Oleh: Dewi Nova*
SuaraKita.org – Dahan-dahan Kemboja memenuhi pandangan jendela kamar, sebagian pucuk-pucuknya berdesakan dengan daun-daun Kemuning yang juga telah menjadi pohon tinggi dan rimbun. Pagi sudah pergi bersama kekasihku. Mengenakan tuksedo merah hati dan wangi parfum, ia membangunkanku untuk memberi kecupan. Setiap kali kecupannya hinggap, aku berdoa untuk keselamatan dan rawatan pada cita-cita hidupnya. Ketika deru kendaraannya meninggalkan pelataraan rumah, aku menarik lagi selimut, melanjutkan tidur pagi sambil membiarkan udara yang paling bersih datang dari jendela yang terbuka lebar.
Tak kurang dari sepuluh ribu pagi kami lampaui, sejak bunga Kemboja itu setinggi betis hingga kini telah lebih tinggi dari atap rumah. Aku terpekur di atas tempat tidur yang sisi dindingnya terbuat dari cermin. Kupandangi kedua payudaraku yang menurun dan tatapan mataku yang tenang, sebentar lagi tubuh ini berumur 40. Sebelum umur 30, kami sering bercinta di depan cermin ini hingga tak ada lagi tenaga yang tersisa. Tidakah itu cinta yang berkobar pada waktu yang setepat-tepatnya?
***
Harinya Jum’at, malam di Jakarta, hujan rintik-rintik, kami memasuki jalan kecil di perkampungan.
“Biasanya di sini macet, kali ini lancar,” kata kekasihku. Malam itu jalanan bahkan lengang.
Di persimpangan jalan kulihat dua laki-laki muda mengenakan topi haji putih dengan tegas memberhentikan mobil kami. Ia menganjurkan untuk memilih jalan lain, yang mengakibatkan kami berputar lebih jauh, walau tujuan kami tinggal beberapa meter.
“Jalan ditutup sedang ada pengajian,” timpal lelaki yang satunya. Kekasihku dengan santun mengikuti anjuran mereka seperti tidak terjadi sesuatu.
“Aku tidak mengerti bagaimana ritual ibadah dengan semena-mena menutup layanan publik. Bagaimana jika di mobil ini ada perempuan yang akan melahirkan? Atau orang sakit yang butuh segera pertolongan?” protesku.
“Tapi kan kenyataannya tak ada perempuan hamil atau orang sakit di mobil ini,” sambut kekasihku.
“Dan kenyataannya gestur mereka tidak ingin tahu keadaan di dalam mobil, tidak ingin tahu pendapat kita, selain intruksi mereka,” kataku.
“Sudahlah, memangnya kita mau berdebat dengan orang-orang itu. Aku tidak mau cari ribut dengan kelompok-kelompok pengajian seperti itu,” ujar kekasihku ketus.
“Cari ribut? Siapa yang bikin ribut? Bukankah mereka yang telah merampas layanan publik? Kita berislam sejak lahir, zaman dulu tak ada orang mengaji sampai tutup jalan, lalu dijaga orang-orang yang lebih berkuasa dari polisi lalu lintas,” timpalku.
“Mereka itu kan orang-orang yang ditugaskan, buang-buang waktu juga berdebat dengan mereka. Sudahlan tak usah terlalu kritis dengan mereka,” ujar kekasihku.
Kata-kata terlalu kritis itu menampar perasaanku, aku menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan percakapan.
“Aku tak mengerti mengapa kamu dan banyak orang membiarkan ini terus berlangsung,” kecewaku.
“Sudahlah…, kita hanya ingin segera sampai di rumah dan beristirahat.”
Setelah itu kami terdiam. Kekasihku meningkatkan laju kecepatan berkendaraan sesuai dengan tingkat kekesalannya padaku. Air mataku menitik, andai energi kekesalan itu ia curahkan untuk menolak penutupan jalan tadi, ya andai… tak ditujukan padaku… andai…
Soal jalan ditutup itu, satu dari banyak ketegangan yang kami lalui beberapa tahun terakhir. Di petang yang lain, kami bersitegang soal anjuran berjilbab di kalangan PNS. Jilbab yang aku pahami sebagai reproduksi burka dan cadar yang merupakan budaya Arab sebelum Muhamad menyerukan ajaraan Islam. Jilbab yang juga diatur dan dianjurkan pada hadis nabi, kata kekasihku. Apakah selain tafsir tektual dari hadis itu, kamu belajar asal usulnya hadis itu lahir? Teknologi penggunaan bahasa Arab terkait hadis itu? Bolehkan aku mengimani tafsir yang lain? Tanyaku.
***
Sabtu pagi, waktu yang selalu kami tunggu. Kekasihku menyebutnya ‘hari untuk menakaliku.’ Aku tidak perlu merasakan wangi parum sambil terkantuk-kantuk, lalu menyaksikan kekasihku lenyap dilahap pekerjaan seperti pagi di hari kerja. Aku bisa berlindung di ketiaknya lebih lama. Ia memintaku memunggunginya, memelukku dari belakang dan ‘menakaliku’ hingga kami sama-sama terbangun dan bercinta dengan aroma Kemuning yang dibawa udara pagi.
Setelah itu kami sarapan di pasar kaget akhir pekan. Pecel Madiun pilihanku, lontong Betawi kesukaannya. Pusat jajan selalu ramai, anak-anak lalu lalang seperti belalang. Terima kasih kepada perusahaan-perusahaan yang meliburkan orang bekerja di hari Sabtu.
“Aku punya kabar baik, penghasilan kita akan bertambah,” ujar kekasihku sambil melahap sesendok terakhir ketupat lontongnya.
“Hari Sabtu yang diberkati,” sambutku hangat. “Aku juga punya kabar baik, resensi buku yang kutulis dimuat harian nasional, kita mesti beli korannya sebelum pulang,” timpalku tak sabar.
“Wow selamat ya,” katanya sambil mencubit hidungku.
“Ceritakanlah kabar gembiramu…”
“Hm… ya minimal kita punya dana tambahan untuk kredit rumah. Mulai minggu depan aku kerja paruh waktu di Parpol Beragama.”
Aku menahan diri untuk tidak berkomentar kecuali bertanya.
“Sebagai…?”
“Penasihat hukum mereka untuk persiapan pemilihan gubernur.”
Tenggorokanku rasanya tercekat, aku tak sanggup menghabiskan pecel Madiun yang tinggal seperempat piring.
“Aku harap kamu tidatk keberatan, ini cuma untuk nambah jumlah pelunasan kredit rumah kita.”
“Mereka membayarmu berapa?”
Kekasihku menyebutkan jumlahnya dan menambahkan penjelasan bahwa ia hanya akan bekerja untuk beberapa bulan. Kukira ia hanya ingin mengabarkan, karena ia pun tahu aku tidak akan bahagia dengan pekerjaannya kali ini.
Sepanjang perjalanan pulang aku menghitung honor yang akan diterima kekasihku dan kukalikan dengan jumlah bulan kontrak ia bekerja. Setelah jumlahnya kutemukan, aku berpikir keras untuk menghasilkan uang dalam jumlah yang sama dan durasi waktu yang sama. Aku mesti menulis dua kali lebih giat dan menambah jadwal kelas terapi menari.
Setiba di rumah kutatap lamat-lamat rumah tinggal yang kami cintai, halaman sempitnya yang telah kurubah jadi hutan kecil, lotus yang semakin tinggi dan katak terbang yang meninggalinya. Lalu wajah developer rentenir yang menghisap bunga tinggi setiap bulannya dan pemilik perusahaan tempat suamiku bekerja. Seseorang terkenal yang mengupah buruhnya serendah-rendahnya. Kemudian wajah Parpol Beragama yang menjadi bagian dari solusi.
Aku menyimpan gelisahku apalagi setelah kekasihku memintaku memilihkan DVD drama romantik, hiburan kami akhir pekan. Dia kekasih yang hebat dalam bercinta, kekasih yang berhasil membuatku berhenti di umur 30, tapi hari itu kelopak labiaku layu, katup senggamaku tertutup rapat. Mungkinkah aku bercinta dengan penasehat hukum parpol yang mendukung regulasi anti pornografi? Yang menangkap warga perempuan semau-maunya? Yang mencabut rasa aman teman sebangsa atas nama agama?
Sepotong Sabtu melayang sunyi.
“Kamu tak seperti dulu lagi, Sayang?” keluh kekasihku.
“Setelah berumur 30, eros tak lagi cukup, Sayang.” Jawabku.
“Apakah kamu tak lagi mencintaiku?” tanya kekasihku.
“Aku tetap mencintaimu dan terus mencintai hal-hal yang kuyakini dengan lebih baik…”
“Mengapa bisa serumit ini…uh…” kekasihku memelukku lembut, mengusap-usap rambutku, agar kami sama-sama tertidur.
***
Malamnya, langit biru bersih, bulan bundar cemerlang bertengger di pucuk pohon kemboja. Dan kami bertengkar di bawahnya, di atas pembaringaan yang telah menahun jadi biduk kami.
“Aku bisa membayarmu sebanyak mereka bayar!” Tentangku.
“Ini bukan soal bayaran saja, Sayang. Ini soal jaringan kerja, lagi pula aku tidak selamanya dengan mereka. Ini soal tak tis. Kamu tak bisa intervensi pekerjaanku sejauh itu.”
“Ini lebih dari soal pekerjaan, ini soal apa yang kuyakini dan aku mau kamu mendukungku. Mengapa aku merasa kamu selalu membela mereka?” jelasku.
“Mengapa kamu begitu membenci mereka? Kamu punya dendam apa dengan kelompok-kelompok Islam itu?”
Kami masih berhadap-hadapan di pembaringan, tapi kalimat terakhirnya telah membuat biduk ini pecah dan saling terhempas begitu jauh. Aku tak sanggup melanjutkan pertengkaran, dadaku sesak, hatiku rasanya dicingcang kecil-kecil.
“Aku butuh menenangkan diri dan membaca buku…” pamitku, sambil bergerak meninggalkan pembaringan.
“Sayang, jangan tinggalkan aku dalam keadaan kita seperti ini…” kekasihku menahan langkahku.
“Kau…. Kau.. memaksaku untuk melanjutkan pertengkaran ini?”
“Bukan begitu, maksudku kita mesti bicarakan ini lebih tenang. Tetaplah di sini, aku buatkan teh untuk kita ya?” bujuk kekasihku.
Aku menjatuhkan tubuh, memeluk guling erat-erat, memejamkan mataku membayangkan padang ilalang, tempat hanya ada aku, cinta dan Tuhan, lain tiada.
Tak lama kemudian, samar-samar suara teko menjerit, harum teh menyeruak kamar. Kekasihku membawa nampan berisi dua cangkir teh melati. Kami berhadap-hadapan menghitung tahun-tahun untuk saling mengerti, saling memberi ruang, berbagi makan dan atap dengan kembang-kembang cinta yang rimbun.
“Aku sangat kecewa dengan cara kamu memahamiku sebagai membenci mereka. Apakah aku pernah mengobarkan kebencian pada mereka? Apakah aku pernah melukai mereka?”
“Maafkan aku, pilihan kataku telah melukaimu…”
“Aku sangat takut membayangkan bagaimana kata membenci itu kamu pilih, pada perempuan yang kamu telah bercinta ribuan kali dengannya. Yang dengannya kamu hidup bertahun-tahun. Jika kamu saja berpikir begitu terhadapku, bagaimana dengan orang lain. Siapa yang mendesakmu untuk memilih kata yang begitu keliru dan melukaiku…” Tangisku pecah, kekasihku memelukku.
“Apakah jika aku punya pikiran berdikari yang berbeda dengan identitas kita dilahirkan lalu aku jadi pembenci? Apakah ini praktek berislam yang harus kita jalani?” Protesku.
Kekasihku menepuk-nepuk lembut punggungku. Lalu ia menawari kami untuk minum teh dulu.
“Aku tidak membenci mereka tapi aku marah. Mereka dan kelompok-kelompok itu telah semena-mena melakukan penafsiran tunggal, menginfiltrasikannya pada peraturan publik untuk membuat segregasi kami dan mereka. Kami yang beriman dan mereka yang harus dipaksa tobat. Jika kamu dan aku masih seorang muslim dan percaya pada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka aku marah bila aku dan kamu telah membiarkan ini terus berlangsung, melukai kehidupan banyak orang.”
“Iya ya, aku mengerti. Tapi aku juga marah setiap kali kita tak sependapat kamu memosisikan aku sebagai pembela mereka. Aku tidak pernah jadi pembela mereka. Aku hanya ingin jadi pekerja, ya bekerja dengan nyaman, menghidupi kita berdua. Aku lebih suka menghindari konflik…”
Penjelasan yang terakhir mengurai ketegangan kami selama ini. Satu harapan aku turunkan. Satu pengertian aku gantungkan.
“Maafkan aku juga… Ya..ya… kupikir kita memang memilih jalan yang beda yang tak bisa kita padukan. Aku akan belajar memahamimu dan terus berjalan dengan pilihanku,” sambutku.
Malam itu, aku merasa kapitalisme mencekikku lebih dari malam-malam sebelumnya dan rantai-rantai atas nama agama mengikat kedua kaki dan tanganku. Tetapi jiwaku baik-baik saja, karena ia tak terikat tubuhku. Dia hanya sedang belajar mengerti bahwa sejak malam ini, sepatut-patutnya ia akan terbang sendiri.
Kekasihku memberikan secangkir teh agar kuminum sebelum dingin. Pada cangkir keramik itu kujejaki kenangan nenek, seorang muslim Suni yang penuh cinta dan rendah hati, melampaui yang diajari kelompok ngajinya. Aku jadi mengerti keotentikan diri pada nurani akan terus merawatnya menjadi manusia yang utuh dengan dan tanpa ajaran kebenaran kelompok yang tak ada garanti kebenarannya.
Paginya kami tidur berpelukan, nafas kekasihku panjang-panjang, tidur yang tenang setelah percakapan yang penat. Tidurlah kekasihku yang kelas pekerja, yang katanya tak banyak pilihan, yang karenanya aku terus belajar menyintanya pada pilihan yang tak perlu serupa.
Pamulang, 17 Oktober 2016
*Dewi Nova lahir di perkebunan teh, Kabupaten Bandung, 19 November 1974. Menulis puisi, cerpen, esai sosial, liputan jurnalistik dan buku dokumentasi. Buku kumcernya Perempuan Kopi (Air Publisher – Pustaka Masyarakat Setara, 2012) dan antologi puisinya Burung-burung Bersayap (Jaringan Kebudayaan Rakyat, 2010). Puisi dan cerpennya terbit di harian Bali Post, Serambi Indonesia, Aceh Kita, Rumah Dunia, Suara kita dan Jurnal Perempuan. Saat ini ia tinggal di Kota Tangsel, Banten. Hubungi penulis melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.