Search
Close this search box.

[Liputan] Simbol Pluralisme dari Lasem

Oleh: Oriel Calosa*

SuaraKita.org – Ein Institut menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengadakan kegiatan Lasem Pluralism Trail, mencoba menggali keberagaman yang tercipta di Kota Lasem, Sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang masih masuk kedalam Kabupaten Rembang.

Lasem merupakan simbol kota “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem dan yang menarik adalah bagaimana akulturasi pedagang Tiongkok dan Pribumi mampu membaur menjadi satu kesatuan. Lao Sam atau Lasem adalah satu dari dua pangkalan tempat persinggahan armada Ceng Ho yang tak bisa kembali ke Tiongkok. Sam Po Toa-lang atau Semarang yang mereka pilih sebagai pangkalan pokok. Mereka mendapat perlindungan dari penguasa Tuban, Adipati Wilwatikta untuk mendirikan pangkalan di Lao Sam dan Sam Po Toa-lang. Dari dua pangkalan itu juga mereka melakukan perdagangan dengan Malaka hingga ke Timur Tengah.

Destinasi pertama yang dikunjungi oleh rombongan adalah Pasar Lasem yang merupakan simbul pembauran mereka yang Tiong Hoa dan pribumi dalam satu pasar yang masih memiliki beberapa bangunan kuno model arsitektur Tiongkok kuno dan juga Arsitektur Belanda. Perjalanan berlanjut ke “Persemayaman” Gie Yong Bio. Juru Kuncinya sendiri mengisahkan bahwa Gi Yong Bio bukan merupakan klenteng namun tempat untuk menghormati tiga leluhur Lasem: Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), Raden Panji Margono, dan Tan Kee Wie.

Raden Panji Margono sendiri adalah tokoh pahlawan yang ikut berperan serta menyelamatkan masyrakat dalam melawan VOC pada 1742-1750 sedangkan Gie Yong Bio sendiri dibangun pada 1780.

Kisah heroik Panji Margono juga dikisahkan oleh Sigit Witjaksono yang merupakan salah satu pengusaha Batik Lasem yang sudah turun temurun, akuluturasi bagaimana perkawinan campur juga dikisahkan Pak Sigit yang saat mendatangi rombongan sudah tertatih dengan tongkat penyangga karena usia yang telah mencapai 80 tahun namun ingatan tentang bagaimana bentuk akulturasi Tiong Hoa dan Pribumi begitu sangat hangat dan beliau mulai menuangkan filosofi Tiongkok dalam Batik Lasem karyanya.

Rombongan bergeser ke Pondok Pesantren Kauman yang dipimpin oleh Gus Zaim Ahmad Ma’soem dengan mengisahkan keakraban beliau dengan Pak Sigit Witjaksono yang menghadiahkan batik bertuliskan Mandarin dan cucu dari Pak Sigit yang mendapatkan pendidikan di Pesantren tersebut.

Perbincangan akrab mulai berlanjut dengan mengundang Pdt Tjahjadi Nugroho yang pernah bersahabat dengan mendiang Abdurahman Wahid, Gus Zaim menggarisbawahi bahwa kehadiran agama tak lain adalah untuk merayakan kedamaian, menyambung toleransi, saling menghargai, dan menjaga koeksistensi. Itulah pluralisme. Menjaga keutuhan sekaligus keunikan tiap individu dan keyakinannya. Pdt Tjahjadi sendiri meungkapkan bahwa “Perbedaan itu menjadikan orang pintar sedang beda pendapatan membuat kita perang.”

Ungkapan kesimpulan yang muncul pada proses dialog tersebut justru mengungkapkan “Bukan oleh-oleh yang kita peroleh, melainkan PR. Pekerjaan mengetengahkan visi keberagamaan yang toleran. Beragama yang menjunjung kedamaian.” Itulah catatan penutup Mas Aryanto (Direktur EIN Institute).


Hubungi penulis lewat akun Facebook-nya.