Search
Close this search box.

[Opini] Persahabatan Feminisme dan LGBT

Oleh: Wida Puspitosari

SuaraKita.org – Tidaklah terlalu eksesif jika dikatakan bahwa feminisme telah menjadi salah satu gerakan yang berkembang paling progresif abad ini. Feminisme pada dasarnya adalah leksikon akademis yang secara pesat muncul pasca revolusi industri setelah kompleksitas masyarakat mulai diramaikan oleh pembagian kerja yang mendiskriminasi legitimasi perempuan. Berkaca pada gerakan-gerakan awal feminisme sendiri, aktivisme ini kemudian melahirkan konsepsi bahwa untuk mengubah masyarakat, kita patut melibatkan dua aksi, yakni argumentasi teoritis dan advokasi.  Bila kita mengkaji argumentasi teoritis yang termaktub dalam konsep ilmu-ilmu sosial yang ada dewasa ini, kekuatannya memang terletak pada derajat persamaan hak dan solusi atas suatu permasalahan. Tetapi feminisme, jauh melampaui itu. Feminisme adalah bunga rampai dari semua teori keadilan yang memiliki kemampuan untuk menciptakan bahasa baru, bahasa keadilan yang datang dari etika kepedulian.

Secara universal, feminisme sendiri dimaksudkan untuk mengatur ulang relasi kuasa yang timpang antar peran sosial berbasis gender, ras, agama, bahkan nasionalisme. Ia bekerja sebagai penyokong keadilan sosial yang telah selesai dengan salah kaprah terkait posisinya yang kerap kali dicap serupa ancaman terhadap laki-laki – sedangkan ia tak berwacana ke situ. Lantas, bagaimana kemudian feminisme secara global tidak dapat dipisahkan dengan isu LGBT? Seperti yang kita ketahui jika peran gender pada hakekatnya termasuk dalam perhatian besar kajian feminisme, salah satunya menyangkut isu heteronormativitas. Heteronormativitas merupakan gagasan yang menerangkan bahwa heteroseksualitas adalah orientasi paling normal dan pada kondisi tertentu ia merupakan bentuk sempurna atas penerapan peran gender. Masyarakat yang heteronormatif secara tegas mendikte bahwa laki-laki secara seksual wajib jatuh cinta kepada perempuan, begitu juga sebaliknya. Sama halnya ketika masyarakat yang patriarkis mengatakan jika perempuan hanya bisa memiliki peran domestik.

Etika prinsipil feminisme sebenarnya mengacu pada argumen bahwa jenis kelamin dan gender tidak bisa dianggap sebagai takdir. Masyarakat tidak dapat begitu saja memakasakan peran gender tertentu terhadap seseorang. Kendati tidak tercatat, banyak kelompok LGBT dewasa ini justru mengalami  kekerasan oleh masyarakat yang menaruh ekspektasi tinggi pada iklim heteronormativitas itu sendiri. Pada tataran paling mikro misalnya, ketika menjumpai pasangan gay yang tengah berjalan bersama, kita tidak bisa menyetarakan cara pandang heteronormatik dengan menanyakan: “diantara mereka berdua, kira-kira yang jadi laki-laki atau perempuan yang mana ya?”. Seolah-olah jika kita menanyakan hal seperti ini tak ubahnya mendaur ulang diskursus heteronormativitas dalam bentuk yang lain — dan secara tak sadar telah melakukan discursive abuse dalam bentuk pemaksaan terhadap kerangka gender heteroseksual.

Perjuangan kesetaraan hak perempuam dan LGBT pada dasarnya memiliki agenda yang sama. Walaupun demikian, sebagian gerakan perempuan rupanya tidak semua memiliki rekam jejak yang progresif ketika berbicara isu LGBT. Ada saat-saat yang memprihatikan dalam sejarah gerakan perempuan ketika beberapa pemimpin feminis justru merasa ragu untuk mendukung hak-hak kelompok LGBT atau secara terus terang menolak perempuan transgender. But we have come a long way, dan kondisi tersebut sudah tidak dapat dimaklumi kembali. Seseorang tidak diperkenankan menjadi feminis sekaligus homofobik.

Kita harus menyadari bahwa homophobia bukanlah menyoal seksualitas semata; ia juga menyoal seksisme. Ketika seorang remaja lelaki menggunakan olok-olok ‘gay’ untuk merendahkan teman sebayanya, ini sebenarnya dilakukan bukan untuk membenarkan jika temannya adalah gay; ia hanya sedang menantang maskulinitas temanya sendiri. Ketika segerombolan anak berbisik bahwa terdapat seorang anak gadis yang dicuragai sebagai lesbian karena memangkas rambut dan menyukai olah raga, itu tidak hanya dilakukannya sebagai gosip seksualitas; mereka juga mencandai karena anak gadis ini tidak cukup feminin. Homophobia tidak hanya menyoal diskriminasi seksualitas. Ia juga terkait dengan agenda menormalkan stereotip gender dan pengucilan terhadap seseorang yang tidak selaras dengan normanya.  Berjuang untuk kesetaraan gender berarti kita percaya bahwa seseorang tidak seharusnya dikekang oleh peran gender tradisional.

Argumen mengenai persahabatan feminisme dan LGBT di atas sepertinya telah jelas mendedahkan bila kita sepatutnya membangun lingkungan yang menerima, merayakan dan mendukung seseorang dengan seksualitas dan identitas seksual yang berbeda. Feminisme akan dirasa tumpul bila ia hanya fokus pada isu perempuan dan perempuan cisgender. Kita tidak boleh lupa, feminisme juga dilahirkan untuk berkomitmen mengakhiri prasangka dan kekerasan terhadap kelompok LGBT (yang di dalamnya juga terdapat lesbian, transgender, dll – dan mereka semua perempuan). Mengabaikan realitas ini sama halnya mengabaikan diskriminasi sistemik terhadap banyak perempuan. This is empowerment for all, not empowerment for some.

Dengan demikian, gerakan LGBT secara etik adalah sahabat feminisme juga termasuk dalam misi utamanya. Keduanya menolak penindasan dan ketidakadilan terstruktur-sistematis-masif yang dilahirkan oleh heteronormativitas. Namun, jikalau suatu saat saudara menemukan sekelompok orang bergelar profesor dan doktor yang menepuk diri sebagai ahli isu ketahanan keluarga dan sumber daya manusia hendak mengkriminalisasikan kelompok LGBT, saya rasa tidak perlu memicingkan mata karena yang salah bukanlah agamanya, universitasnya, apalagi gelarnya, tapi kesempatan piknik demi memahami jika keluarga adalah ranah penting untuk mengajari anak menjadi adil sejak dalam pikiran. Begitu.

Selamat menyongsong Hari Persahabatan Internasional. Jangan marah ya…

 

Sumber Gambar