Oleh: Wisesa Wirayuda
SuaraKita.org – Hari Rabu, 21 September 2016, Aliansi Damai Tanpa Diskriminasi mengadakan diskusi mengenai keberagaman di Indonesia. Diskusi yang betempat di Kinosaurus ini menghadirkan dua orang pembicara yaitu Pendeta Albertus Patty yang seorang Teolog, dan Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Pembukaan diskusi kali ini, diawali dengan penyampaian Har Toyo mengenai kondisi sidang di Mahkamah Konstitusi. “Bagi yang mau datang, bisa langsung ke MK tinggal bawa KTP saja. Kita gak mau kan celana dalam kita diurusi oleh negara?” tuturnya.
Selanjutnya Saras Dewi sebagai moderator menyampaikan sebuah survey mengenai kondisi masyarakat kita sekarang yang cenderung kontra pada LGBT. “Intinya adalah kalu bisa saya bikin sedikit resume, 92,7% responden tidak setuju dengan perilaku LGBT, 92,9% mengatakan bahwa LGBT itu menyimpang. Dan ini dilakukan untuk sekitar 7000 orang responden. 93,4% mengatakan bahwa para orang tua resah dengan fenomena ini, dan 91,7% beraharap para pelakunya direhabilitasi. Pengusulnya adalah Ibu-ibu yang mungkin jenuh dengan pekerjaan domestik. Uh jahat sekali saya,” Diikuti dengan canda tawa dari peserta diskusi.
“Tapi bisa saya jelaskan profil dari para respondennya sendiri,” lanjut Saras Dewi, “63,5% perempuan, usianya dari 21 sampai 40, dominan anak-anak mudanya justru. Latar belakang pendidikannya 59,4% adalah Sarjana.”
Sebagai pembicara pertama, Pendeta Albertus Patty menyampaikan pandangannya. “Bagi saya melihat hasil survey ini ya biasa-biasa saja. Karena bagini, tahun 80-an itu gereja-gereja di Amerika menolak LGBT, namun beriringan dengan perkembangan teknologi dan zaman sekarang banyak gereja-gereja yang mendukung LGBT. Ini tergantung kita melihatnya sebagai bahaya atau sebagai kesempatan untuk mengedukasi.”
“Apakah agama itu selalu benar? Tidak juga. Dulu Galileo Galilei diktakan sesat oleh gereja ketika mengatakan Bumi itu bulat bukan datar, bahwa bumi itu mengelilingi matahari bukan matahari yang mengelilingi bumi. Setelah ilmu pengetahuan berkembang, gereja sadar bahwa mereka salah. Itu baru satu. Dulu juga pernah perempuan diperlakukan tidak adil. Bahkan perempuan dibilang setengah manusia. Bahkan doanya orang Yahudi ketika pagi itu, ‘terima kasih Tuhan saya tidak dilahirkan sebagai perempuan’. Tapi ketika peradaban berkembang, ternyata yang bener adalah setara. Kita juga punya sejarah menjajah kaum kulit hitam, dengan dalil-dalil agama yang mengatakan bahwa mereka berdosa. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Bagi saya agama itu semestinya kalau kamu tidak tahu lebih baik diam. Jangan sampai nanti yang didiskriminasi menderita duluan, lebih baik diam dulu lah. Jangan sampe ini juga terjadi sama kelopok LGBT.”
Pembicara selanjutnya, Rukka Sombolinggi menyampaikan keberagaman gender dalam kehidupan adat di Indonesia. “Di kampung saya ada pendeta yang disebut dengan istilah Toburake, dia adalah secara fisik laki-laki, tapi dia spiritnya itu campuran laki-laki dan perempuan. Sebuah ritual dianggap tidak sah jika tanpa kehadiran pendeta ini.”
Lebih lanjutnya, Rukka Sombilinggi, menyampaikan kondisi masyarakat adat sekarang yang sebenarnya sedang dijajah oleh ‘agama import’. “Saya menyebutnya itu agama import, karena bukan berasal dari Indonesia. Biasanya saya suka bertanya pada masyarakat adat itu, ‘Siapa di sini yang sudah agama import?’. Karena mereka tidak tau apa agama asli mereka. Kebanyakan sekarang agama asli mereka hanya menjadi pajangan saja. Ditambah lagi dengan adanya pariwisata, mereka dijadikan objek tontonan. Tidak ada tempat untuk masyarakat adat di negara ini. Kalau masyarakat ingin diakui, mereka harus memiliki KTP, tanpa KTP mereka tidak akan bisa memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan lain-lain.”
Baca juga: [Liputan] Bedah Buku Porn(o) Tour: Ketika Wisata Tanpa Cinta
“Saya juga bingung dengan istilah gender ketiga. Mengapa ditempatkan di posisi ketiga? kenapa tidak pertama? Mengapa laki-laki yang pertama, perempuan yang kedua?” tuturnya menanggapi istilah gender ketiga.
Selanjutnya perwakilan dari Sejuk memaparkan kondisi isu-isu keberagaman, khususnya LGBT di media. “Sekarang ini, kita justru memiliki banyak peluang di media online. Karena teman-teman baru bangun tidur sudah melihat Facebook, Whatsapp dan yang lainnya. Itu sebenarnya peluang teman-teman ketika ingin mengampanyekan isu-isu keberagaman. Media mainstream sekarang ini cara pemberitaannya lebih naratif, live report, dan panjang-panjang. Minimal mereka memberitakan secara netral.”
“Jika media justru menyebarkan kebencian, kita sebagai masyarakat sipil bisa apa sih?” tanya Moderator kepada perwakilan Sejuk. “Kita di media punya dewan pers, kode etik dan pedoman-pedoman, di sana kita diberikan peluang untuk meminta hak jawab dan meminta koreksi.” jawab perwakilan dari Sejuk.
Acara diakhiri dengan pembacaan Puisi oleh Shinta Miranda dan Helga Inneke juga beberapa lagu dari Mian Tiara beriringan dengan gelapnya langit malam sehabis hujan.
Yuk! lengkapi photo profile Facebook-mu dengan hashtag #BeragamItuIndah di sini.