Oleh: Wisesa Wirayuda
SuaraKita.org – Sabtu, 27 Agustus 2016, Suara Kita mengundang Ricky Gunawan, pendiri dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) untuk membicarakan pro-kontra hukuman mati di Indonesia ditemani beberapa sajian jajanan pasar, dan rintik hujan.
Sampai detik ini, ada 140 negara yang telah menghapus hukuman mati secara de-jure maupun de-facto, dan ada 58 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk ke dalam 7 negara yang rutin melakukan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika. Angka-angka tersebut terpapar jelas dalam penjelasan Ricky.
Mengawali diskusi, Ricky menyampaikan alasan-alasan mengapa hukuman mati haruslah dihapuskan. Pertama, Sistem hukum yang tidak sempurna dan eksekusi mati itu tidak dapat ditarik kemabali. “Hukum yang dibuat oleh manusia, tentu memiliki kecacatan, dan dalam kecacatan itu bisa saja terjadi salah hukum. Jika sudah mati, kita tidak bisa menghidupkan kembali orang tersebut.”
Alasan kedua, Tidak sesuai dengan filosofi pemidanaan modern dan menihilkan fungsi pemsyarakatan. “Jadi untuk apa diterapi atau rehabilitas jika ujung-ujungnya dia akan dihukum mati?” tanya Ricky.
Yang ketiga, mengapa kita harus menolak hukuman mati adalah karena hukuman mati terbukti tidak memberikan efek jera. “Data statistik mengatakan dari tahun ke tahun di Indonesia angka kejahatan narkotika terus meningkat, padahal dalam tahun-tahun tersebut slogan ‘darurat narkotika’ dan hukuman mati terus dilakukan.”
Penyalahgunaan Narkoba tahun anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. Jadi, ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10-59 tahun masih atau pernah pakai narkoba pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015.*
Alasan yang terkahir adalah hukuman mati/eksekusi adalah bentuk pengingkaran terhadap martabat manusia. “Karena yang berhak mencabut nyawa manusia itu hanyalah Tuhan, kan? Lantas mengapa orang-orang merasa perlu untuk mencabut nyawa orang lain?. Saya rasa kita semua itu setara, semua pernah melakukan kesalahan, namun hal itu bukan berarti kita menjadi berderajat lebih tinggi dari mereka yang menjadi terpidana mati. Bukan menjadi hak kita juga untuk mencabut nyawa mereka. Karena banyak dari mereka yang ketika di masa tahanannnya menjadi lebih baik, ada yang menjadi guru seni, ada yang menjadi pendeta, dan lain-lain.”
Jokowi, dalam masa jabatannya yang memasuki tahun ke dua, sudah mengeksekusi 18 orang terpidana hukuman mati. “Angka 18 dalam dua tahun masa jabatan Jokowi ini hampir menyusul angka yang dimiliki SBY dalam masa jabatannya yang 2 periode.” Tutur Ricky.
Mengkampanyekan “Stop Hukuman Mati” kepada Jokowi dinilai lebih efektif, “Karena ketika semua jalur hukum sudah ditempuh, yang terakhir kita melakukan grasi. Namun masalahnya, Jokowi sudah secara terang-terangan mengatakan bahwa dia akan menolak grasi-grasi dari terpidana hukuman mati. Bagaimana bisa presiden menolak mentah-mentah grasi tanpa membacanya? Itu melanggar hukum.”
Jadi, untuk apa hukuman mati? Jokowi, stop hukuman mati sekarang juga!