakan. Semuanya hambar tanpa ada “magnet” secara seksual pada diri saya pada sang kekasih. Akhirnya saya harus berani mengakhiri hubungan itu. Alasannya karena kekasih saya juga berhak untuk menjalani hidup bersama yang lain. Kebingungan itu dan pergulatan hidup terus saya jalani, dari mulai SMP sampai selesai study Sarjana di Banda Aceh. Hampir separuh hidup saya saya habiskan untuk melindungi, menutupi dan mempertanyakan seksualitas sendiri. Padahal jika energi itu digunakan untuk hal yang produktif, mungkin saya akan lebih besar bisa berkontribusi pada bangsa ini.
Tahun 2001 mungkin bisa dikatakan pintu masuk saya memasuki dunia baru, dunia yang luas dalam melihat dunia. Pada saat itu saya diterima disebuah organisasi sosial dari Amerika yang bekerja untuk pemberdayaan masyarakat pedesaan. Padahal saya sendiri sama sekali buta soal organisasi, tidak punya pengetahuan sama sekali tentang gerakan sosial dan organisasi sosial, alasannya seperti yang saya ungkapkan diatas. Ada rasa minder ketika harus berhubungan dengan orang baru. Melalui lembaga sosial itulah, Heifer International saya akhirnya bersentuhan pada isu-isu keberagaman maupun gender. Sesuatu yang tak pernah terbayang dalam hidup saya. Inilah titik balik hidupku melihat diri maupun dunia yang tidak hitam putih.
Berbagai refleksi hidup, diskusi dan buku menjadi teman sehari-hari saya bekerja. Dari situlah pelan tapi pasti saya bersentuhan dengan isu-isu seksualitas dan keberagaman agama. Isu yang selama ini “menghantui” hidup saya, sebagai gay yang pendosa. Dunia LSM membuat saya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini saya cari dan bingungkan. Pelan tapi pasti saya mulai bisa urai diri saya sendiri dan mencari tahu, menjawab ketakutan-ketakutan akan doktrin agama tentang homoseksual. Berbagai tulisan-tulisan pemikir Islam progresif, seperti website Islam Liberal maupun Jurnal Perempuan menjadi salah satu rujukan yang setiap hari “wajib” untuk dibaca. Dari situlah saya berkenalan melalui tulisan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan lebih terbuka.
Sampai akhirnya ditahun 2004 saya mulai menemukan pola pikir diri saya sendiri. Saya seperti menemukan hidup baru saya sebagai laki-laki gay yang muslim. Sesuatu yang selama ini saya cari bertahun-tahun, akhirnya mulai terungkap siapa saya. Sampai saya mendalami bidang sosiologi membuat saya semakin yakin, bahwa apa yang terjadi pada diri saya dan masyarakat ada pengaruh besar dari kontruksi. Ruang politik kekuasaan. Termasuk soal seksualitas saya yang dihinakan itu. Itu semua orang publik yang harus saya rebut dan wacanakan.
Tetapi penemuan itu tidak serta merta membebaskan saya dari kekerasan dan diskriminasi dari lingkungan sosial. Justru saya harus menghadapi sesuatu yang sangat sulit. Tahun 2007, saya mengalami pengalaman yang paling meyakitkan dalam hidup saya. Sebagai gay yang telah menemukan dirinya, mengalami kekerasan dan perkosaan seksual oleh masyarakat dan aparat kepolisian di Banda Aceh. Saya dan pasangan sejenis saya dipermalukan didepan publik dengan cara ditelanjangi, dipaksa oral, dikencingi, ditodong senjata, diguyur air. Polisi dan masyarakat marah karena saya memaduh kasih sejenis ditanah serambi Mekkah. Hujatan sebagai pihak yang mengotori kesucian Aceh dilontarkan kepada kami. Mereka merasa terhina atas seksualitas saya, sehingga mereka merasa punya hak melakukan kekerasan dan perkosaan pada kami.
Kejadian itulah yang memutuskan saya akhirnya harus berjuang pada isu hak-hak LGBT. Kejadian itulah yang memutuskan saya untuk meninggalkan bidang pemberdayaan bagi peternak kecil dengan berganti haluan pada isu seksualitas. Kejadian itu juga yang membuat saya harus pindah ke Jakarta, sesuatu yang belum pernah saya rencanakan sebelumnya. Dari situlah saya mulai merintis dari awal sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT. Pikiran hanya satu, agar apa yang saya alami, kekerasan dan perkosaan itu tidak saya dan kawan-kawan LGBT alami lagi di Indonesia.
Perjuangan untuk hak-hak setaraan bukan sebuah perjuangan yang mudah, kalau selama ini bekerja untuk isu petani, tidak ada tekanan sosial. Bahkan dianggap sebagai “hero” oleh publik. Tetapi ketika bekerja pada isu seksualitas, lekatkan amoral ditempelkan pada saya.
Saya sadar bahwa ini sedang bertarung untuk melawan dan merebut sistem yang sangat homophobia sehingga perlu saya perjuangkan. Baik itu pandangan agama maupun sistem sosial politik negeri ini. Kesulitan dan tantangan itulah justru menjadi tantangan hidup sebagai warga dunia. Karena saya pada titik kesimpulan, “Sehormat-hormatnya manusia, ketika dia berani jujur tentang hidupnya sendiri dan berkontribusi pada peradaban yang baik pada manusia lainnya”.
Karena apa yang terjadi di negara-negara yang demokratis, adil dan setara, seperti Eropa dan Amerika, saya pikir itu tidak datang tiba-tiba, semua perlu diperjuangankan. Semua perlu pengorbanan dengan segala sumberdaya, baik waktu maupun sumberdaya lainnya.
Karena perubahan hanya bisa terjadi kalau makin banyak orang-orang yang mau meyerahkan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan keadilan itu. Baik itu kelompok LGBT sendiri, kelompok agama, budayawan, tokoh masyarakat, masyarakat maupun politikus.
Karena saya berkeyakinan bahwa keadilan itu tidak pernah datang dari langit, tetapi harus diperjuangkan. Untuk itulah mengapa saya ada diruangan ini, berbagi pengalaman hidup sebagai seorang gay muslim yang sekaligus menjadi warga negara Indonesia. Terima kasih!
*Ketua Perkumpulan Suara Kita
Email : hartoyomdn@gmail.com
Twitter : @hartoyomdn
Kisah ini pernah dibawakan penulis di acara seminar PGI wilayah Jawa Barat yang membahas kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), Bandung 19 September 2016
Tonton videonya disini