SuaraKita.org – Amir Ashour, pemuda asal Sulaimaniyah di wilayah Kurdistan, Irak adalah satu-satunya aktivis LGBT yang sudah melela, walaupun dia menolak julukan tersebut. Pemuda 26 tahun yang kini tinggal di Swedia ini bercerita tentang perjuangannya dalam menegakkan hak-hak bagi LGBT di negeri asalnya Irak. Tahun 2015 lalu Amir terpaksa meninggalkan tanah airnya agar tetap hidup, sebelumnya Amir mengalami penangkapan dan penyiksaan akibat orientasi seksualnya.
“Ini bukan sebuah pilihan”, katanya. “Hal ini tidak mudah … sangat menguras tenaga. Tapi tidak ada yang lain saya dapat dilakukan, semua saya lalui. Semua orang yang saya temui yang telah mengilhami saya.” Lanjutnya.
Amir adalah pendiri dari IraQueer , sebuah organisasi LGBT di Irak, yang dipaksa untuk melakukan sebagian besar pekerjaan mereka secara anonim. Jaringan aktivis di Irak kebanyakan menggunakan identitas palsu, mereka adalah sumber daya yang berharga bagi komunitas gay Irak, yang hampir sepenuhnya hidup “di bawah tanah” karena takut mati di tangan geng bersenjata yang sering main hakim sendiri, polisi nakal, atau anggota keluarga tidak dapat menerima mereka. Sebelum mendirikan IraQueer Amir bekerja pada kelompok pembela hak-hak perempuan di Baghdad.
Pada tahun 1995, Saddam Hussein menciptakan kelompok paramiliter dengan tujuan tunggal mengidentifikasi, menyiksa dan mengeksekusi individu LGBT , serta perempuan yang dituduh berzina. Pasca era Saddam Hussein, komunitas LGBT mulai mengorganisir pertemuan-pertemuan di ruang ramah-gay. Akan tetapi serangan milisi telah meningkat lagi dalam beberapa tahun terakhir, mendorong mereka jauh lebih dalam ke bawah tanah.
Sementara hubungan sesama jenis dilegalkan di Amerika Serikat, hukum Irak tidak menawarkan perlindungan konstitusional bagi warga LGBT dan negara sering menutup mata dengan kengerian dihadapi oleh LGBT di Irak jika mereka ketahuan. Milisi Syiah yang mengaku berjuang melawan Isis di bawah bendera Irak pun dituduh beberapa pembunuhan oleh Komisi Internasional Hak Asasi Gay dan Lesbian (OutRight International).
Menurut Amir peran IraQueer sangat penting dalam upaya untuk memberikan saran dan rumah aman bagi LGBT terutama kaum remaja yang tidak diakui oleh keluarga mereka, atau melarikan diri untuk keselamatan mereka sendiri. Dokter dan pejabat kedinasan sering menolak untuk berhubungan dengan orang yang menurut mereka gay, dan IraQueer menjadi penghubung antara keduanya. IraQueer memiliki sekitar 40 kontributor reguler yang bertambah semenjak dua tahun terakhir. Mereka aktif menulis esai dan peringatan akan keselamatan yang dibaca oleh hampir 11000 orang dalam sebulan. Mereka tanpa lelah menerjemahkan artikel atrikel LGBT ke dalam bahasa Arab, Kurdi atau Inggris serta sebaliknya. Bulan lalu mereka baru saja mengadakan lokakarya di Lebanon.
Teknologi informasi, khususnya sosial media menurut Amir memberikan pengaruh besar bagi para aktivis. Dimana mereka dapat berdiskusi dan bertukar informasi jarak jauh dengan identitas yang tetap tersembunyi. Tapi Amir juga mengakui, bahwa peluang terbuka yang tercipta untuk IraQueer oleh internet dan pesan smartphone juga dapat menjadi ancaman. Sementara internet membantu LGBT di Irak menemukan satu sama lain, internet juga dapat membantu orang-orang untuk mengidentifikasi dan melacak orang yang mereka duga homoseksual. Salah satu tujuan penting dari lokakarya pertama IraQueer , yang berlangsung secara rahasia di Lebanon bulan lalu, adalah untuk membantu mengajarkan para anggota bagaimana menjaga diri secara online, apakah dengan menggunakan nama dan akun palsu atau beralih ke layanan internet aman yang sulit terlacak.
Hal yang paling menyedihkan menurut Amir adalah ketika masyarakat internasional hanya terfokus pada kurangnya penerapan hak-hak LGBT di timur tengah. Dimana media hanya menggembar-gemborkan berita tentang eksekusi yang dikalukan dihadapan publik oleh Isis. Seharusnya media juga harus mengajak masyarakat internasional untuk fokus berupaya membantu para korban.
Dalam hal politik Amir juga bersikap skeptis terhadap upaya Kurdi untuk menggambarkan daerah otonom di Irak dan Suriah sebagai gay-friendly. Menurutnya ini adalah ide yang menarik secara politik, akan tetapi berbicara lebih mudah daripada tindakan. Ketika ditanya apakah masih ada harapan untuk menjadi LGBT di Irak Amir dengan yakin mengiyakan. Menurutnya dengan memperkuat IraQueer untuk berjuang maka harapan itu masih ada. Dan jika suatu saat nanti perjuangan tersebut berhasil, ia ingin menjadi orang pertama yang kembali ke negeri asalnya. (R.A.W)
Sumber