LGBT Bukan Fenomena Baru
Tentu saja LGBT merupakan bagian dari sejarah manusia. Kitab Suci, baik Alkitab maupun al-Qur’an, mencatat keberadaan mereka. Dibaca sepintas, memang ada penolakan di sana. Tapi, bila dibaca lebih atentif, penolakan Kitab Suci tidak sedemikian dramatis seperti yang kita saksikan dalam reaksi masyarakat sekarang.
Literatur-literatur klasik membicarakan keberadaan mereka dengan begitu terbuka. Karya Ibnu Hazm (w.1064) Tawq al-Hamamah fi al-Ulfah wa al-Ullaf, misalnya, memuat banyak kisah percintaan sejenis dengan nada cukup santai. Membaca buku ini kita dibawa pada bentangan sejarah yang sangat terbuka dalam urusan cinta, termasuk cinta sejenis. Bahkan, salah satu bab dalam buku Ibnu Hazm itu ialah tentang para syuhada cinta, termasuk dua laki-laki yang saling mencintai.
Dari Ibnu Hazm kita mendapat kesan kuat bahwa praktik homoseks di era pra-modern lebih pervasif dari yang mungkin kita bayangkan. Ibnu Hazm bukan hanya mencatat nama-nama penguasa Muslim yang kerap menjalin cinta sejenis, tapi juga para pemikir ternama. Sebut, misalnya, Ibnu Bajjah yang di Eropa dikenal dengan nama “Avempace”. Filosof yang memperkenalkan filsafat Aristotle ke Spanyol ini menjadi inspirasi bagi filosof Muslim agung Ibnu Rusyd. Ibnu Bajjah, demikian dicatat Ibnu Hazm, adalah homoseksual.
Khaled El-Rouayheb, profesor di Universitas Harvard, menelusuri sikap kaum Muslim terhadap homoseksualitas sepanjang sejarah Islam masa pertengahan (pra-modern). Hasil penelitian yang dituangkan dalam Before Homosexuality in the Arab-Islamic World (2009) itu menyingkap fakta-fakta menarik. Yakni, antara tahun 1500-1800 homoseksualitas relatif diterima dan ditoleransi.
Pertanyaannya, kenapa sekarang masyarakat Muslim begitu membenci homoseks dan LGBT secara umum?
Ketika dalam salah satu tulisan saya mengajukan tafsir kisah Nabi Luth dalam al-Qur’an yang tidak serta merta mendiskreditkan kaum LGBT, respons atas tulisan itu begitu luas (dan kasar!). Seorang Dekan Fakultas di salah satu Universitas Islam Negeri mengaku ngefans tulisan-tulisan saya, tapi untuk kasus LGBT dia bilang, “I can’t follow you anymore.”
Sikap kawan seorang Dekan itu mengilustrasikan, seorang yang bisa dikatakan “liberal” sekalipun tampak konservatif dalam isu LGBT. Memang, LGBT bukan fenomena baru, yang baru ialah kebencian yang begitu tinggi hingga ke ubun-ubun. Seperti diteliti Prof. El-Rouayheb, hal itu tidak terjadi pada zaman pra-modern.
Karena itu, sejumlah sarjana mengaitkan kebencian masyarakat Dunia Ketiga terhadap LGBT dengan pengaruh dari kolonialisme. LGBT bertolak belakang dari citra maskulinitas dan kegagahan yang hendak ditampilkan kaum kolonial, yang akhirnya diadopsi kaum terjajah. Ironinya, negara-negara mantan penjajah itu kini sudah menoleransi LGBT sampai batas yang besar.
Saya tidak bermaksud menolak atau mengafirmasi teori di atas. Penjelasan lain ialah pengaruh dari otoritas Kitab Suci yang memperlakukan homoseksualitas sebagai biang kehancuran dan laknat. Boleh jadi pengaruh Kitab Suci memang ada. Saya tidak mengatakan penjelasan ini salah. Yang saya kira jelas salah ialah persepsi umum bahwa Kitab Suci melihat homoseksualitas sebagai kriminalitas dan perbuatan dosa yang begitu khusus sehingga perlu diperlakukan secara khusus pula.
Kalau Anda baca ayat-ayat Kitab Suci yang menggambarkan homoseksualitas, Anda akan temukan istilah-istilah yang juga digunakan untuk kasus-kasus lain. Tak lebih dari itu. Dengan kata lain, tidak ada perlakuan khusus terhadap homoseksualitas.
Mari saya uraikan poin ini sedikit lebih detail. Dari semua ayat al-Qur’an yang berbicara hubungan seks sejenis, kita dapat identifikasi sejumlah istilah yang diasosiasikan dengan dosa homoseks. Yakni, “fahisyah” (immoral), “syahwah” (nafsu keinginan), “musrifun” (berlebih-lebihan), “mujrimun” (pendosa).
Perlu segera dicatat, istilah-istilah itu juga digunakan al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan lain yang dipandang salah dan berdosa. Kata “fahisyah”, misalnya, digunakan dalam Q. 4:19 yang berbicara tentang bagaimana memperlakukan kaum perempuan/istri, termasuk yang melakukan perbuatan immoral (fahisyah).
Ayat 28 surat al-A’raf menyebutkan, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan fahisyah, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan fahisyah.”
Kata “syahwah” digunakan al-Qur’an dalam banyak konteks. Misalnya, Q. 4:14 menggunakan kata “syahwat” terkait kesukaan pada perempuan, anak-anak, harta-benda yang bertumpuk. Lihat juga Q. 19:59, 21:102, 34:54. Demikian juga dengan kata “musrifun” dan “mujrimun”. Makan dan minum berlebihan saja disebut musrifun (Q. 7:31).
Dengan demikian, dapat disimpulkan, tidak ada istilah yang secara khusus dikaitkan dengan homoseksualitas atau khusus untuk mengutuk hubungan seks sejenis. Istilah-istilah yang digunakan dalam kasus homoseksualitas juga digunakan dalam perbuatan-perbuatan lain. Sungguh aneh bahwa kebencian masyarakat terhadap homoseks dan perlakuan mereka terhadap LGBT secara umum begitu berlebih-lebihan. Jika al-Qur’an menganggap kaum homoseks sebagai musrifun, maka sikap masyarakat terhadap LGBT pun sebenarnya perbuatan musrifun yang setimpal bahkan lebih.
Semoga hakim-hakim Mahkamah Konstitusi yang mengadili uji materi KUHP dapat belajar dari al-Qur’an yang tidak memperlakukan kaum LGBT secara khusus. Mereka adalah manusia seperti umat lainnya. Kalau mereka melakukan perbuatan dosa, apakah ada manusia yang suci dan bebas dari dosa? Apabila hakim-hakim Mahkamah Konstitusi mendiskriminasi LGBT, mereka sesungguhnya telah bertindak melebihi Tuhan.
Sumber